Tersingkir dari Komunitas Internasional, Israel Bak Pariah
Tsunami diplomatik itu juga diikuti oleh gelombang embargo dan boikot ekonomi.
REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV -- Tekanan dunia terhadap Israel semakin keras saja dan tak ada habis-habisnya. Perang habis-habisan yang dilancarkan Israel di Jalur Gaza, sebagai balasan atas serangan Hamas pada 7 Oktober 2023, sudah melebihi takaran untuk bisa disebut aksi bela diri, sehingga dunia semakin muak dibuatnya.
Sikap muak dunia itu dimanifestasikan dalam banyak hal, termasuk yang terakhir terjadi pada Jumat, (10/5/2024) di markas Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) di New York ketika Majelis Umum PBB mengeluarkan resolusi yang menyerukan Dewan Keamanan mempertimbangkan Palestina menjadi anggota penuh PBB.
Resolusi yang dirancang Uni Emirat Arab dan disponsori 70 negara itu didukung oleh 143 negara, termasuk Indonesia dan Prancis, sedangkan Inggris, Jerman dan 23 negara lainnya memilih abstain. Bahkan abstainnya Inggris dan Jerman merupakan pukulan hebat bagi Israel.
Israel sendiri, bersama Amerika Serikat (AS), pastinya menentang resolusi itu. Mereka berada dalam kelompok sembilan negara yang menentang resolusi tersebut, selain Argentina, Republik Ceko, Hungaria, dan empat negara Pasifik Selatan yakni Micronesia, Nauru, Palau dan Papua New Guinea.
Tak bisa dipungkiri lagi Israel semakin terisolasi dari dunia, termasuk dari sekutu-sekutunya sendiri di Barat. Perang balas dendam penuh amarah yang dilancarkan pemerintahan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, telah membuat Israel menghadapi badai diplomatik yang datang bertubi-tubi dari segala front.
Operasi militer Netanyahu di Jalur Gaza yang dilanjutkan dengan menggempur Rafah yang sudah disesaki 1,7 rakyat Palestina yang menghindari perang, membuat dunia semakin marah, tak terkecuali negara-negara yang selama ini menjadi sahabat Israel. Mereka semakin murka setelah pemerintah Israel, yang semakin jauh ke kanan, tak berbuat apa-apa dan bahkan diam-diam mensponsori aksi pemukim-pemukim Yahudi di daerah-daerah Palestina yang diduduki Israel di Tepi Barat.
Para pemukim ini semakin brutal dalam merampas dan mengusir warga Palestina dari tanah mereka di Tepi Barat. Sampai membuat AS pun tak bisa berdiam diri lagi, sehingga sanksi dijatuhkan kepada mereka.
Individu, kelompok masyarakat Yahudi, dan bahkan batalion tentara yang kebanyakan beranggotakan para pemukim Yahudi, menjadi sasaran sanksi Amerika Serikat.
Embargo dan boikot
Sanksi itu juga menyasar sekutu-sekutu politik Netanyahu, termasuk Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben Gvir, yang merupakan tokoh kanan ekstrem utama di Israel. Ben Gvir adalah salah satu tokoh kanan Israel yang menganjurkan pembinasaan total Hamas dan pengusiran penduduk Palestina dari Gaza ke Sinai di Mesir.
Sementara itu, sejumlah negara Barat mengambil langkah lebih jauh. Irlandia dan Spanyol menyatakan bakal segera memberikan pengakuan formal kepada negara Palestina, disusul Malta dan Slovenia. Sedangkan di Amerika Selatan, Kolombia menjadi negara kedua di kawasan itu yang memutuskan hubungan diplomatik dengan Israel setelah Bolivia.
Tsunami diplomatik itu juga diikuti oleh gelombang embargo dan boikot ekonomi. Termasuk seruan embargo perdagangan yang saat ini semakin kencang disuarakan dalam forum Uni Eropa.
Mengutip laporan The Guardian, para pemimpin Uni Eropa tengah mempelajari kemungkinan menjatuhkan embargo kepada produk-produk Israel yang dihasilkan dari daerah-daerah Palestina yang dicaplok para pemukim Yahudi. Perdana Menteri Belgia Alexander de Croo, yang sedang mengetuai Dewan Uni Eropa, juga tengah melobi anggota-anggota Uni Eropa agar menjatuhkan embargo perdagangan kepada Israel, dengan alasan negara ini melanggar jaminan hak asasi manusia dalam kesepakatan kerjasama Uni Eropa-Israel.
Sementara itu Turki yang bukan anggota Uni Eropa, tapi terikat dengan aliansi pertahanan NATO dan memiliki hubungan diplomatik dengan Israel, melangkah lebih jauh dengan memberlakukan embargo perdagangan penuh kepada Israel. Tak hanya perdagangan, seruan boikot dan embargo juga merambah kepada atlet, akademisi, dan seniman Israel.
Seruan untuk melepaskan diri dari kaitan dengan Israel juga terus didengungkan di mana-mana, termasuk oleh para mahasiswa di kampus-kampus ternama di Barat. Mereka meminta perguruan tinggi-perguruan tinggi yang menjadi tempat mereka berkuliah, agar memutuskan hubungan dan pertalian dengan Israel atau individu dan lembaga yang memiliki kaitan dengan Israel.