Pengamat: Wacana Tambah Kementerian Jadi 40 Patut Ditolak, Anggaran Bengkak
Ray menilai bahwa wacana itu tidak memiliki basis rujukan yang kuat.
Edi Yusuf/Republika
Rep: Eva Rianti Red: Teguh Firmansyah
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Politik Ray Rangkuti mengkritisi soal isu wacana penambahan jumlah kementerian di era pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka dari 34 menjadi 40 kementerian. Menurutnya, wacana itu patut untuk ditolak.
Baca Juga
"Rencana Prabowo-Gibran menambah jumlah anggota kabinet dari 34 kursi menjadi 40 kursi, sangat tidak beralasan. Alasan karena kita negara besar, tantangan sangat banyak, dan sebagainya adalah alasan yang terlalu dipaksakan," kata Ray kepada Republika, Kamis (9/5/2024).
Ray menilai wacana itu tidak memiliki basis rujukan yang kuat. Sehingga menurutnya wacana tersebut tidak tepat untuk direalisasikan. "Oleh karena itu, rencana tersebut sangat patut ditolak dengan alasan yang jauh lebih kuat," ujar dia.
Menurut Ray, setidaknya ada delapan alasan wacana penambahan kabinet seharusnya ditolak. Pertama, jika disebut karena tantangan bangsa Indonesia akan lebih kuat, Ray menilai sesungguhnya tantangan jelas selalu berat.
"Hanya di era Prabowo-Gibran salah satu solusinya dengan menambah jumlah anggota kabinet. Akan sangat mengkhawatirkan jika karena alasan tantangan berat, maka jumlah ditambah. Besok lusa, alasan yang sama bisa dipakai untuk tujuan menambah jumlah kabinet," tuturnya.
Kedua, alasan karena negara Indonesia besar dengan jumlah penduduk yang sangat banyak juga tidak dapat dibenerkan. Dia menjelaskan, di dua era Jokowi, jumlah penduduk Indonesia juga besar, tapi tak pernah ada solusi akan menambah jumlah kursi kabinet. Alih-alih menambah, Jokowi malah menjanjikan akan membentuk kabinet yang ramping, meski akhirnya janji ini tak pernah ditepati oleh Jokowi.
Lalu, dari semua negara dengan jumlah penduduk di atas 300 juta jiwa, hanya India yang membentuk kabinet yang banyak, yakni di atas 50 kursi. Sedangkan di China, Amerika dan Jepang di bawah 30 kursi. Pun Brasil dan negara-negara dengan ekonomi berkembang saat ini. Di negara Asean, hanya Indonesia yang menentukan jumlah kursi mencapai 34. Dan itu terbesar se-Asean.
"Ketiga, bertentangan dengan prinsip efesiensi dan efektivitas. Jika bertambah mencapai 40 kursi, maka kabinet bukan saja membengkak, tapi juga turunannya," kata Ray.
Dia mencontohkan akan ada pembengkakan mulai dari wakil menteri, staf untuk menteri dan wakil menteri, pengamanan, akomodasi, hingga transportasi. Dengan begitu, akan banyak uang negara yang terpakai untuk itu.
Keempat, tak sesuai dengan desain perumahan dan perkantoran baru di IKN. Sebab, sejauh ini, desain kantor pemerintah di IKN disesuaikan dengan Undang-Undang Kementerian yang berjumlah 34 orang.
Jika ada penambahan kabinet, kantor yang disediakan juga harus sejumlah itu. Lantas jika ada penambahan kementerian baru, desain tambahan juga harus dibuat, termasuk rencana pèmbiyaannya.
Kelima, sinyal buruk bagi upaya pembentukan pemerintah yang efektif dan efisien, kaitannya dengan proses birokrasi. Penambahan anggota kabinet berpeluang menambah birokrasi pemerintahan, yang akan berujung pada makin panjangnya birokrasi pengambilan keputusan.
"Keenam, hal ini sekaligus sinyal bagi lemahnya posisi pak Prabowo di hadapan teman-teman koalisinya. Lemah juga dalam menangani konflik-konflik kepentingan yang nisacaya akan selalu hadir dalam pemerintahan. Sinyal bagi lemahnya manajemen konflik di dalam kepemimpinan pak Prabowo-Gibran," jelasnya.
Ketujuh, rencana ini sekaligus memperlihatkan dua kelemahan kepemimpinan Prabowo. Yakni, kelemahan dalam mengelola dan menghadapi tuntutan koalisi dan kelemahan dalam visi membangun pemerintahan yang efektif dan efesien.
Kedelapan, setelah dua pekan berlalu sejak putusan MK dibacakan oleh MK, belum terdengar pasangan Prabowo-Gibran mengemukakan ide yang berhubungan dengan situasi kekinian. Semisal soal tingginya biaya uang kuliah tungga (UKT) dan harga bahan pokok yang terus merangkak.
"Prabowo-Gibran malah lebih sibuk mengutarakan ide elitis yang berpusat pada pengelolaan kekuasaan antar elite. Dari silaturahmi elite, rencana koalisi, presidential club dan kini penambahan jumlah menteri. Semua narasi ini lebih berkesan memuluskan jalan tahta bagi elite parpol, bukan tahta bagi rakyat," tutupnya.
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler