Jadi Sebetulnya Musik Halal atau Haram?
Perdebatan halal-haram soal musik viral di media sosial.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejak akhir April 2024, warganet di media sosial X (dulu bernama Twitter) ramai berdebat mengenai halal atau haramnya musik dalam perspektif Islam. Perdebatan itu muncul menyusul unggahan cuplikan ceramah ustadz Adi Hidayat tentang musik yang dinilai sebagian orang menghalalkan musik.
Sebetulnya, musik halal atau haram menurut Islam? Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) bidang Seni, Budaya, dan Peradaban Islam, KH Dr Jeje Zaenudin menyebutkan debat soal halal dan haramnya musik merupakan debat yang tidak produktif dan tidak memberikan solusi apapun.
"Meskipun ada manfaatnya, tetapi itu perdebatan yang tidak produktif dan tidak memberi solusi, malah berdampak pro-kontra di kalangan masyarakat awam yang diikuti dengan saling mecela dan menghakimi antara yang pro dan kontra," katanya dalam keterangannya di Jakarta, Selasa (7/5/2024).
Ketua Umum PP Persis itu menilai polemik masalah hukum musik dan lagu hanyalah mendaur ulang perdebatan masalah fikih klasik. Perdebatan ini sudah ada sejak berabad-abad lalu.
Kiai Jeje mengatakan, adanya perbedaan pendapat di kalangan para ulama sejak zaman dahulu menunjukkan bahwa masalah musik dan lagu tidak ada dalil yang qath'i dan sharih atau dalil yang secara pasti dan tegas dari Alquran, hadits, ataupun ijmak ulama tentang pengharamannya secara mutlak. Sebab, jika ada dalil yang pasti, jelas, dan tegas dari Quran, hadits, ataupun Ijmak, tidak mungkin terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama sejak zaman dahulu.
"Semua dalil yang dijadikan sandaran bersifat zhanny, atau dalalah -dalil- yang penafsirannya bersifat ijtihady atau subjektif. Oleh sebab itu, sepatutnya kita semua bersikap tasamuh atau toleran terhadap pendapat yang berbeda," katanya.
Menurut Kiai Jeje, memaksakan kehendak untuk membuat orang lain tunduk dan hanya mengikuti pendapat suatu kelompok mazhab tertentu yang dikalim paling benar merupakan sebuah sikap yang arogan dan tidak bijak. Seharusnya, masyarakat pada saat ini mencari solusi dari fenomena dan fakta berkembangnya industri musik dan nyanyian yang telah menjadi bagian budaya kehidupan masyarakat manusia secara global.
Kiai Jeje mengingatkan, tidak bisa dipungkiri, sebagian musik itu cenderung merusak akhlak, moral, dan keadaban masyarakat. Itu tidak bisa diselesaikan hanya dengan mengeneralisasi hukumnya bahwa segala jenis musik dan lagu adalah haram.
"Dari tinjauan filosofi dan normatifnya, musik dan nyanyian atau lagu adalah bagian dari ekspresi naluri keindahan dalam diri manusia, sedangkan naluri keindahan itu sendiri adalah bagian dari fitrah penciptaan manusia," katanya.
Kiai Jeje juga menerangkan bahwa keindahan merupakan sifat dan perkara yang dicintai Allah. Dalam hadits sahih, Rasul SAW bersabda bahwa Allah itu Mahaindah dan mencintai keindahan, dan musik maupun lagu adalah ekspresi fitrah manusia tentang keindahan suara dan nada.
"Maka menjadi tugas para ulama kita memberi solusi, bimbingan, dan arahan kepada umatnya, bagaimana perkembangan seni dan budaya itu berada dalam relnya sebagai ekspresi fitrah naluriah yang Allah karuniakan kepada manusia, agar tidak melanggar akidah dan syariah agama-Nya," tutur Kiai Jeje.
Apa Kata Ustadz Adi Hidayat Soal Musik?
Ceramah ustadz Adi Hidayat (UAH) tentang musik menjadi viral belakangan ini di media sosial. Ketika ditelusuri Republika.co.id, pembahasan UAH tentang musik sudah lama diunggah di sejumlah kanal Youtube. Ada yang setahun lalu, dan ada yang sudah beberapa tahun lalu.
Video ceramah ustadz Adi Hidayat kembali menjadi viral karena dianggap menghalalkan musik. Republika.co.id menggunakan video ceramah ustadz Adi Hidayat yang diunggah di kanal Youtube Cahaya Insan dan judul kontennya "Hukum & Asal Mula Musik | Ustadz Adi Hidayat".
Dalam video itu, UAH menjelaskan, asal mula musik berasal dari tradisi zaman jahiliyah, yaitu syi'r. Syi'r disebut syi'r kalau memenuhi empat unsur, yakni al-fashahah, al-khayar, uslub, dan musik. UAH menyebut, ada 16 rumus yang salah satunya adalah rumus bahr.
Dia juga mencontohkan rumus lain bernama madid, yaitu nada qashidah 'thala'al badru 'alayna....' Sedangkan yang dipraktikkan di zaman Nabi Muhammad SAW, menurut UAH, ada banyak bentuknya.
"Misal ada orang bikin qashidah dan puisi untuk berzina, namanya ghozal. Bikin rayuan lewat puisi supaya bisa berzina dengan orang lain. Ada lagi khamariyat, bikin puisi untuk mabuk. Supaya senang menikmati miras di zaman jahiliyah," tuturnya.
Dalam keadaan itulah, ketika mereka mabuk-mabukkan dengan menggunakan syi'r dan bernuansa musik, maka Alquran mencelanya. Allah SWT berfirman, "Tidakkah engkau melihat bahwa mereka mengembara di setiap lembah, dan bahwa mereka mengatakan apa yang mereka sendiri tidak mengerjakan(nya)?" (QS. Asy Syu'ara ayat 225-226)
Di sisi lain, menurut UAH, ketika Nabi Muhammad SAW dicela melalui syair dan musik, ada sahabat Nabi bernama Hasan bin Tsabit yang membela. "Nabi punya pemusik dan penyair di samping Nabi, yang membela Nabi," kata UAH.
Saat membela Nabi itulah, turun ayat 227 Surat Asy Syu'ara: "Kecuali orang-orang (penyair-penyair) yang beriman dan berbuat kebajikan dan banyak mengingat Allah dan mendapat kemenangan setelah terzalimi (karena menjawab puisi-puisi orang-orang kafir). Dan orang-orang yang zalim kelak akan tahu ke tempat mana mereka akan kembali."
Karena itu, UAH menjelaskan, para ulama menyimpulkan bahwa dari tradisi ini musik berkembang menjadi dua bagian. "Jika ada yang berkaitan dengan nilai kebaikan, membawa syiar-syiar kemuliaan, tidak berlebihan, tidka memberikan dampak maksiat, maka diperkenankan dengan batas-batas tertentu," ujarnya.
"Tapi kalau membawa kepada hanyut sesuatu, sehingga lupa dengan kebaikan, maka ia bisa makruh sampai haram, sehingga ada ulama menempatkan musik seperti hukum nikah. Tengah-tengahnya ibahah, ke kanan sunnah, bahkan bisa wajib, ke kirinya makruh dan ke kirinya lagi haram," tambahnya.
UAH juga menyampaikan, di masa kejayaan Islam, musik diadopsi menjadi teori gramatikal untuk memudahkan belajar pengetahuan di Andalusia. Saat itu para ulama kalau membuat metode mengajar, semua menggunakan syi'r.
Contohnya kitab Alfiyah, yang berisi metode gramatikal bahasa Arab yang menghimpun nahwu shorof. Jika hafal 1.002 bait di dalamnya maka seseorang menguasai semua kaidah bahasa Arab.
"Itu ada musiknya tapi tidak ada yang mengharamkannya. Semua membenarkan," kata dia.
Kemudian, lanjut UAH, itu diserap di Persia hingga muncullah notasi berupa "dha ro mim fa shod lam shin dal". Karena itu, dia mengatakan, "do re mi fa so la si do" sebetulnya diambil dari khazanah Islam.
"Di situlah menjadi notasi yang bisa dibaca, kemudian dikembangkan menjadi alat-alat musik," ujarnya.
Lalu, musik berkembang lagi hingga zaman sekarang. Misalnya nasyid yang bentuknya beragam, dari akapela sampai yang menggunakan alat musik.
"Membawa pada ketaatan, ingat dengan Allah, sah tidak ada masalah," kata UAH, yang mencontohkan grup nasyid seperti Raihan, Hijaz, dan lainnya.
Namun, ada musik yang digunakan untuk maksiat kepada Allah yang liriknya bertentangan dengan syariat. "Maka, tradisi (di zaman jahiliyah) itu ada yang bisa dibenarkan, diakomodir oleh syariat, dan ada yang ditolak secara langsung," jelas UAH.