Gelombang Panas Menambah Penderitaan Para Pengungsi di Myanmar
Lebih dari 123 ribu orang telah dipaksa meninggalkan rumah mereka akibat konflik.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Zay Yar Tun mengisi truknya dengan air untuk dikirimkan kepada para pengungsi di perbukitan kering di Myanmar timur yang dilanda perang, di mana gelombang panas menambah kesengsaraan hidup di kamp-kamp pengungsian.
Di bawah atap lembaran plastik di salah satu kamp di negara bagian Kayah, Augusta menunggu 10 galon air yang harus memenuhi kebutuhan minum, memasak, dan mencuci keluarganya selama tiga hari ke depan.
Lebih dari 123 ribu orang telah dipaksa meninggalkan rumah mereka di Kayah akibat konflik yang dipicu oleh kudeta militer pada tahun 2021, menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Kini, gelombang panas yang telah membuat suhu udara di Myanmar mencapai 48 derajat Celcius di beberapa tempat menambah ketidakpastian kehidupan di kamp-kamp pengungsian.
"Tahun lalu, kami mendapatkan air dari mata air di dekat sini. Tapi sekarang kami tidak bisa mendapatkan air dari tempat itu karena tidak ada air yang tersisa di sana. Kami harus berhemat. Kalau hari ini tidak bisa mandi, mungkin besok kami bisa mencuci tangan dan wajah,” kata Augusta seperti dilansir Channel News Asia, Sabtu (4/5/2024).
Kelangkaan air membuat ia dan anak-anaknya tidak dapat mencuci atau membersihkan pakaian mereka di tengah cuaca yang sangat panas. "Anak-anak gatal-gatal dan terlihat kotor, dan kami juga tidak memiliki pakaian bersih untuk mereka," kata Augusta.
Belasan penghuni kamp mengantri di truk untuk mendapatkan jatah air yang harus mereka konsumsi selama tiga atau empat hari. Anak-anak membawa pulang wadah-wadah itu dengan keranjang di punggung mereka atau dengan troli saat angin panas menghembuskan debu dari jalan tanah.
"Saat hanya ada warga yang tinggal di tempat ini, airnya cukup. Namun setelah ada para pengungsi, populasinya terlalu banyak untuk jumlah air yang ada,” kata Zay Yar Tun dari badan amal Clean Yangon.
Donasi membuat tim Zay Yar Tun dan dua truknya tetap berjalan, dan mereka melakukan dua kali pengiriman ke kamp setiap pekannya.
Mencari sungai atau mata air untuk mengisi truk mereka bisa sangat berbahaya di Kayah, yang telah menjadi salah satu titik perlawanan terhadap pemerintahan militer. Militer secara teratur melakukan serangan udara dan artileri terhadap lawan-lawannya dan ranjau darat merupakan bahaya yang konstan.
Bahan bakar yang dibutuhkan tim untuk menjalankan truk dan pompa mereka mahal karena pembatasan militer untuk mengimpor bahan bakar ke Kayah. "Harga bahan bakar sangat mahal, dan sepertinya kami menukar bahan bakar untuk mendapatkan air," kata Zay Yar Tun.
Sementara itu, lembaga cuaca Myanmar telah memperkirakan bahwa musim hujan, yang biasanya dimulai sekitar bulan Mei, kemungkinan akan datang terlambat tahun ini. Kondisi ini bisa semakin memperparah krisis air di kawasan pengungsian.