Limbah Elektronik Global Menumpuk, Vietnam Upayakan Daur Ulang
Vietnam sudah memiliki pusat daur ulang sampah elektronik besar selama dua dekade.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dam Chan Nguyen telah bekerja selama dua dekade di pasar Nhat Tao, pasar daur ulang informal terbesar di Kota Ho Chi Minh, Vietnam. Ia biasanya menyelamatkan komputer dengan monitor besar dan prosesor yang berat yang mengalami kerusakan. Sekarang dia lebih banyak bekerja dengan laptop dan sesekali MacBook.
Namun prinsip utama dari pekerjaannya tidak berubah: Mendaur ulang barang elektronik bekas. Apa yang bisa diperbaiki akan diperbaiki. Apa yang bisa diselamatkan akan digunakan kembali di tempat lain. Lalu apa yang tersisa akan dijual sebagai barang bekas.
“Kami memanfaatkan segala sesuatu yang memungkinkan,” kata Nguyen seperti dilansir AP, Sabtu (4/5/2024).
Toko tempat dia bekerja adalah salah satu dari sekian banyak toko di pasar yang tersebar di beberapa jalan. Sebagian besar toko reparasi hanya berupa satu ruangan yang dipenuhi dengan perangkat elektronik dengan meja-meja yang diletakkan di luar.
Para pekerja memperbaiki atau menyelamatkan barang-barang seperti laptop, ponsel bekas, lensa kamera, remote televisi, bahkan seluruh unit AC. Toko-toko lain menjual barang-barang elektronik baru dan barang-barang lama yang diperbaharui.
Kesibukan ini menjadi gambaran nyata dari dunia yang menghasilkan lebih banyak limbah elektronik dibandingkan sebelumnya. Menurut laporan Persatuan Telekomunikasi Internasional PBB dan lembaga penelitian UNITAR, pada tahun 2022 ada 62 juta metrik ton limbah elektronik, dan diproyeksikan akan tumbuh menjadi 82 juta metrik ton pada tahun 2030.
“Saat ini kita menghasilkan limbah elektronik pada tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya,” kata Garam Bel dari Persatuan Telekomunikasi Internasional PBB.
Mengelola limbah elektronik sangatlah penting. Pasalnya, limbah elektronik terus memenuhi tempat pembuangan sampah akhir, dan bahan kimia berbahaya seperti timbal yang bocor ke lingkungan bisa membahayakan kesehatan manusia.
Dan jumlah sampah tersebut meningkat lima kali lebih cepat dibandingkan daur ulang formal. Kurang dari seperempat sampah elektronik dikumpulkan dan didaur ulang dengan benar pada tahun 2022.
Sisanya berakhir di tangan pekerja sampah informal, seperti Nguyen, di berbagai belahan dunia. Hal ini terutama terjadi di negara-negara Asia Tenggara, dimana menurut laporan PBB, tidak ada satu pun limbah elektronik yang dikumpulkan atau didaur ulang secara resmi.
Nguyen (44 tahun) adalah satu dari tiga karyawan di toko tersebut. Pengalamannya selama bertahun-tahun membuatnya diandalkan untuk pekerjaan-pekerjaan rumit. Dia bekerja 11 jam sehari dengan gaji bulanan sekitar 470 dolar AS (sekitar Rp 7,5 juta), dengan jam makan sebagai satu-satunya waktu istirahatnya.
Hingga saat ini Nguyen masih terlihat sehat dan bugar. Namun ternyata ia mengkhawatirkan potensi bahan kimia berbahaya dalam perangkat elektronik yang ia bongkar tanpa alat pelindung diri.
Lalu seiring meningkatnya cuaca panas ekstrem di Kota Ho Chi Minh, toko tempat Nguyen bekerja bisa terasa seperti oven, terutama di musim panas.
“Duduk di sini rasanya seperti akan meninggal. Saya hanya harus bertahan. Saya harus bekerja untuk mencari nafkah,” kata Nguyen.
Perusahaan daur ulang formal biasanya memiliki sertifikasi untuk membongkar dan mendaur ulang perangkat elektronik menggunakan mesin canggih. Mereka juga lebih berhati-hati terhadap risiko kesehatan dari limbah elektronik, yang dapat mengandung komponen beracun.
Misalnya, proses kasar seperti peleburan papan sirkuit plastik untuk mendapatkan kembali tembaga yang berharga dapat membuat manusia terpapar bahan kimia yang sangat beracun dan persisten yang disebut dioksin, yang dalam kadar tinggi dapat menyebabkan cacat lahir dan kanker. Beberapa perangkat juga mengandung merkuri.
Tembaga, emas, perak, dan bahkan sejumlah kecil mineral yang diperlukan untuk ponsel pintar, layar komputer, dan lampu LED, dapat diperoleh dari daur ulang. Hanya sekitar 1 persen dari permintaan 17 mineral utama tersebut dipenuhi melalui daur ulang, menurut laporan PBB.
Sementara itu, Vietnam merupakan satu dari sedikit negara di Asia Tenggara yang memiliki undang-undang yang mengatur penanganan limbah elektronik. Mereka menyusun rencana nasional untuk mengelola limbah elektronik pada tahun 2020, yang bertujuan untuk mengumpulkan dan mengolah 70 persen limbah elektronik pada tahun 2025, dan telah mencoba untuk mengintegrasikan pekerja informal ke dalam sistem formal untuk memberi mereka perlindungan yang lebih baik.