BEM SI: Masalah UKT Buntut dari Aturan Mendikbudristek
Aturan yang sebabkan kenaikan UKT adalah Permendikbudristek No 2/2024
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) menyebutkan, kenaikan uang kuliah tunggal (UKT) yang terjadi di banyak perguruan tinggi negeri (PTN) adalah buntut dari Permendikbudristek Nomor 2 Tahun 2024. Di mana, aturan lain yang juga turut memengaruhi adalah Keputusan Mendikbudristek Nomor 54 Tahun 2024.
"Setelah kita kulik-kulik, dan ini jawaban dari pihak rektorat. Itu (UKT) mengacu pada Permendikbudristek Nomor 2 Tahun 2024 dilanjutkan Kepmendikbudristek Nomor 54 tahun 2024 yang mengatur tentang SSBOPT," ucap Koordinator Isu Perguruan Tinggi BEM SI Maulana Ihsanul Huda sebagaimana dikutip dari siaran Youtube Komisi X DPR RI, Jumat (17/5/2024).
Presiden BEM Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) itu menjelaskan, di Unsoed, pihaknya sudah melakukan berbagai upaya. Mulai dari aksi demonstrasi, audiensi berbicara langsung dengan pihak rektorat, tapi tak kunjung menemukan titik temu. Nilai UKT masih belum mengalami perubahan signifikan.
"Contoh di fakultas saya, hanya turun di golongan terbesar Rp 81 ribu (dari nilai sebelumnya Rp 14 juta). Itu betul-betul jadi keresahan kami. Ini bukan di Unsoed saja. Di Universitas Mataram, Universitas Bengkulu, Universitas Negeri Yogyakarta, UNS, Undip, Unes, UIN Jakarta, Unbraw juga sedang mengalami kenaikan," tutur dia.
Di Unsoed sendiri, kata dia, mahasiswa resah dengan angka kenaikan UKT yang mencapai 300-500 persen. Di Fakultas Peternakan, kampusnya, kenaikan terjadi dari yang sebelumnya Rp 2,7 juta melonjak jauh menjadi Rp 14 juta di tingkat yang paling tinggi. Sebab itu, menurut dia, menyebabkan mahasiswa marah.
"Maka kita hadirkan di tingkat nasional. Karena bukan Unsoed aja, tapi juga di banyak universitas. Maka kami BEM SI ke sini (DPR RI)," kata dia.
Dia menambahkan, di Unsoed, Peraturan Rektor Nomor 9 Tahun 2024 yang mengatur soal UKT masih terus berjalan. Di sisi lain, waktu registrasi online juga terus berjalan. Sebab itu, mahasiswa yang baru masuk kuliah benar-benar dikejar waktu.
"Khususnya di Unsoed terdata lebih dari 100 orang masih merasa sangat tidak sanggup dengan besaran UKT. Itu salah satu rasa pedih kita sebagai kakak tingkatnya. Maka kami terus berjuang untuk adik-adik kita," jelas dia.
Sebelumnya, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menyebutkan, tidak semua lulusan sekolah lanjut tingkat atas (SLTA) atau sekolah menengah kejuruan (SMK) wajib masuk ke perguruan tinggi. Sebab, perguruan tinggi termasuk ke dalam tertiary education atau edukasi tersier, bukan wajib belajar.
“Pendidikan tinggi ini adalah tersiery education. Jadi bukan wajib belajar. Artinya tidak seluruhnya lulusan SLTA, SMK itu wajib masuk perguruan tinggi. Ini sifatnya adalah pilihan. Siapa yang ingin mengembangkan diri masuk perguruan tinggi, ya itu sifatnya adalah pilihan, bukan wajib,” ucap Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset dan Teknologi Tjitjik Srie Tjahjandarie di Jakarta, Rabu (15/5/2024).
Tjitjik mengatakan, pendidikan tinggi berbeda dengan wajib belajar, yakni pendidikan tingkat sekolah dasar hingga SLTA/SMK. Sebagai konsekuensi dari hal tersebut, pendanaan pemerintah untuk pendidikan diprioritaskan untuk pembiayaan wajib belajar. Sebab, kata dia, hal itu adalah amanat undang-undang.
“Bagaimana untuk pendidikan tinggi? Tentunya pemerintah tetap bertanggung jawab. Tapi dalam bentuk bantuan operasional perguruan tinggi negeri (BOPTN),” terang dia.
Dia menjelaskan, idealnya, jumlah BOPTN yang diberikan itu sama dengan biaya kuliah tunggal (BKT). Jika pemerintah bisa memberikan pendanaan BOPTN sama dengan BKT, maka pendidikan tinggi itu akan gratis. Tetapi, yang jadi persoalan adalah dana pendidikan Indonesia yang tidak mencukupi.
“Karena prioritas utama adalah untuk pendidikan wajib. Nah, selama ini, bantuan BOPTN ke perguruan tinggi itu belum bisa memenuhi seluruh kebutuhan operasional penyelenggaraan pendidik,” kata dia.
Karena itu, kata Tjitjik, mau tidak mau diperlukan peran serta masyarakat atau gotong-royong untuk mendidik bangsa in. Menurut dia, gotong royong diperlukan agar masyarakat bisa mendapatkan akses pendidikan tinggi dengan harapan dapat semakin meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia.
“Sehingga begitu BKT ditetapkan, kemudian kita melihat bantuan pemerintah itu tidak akan mencukupi untuk menurut BKT, maka kita memberikan kewenangan kepada perguruan tinggi untuk dapat memungut uang kuliah tunggal (UKT),” jelas dia.
Namun, dia menegaskasn, pemerintah tetap melarang adanya komersialisasi perguruan tinggi negeri. Hal tersebut, kata dia, sudah jelas diatur di dalam peraturan perundang-undangan. Di mana, selain melarang adanya komersialisasi, perguruan tinggi negeri juga harus bersifat inklusif.
“Perguruan tinggi itu harus dapat diakses oleh masyarakat yang punya kemampuan akademik tinggi, baik dari yang kurang mampu maupun yang kaya atau yang mampu. Ini sudah kebijakannya,” tutur Tjitjik.
Untuk mewadahi semua itu, maka dalam penetapan UKT pemerintah mengatur adanya golongan UKT I dan UKT II. Di mana UKT I itu ada di angka Rp 500 ribu dan UKT II di angka Rp 1 juta. Menurut dia, pengaturan kedua golongan UKT itu dilakukan untuk menjamin masyarakat yang punya kemampuan akademik tinggi tapi secara ekonomi tidak mampu agar dapat mengakses pendidikan tinggi yang berkualitas.
Minimal penerima golongan UKT I dan II pun sudah ditetapkan di dalam Peraturan Mendikbudristek sebesar 20 persen dari kuota mahasiswa. Untuk selebihnya, sebagai bentuk memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk gotong royong membiayai pendidikan tinggi, maka pendidikan tinggi diberikan otonomi kewenangan untuk menetapkan golongan UKT III dan seterusnya.
“Apakah bebas? Tidak. Ada batasannya. Batasannya apa? UKT tertinggi itu tidak boleh melebihi BKT. Kenapa UKT tertinggi tidak boleh melebihi BKT? Ya agar masyarakat itu tidak overpay terhadap kebutuhannya sendiri,” ucap dia.