Begini Perjalanan Haji Tempo Dulu: Waktu Tempuh Berbulan-bulan Penuh Risiko

Haji tempo dulu ditempuh dengan risiko yang berbahaya

wikipedia
Kapal yang membawa jamaah haji berangkat ke Makkah pada tempo dulu.
Rep: Fuji E Permana Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pada abad ke-17 dan ke-18, terdapat jamaah haji (umat Islam) dari Nusantara (Indonesia) yang menunaikan ibadah haji.

Baca Juga


Hal ini tidak terlepas dari hubungan pelayaran yang terjalin antara masyarakat kepulauan Nusantara dan pedagang dari jazirah Arab yang berjualan hingga Nusantara.

Akan tetapi, perjalanan haji di masa lalu dan sekarang berbeda. Dalam perjalanan menuju Tanah Suci Makkah, banyak bahaya yang harus dihadapi jamaah haji, bahkan bahaya yang bisa merenggut nyawa.

Umumnya rute pelayaran menuju Makkah ditempuh melalui Selat Malaka, Samudera Pasai, dan Pidie. Wilayah tersebut sudah terkenal sejak dahulu kala sebagai pusat perdagangan internasional.

Pada permulaan abad ke-16 telah dijumpai pribumi Nusantara di Makkah. Kemungkinan besar adalah pedagang yang datang ke Makkah dengan kapalnya.

Sebelum abad ke-16, bangsawan dari Nusantara memang sudah melakukan pelayaran untuk melaksanakan ibadah haji ke Makkah, misalnya Sunan Gunung Jati yang dikenal sebagai Syekh Syarif Hdayatullah.

Berdasarkan Hikayat Hasanuddin yang merupakan terjemahan bebas dari Hikayat Banten Rante-Rante yang ditulis pada 1662, 1663 dan Sajarah Banten menyebutkan bahwa dua orang penguasa kerajaan Islam di Nusantara yaitu Sunan Gunung Jati (Syekh Syarif Hidayatullah) dari Cirebon dan putranya Maulana Hasanuddin yang merupakan Sultan Banten sempat menunaikan ibadah haji bersama-sama.

Dilansir dari buku Sejarah Ibadah Haji Indonesia dari Masa ke Masa yang diterbitkan BPKH tahun 2023. Dijelaskan, menurut Dien Madjid, Hikayat Hang Tuah yang merupakan salah satu naskah yang ditulis pada akhir abad ke-17 mencatat rihlah orang Nusantara ke Tanah Suci, menceritakan tentang perjalanan Hang Tuah ke Istanbul dengan armadanya. Ketika itu Hang Tuah menyempatkan berhaji ditemani syahbandar pelabuhan Jeddah bernama Malik rasal.

Perjalanan haji saat itu harus dilakukan dengan perahu layar yang sangat bergantung pada musim. Biasanya para musafir menumpang pada kapal dagang, sehingga harus sering berpindah kapal saat sandar di sebuah pelabuhan tertentu. Perjalanan itu membawa mereka melalui berbagai pelabuhan di Nusantara.

Jamaah haji dari Tanah Jawa misalnya, terlebih dahulu harus menuju Pelabuhan di Batavia (wilayah Jakarta saat ini). Selanjutnya menuju pelabuhan terakhir di Nusantara yakni Aceh. Di sana mereka menunggu kapal ke India untuk ke Hadramaut, Yaman atau langsung ke Jeddah (Arab Saudi).

Perjalanan laut itu biasa makan waktu enam bulan dan bahkan lebih, karena harus berganti kapal atau mencari bekal tambahan dengan bekerja di negeri tertentu. Dalam perjalanan, para musafir tidak jarang harus berhadapan dengan berbagai macam bahaya seperti ombak yang besar.

Pada masa awal perjalanan haji, tidak mengherankan apabila calon jamaah haji dilepas kepergiannya dengan derai air mata. Karena khawatir mereka tidak akan kembali lagi.

Itulah sekelumit catatan tentang kaum Muslimin Nusantara zaman dahulu yang telah berhasil menunaikan ibadah haji. Dari kisah-kisah tersebut tergambar bahwa ibadah haji biasanya hanya terjangkau kaum elite seperti kalangan istana atau keluarga kerajaan, karena memerlukan biaya yang sangat besar.

Namun demikian, tidak tertutup kemungkinan adanya masyarakat kalangan bawah yang juga telah berhasil menunaikan ibadah haji, namun tidak tercatat dalam sejarah. Kerajaan memiliki peranan penting dalam pengelolaan pemberangkatan haji. Kehadiran tata kelola haji diawali dari kalangan elite yang memiliki kebutuhan kenyamanan serta keamanan perjalanan.

 

Infografis Rencana Perjalanan Jamaah Haji Indonesia 2024 - (Republika.co.id)

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler