Illan Pappe, Sejarawan yang Prediksi Kejatuhan Israel Diperiksa Saat Masuk AS, Ada Apa?

Pappe menilai tim yang menginterogasinya mengajukan pertanyaan di luar nallar

AP Photo/Oded Balilty
Tentara Israel membawa peti berisi jenazah tentara Israel yang tewas di Gaza saat pemakaman militer Kiryat Shaul di Tel Aviv, Israel, Ahad, 12 Mei 2024.
Red: Teguh Firmansyah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejarawan Israel, Ilan Pappe diperiksa dan diinterogasi oleh Departemen Dalam Negeri Amerika Serikat setibanya di AS, awal pekan ini. 

Baca Juga


Seperti dilansir Middle East Eye, Kamis (16/5/2024), akademisi yang punya pandangan anti-Zionis ini tiba di Amerika Serikat melalu bandara Detroit. Di sana ia diinterogasi selama dua jam. 

Di antara pertanyaan yang diajukan kepadanya adalah apakah ia pendukung Hamas. Kemudian petugas juga menggali pandangan Pappe soal serangan ke Israel ke Gaza apakah bagian dari genosida.  

"Dua tim datang dengan cara yang tidak kasar, tapi menurut saya pertanyaannya benar-benar di luar nalar!" ujar Pappe dalam laman Facebook. 

"Mereka melakukan pembicaraan dengan seseorang, adan setelah menyali isi telepon saya mereka baru mengizin masuk," katanya. 

Pappe dikenal dengan pandangan-pandangannya yang kritis terhadap aksi pendudukan Israel di Palestina. 

Ramalkan kehancuran Israel

menurut sejarawan Israel, Illan Pappe sudah pada tahap yang belum pernah terjadi sebelumnya. Hal itu bahkan telah disampaikan oleh Pappe pada Februari 2024 lalu dalam pidato di IHRC atau jauh sebelum serangan Raffah. 

"Jadi saya pikir ini adalah sebuah momen gelap yang kita alami, dan ini merupakan momen hitam karena eliminasi bangsa Palestina sudah mencapai level baru, belum pernah terjadi sebelumnya," ujar Illan Pappe. 

Bahkan, menurut Pappe, tragedi Nakba yang tak pernah terbayangkan sebelumnya tidak bisa dibandingkan dengan kejahatan seperti dilihat sekarang. "Apa yang ada di pikiran saya sekarang dari tiga bulan pertama dalam periode dua tahun akan menjadi saksi kengerian Israel terhadap bangsa Palestina," ujarnya. 

Namun, kata Pappe, pada saat kelam seperti sekarang, harus dapat dipahami bahwa proyek permukiman illegal yang memecah belah akan selalu digunakan utuk menyelamatkan proyek besar mereka. Ini seperti terjadi di Afrika Selatan dan Vietnam Selatan. Meski demikian, ia yakin Zionis sedang menghadapi masa kehancurannya. 

"Saya tidak mengatakan ini sebagai sebuah angan-angan, dan saya tidak mengatakan ini sebagai seorang aktivis politik, saya mengatakan ini sebagai seorang sarjana Israel dan Palestina dengan segala keilmuan saya," ujarnya. 

"Berdasarkan analisis sebagai seorang profesional, saya menyatakan bahwa kita sedang menyaksikan akhir dari proyek Zionis, tidak dapat diragukan lagi."

Menurutnya, proyek bersejarah itu akan segera berakhir. Seperti halnya proyek-proyek di belahan wilayah lain yang runtuh dengan kekerasan. Korban proyek ini, kata ia, selalu bangsa Palestina bersama Yahudi. "Karena Yahudi juga korban dari Zionis. Proses keruntuhan ini bukan sekadar harapan, tapi juga 'fajar yang menyingsing setelah kegelapan'." 

Dalam sebuah kesempatan terpisah, Pappe juga memproyeksikan bahwa Israel akan hancur dan berakhir. Indikasi itu, kata ia, dapat dilihat dari minimnya kohesi sosial yang ada di dalam Israel. "Ini seperti kalimat yang 'ringan', tapi merupakan isu yang serius," ujarnya.

Tak dapat dukungan dunia

Selain itu Pappe juga melihat masalah ekonomi yang ada di tubuh Israel. Mereka akan menghadapi krisis ekonomi yang tidak pernah terjadi sebelumnya. "Akan sangat sulit," kata ia. 

 

Kemudian yang tak kalah penting adalah tidak adanya dukungan internasional. Dunia saat ini berbeda dengan waktu 1948 ketika mereka mulai menganeksasi Palestina. "Aktivis maupun pemerintahan di belahan Selatan berada di posisi yang berbeda dengan 1948," katanya.

Ia mencontohkan sikap Partai Republik di AS yang mulai melihat Israel sebagai liabilitas bukan aset. "Sudah bukan lagi hubungan dekat."   

Akhiri serangan Rafah

Sementara itu, Kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa, Josep Borrell, mengeluarkan pernyataan yang memperingatkan Israel kegagalan untuk mengakhiri operasi militer di Rafah, kota paling selatan Jalur Gaza akan merusak hubungan dengan blok tersebut. 

"Uni Eropa menyerukan kepada Israel untuk menahan diri agar tidak semakin memperburuk situasi kemanusiaan yang sudah mengerikan di Gaza dan membuka kembali titik penyeberangan Rafah," kata Borrell, Rabu (15/5/2024).

 "Jika Israel melanjutkan operasi militernya di Rafah, hal ini pasti akan membebani hubungan Uni Eropa dengan Israel," katanya. 

Borrell mengatakan serangan Rafah "semakin mengganggu distribusi bantuan kemanusiaan" dan menyebabkan "lebih banyak pengungsian internal, paparan kelaparan dan penderitaan manusia".

Pernyataannya juga menyerukan kepada semua pihak untuk meningkatkan upaya mereka untuk mencapai gencatan senjata segera dan pembebasan tanpa syarat semua tawanan.

Sebelumnya dilaporkan Menteri Kesehatan Otoritas Palestina Majed Abu Ramadan mengatakan tanggung jawab hancurnya layanan kesehatan Jalur Gaza dapat dijatuhkan pada Israel yang terus menggelar serangan ke kantong permukiman tersebut. Abu Ramadan juga meminta masyarakat internasional melakukan intervensi untuk menyelamatkan sistem kesehatan di Jalur Gaza.

Pada Selasa (14/5/2024) kemarin ia mengatakan Otoritas Palestina sedang berusaha mengirimkan tim medis ke Gaza untuk mengobati "kasus-kasus sulit." Sebab Israel menolak mengizinkan sejumlah warga Palestina yang terluka dan sakit meninggalkan Jalur Gaza untuk menjalani pengobatan.

Sementara itu badan amal Inggris, Save the Children, mengeluarkan pernyataan yang berisi laporan dari seorang stafnya di Gaza yang menggambarkan kondisi mengerikan yang dihadapi penduduk Rafah yang terpaksa mengungsi.

 

 

"Ini kelima kalinya kami dipaksa pindah, mengikuti perintah relokasi terbaru. Awalnya kami dipindahkan dari Gaza ke Khan Younis, kemudian ke daerah lain di Rafah dan sekarang ke Deir el-Balah. Ini menghancurkan mental kami," kata staf Save the Children itu. 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler