Bagaimana Kematian Raisi Menentukan Perang dan Damai di Timur Tengah?

Di bawah Raisi, Iran membangun perdamaian dengan negara-negara Teluk.

EPA-EFE/IRANIAN PRESIDENCY HANDOUT
Presiden Iran Ebrahim Raisi menyapa massa saat perayaan 45 tahun Revolusi Islam, di Teheran, Iran, 11 Februari 2024.
Red: Fitriyan Zamzami

REPUBLIKA.CO.ID, TEHERAN -- Innalillahi wa innailaihiraji'un, Presiden Iran Ebrahim Raisi dipastikan meninggal dunia akibat kecelakan helikopter di barat laut negara tersebut. Kehidupan pemimpin Iran tersebut dipandang kontroversial meski ia belakangan juga yang akhirnya memelopori perdamaian dengan Arab Saudi dan membuka harapan soal perdamaian di Timur Tengah.

Baca Juga


Ebrahim Raisi memenangkan Pemilihan Presiden Iran pada Sabtu 2021 lalu. Ia lahir di timur laut Kota Masyhad. Dia dibesarkan di lingkungan keluarga yang religius. Menurut situs kampanyenya, seperti dikutip laman Al Arabiya, Raisi menerima gelar doktor di bidang hukum dan yurisprudensi dari Universitas Mottahari di Teheran.

Raisi telah menjadi tokoh kunci dalam peradilan Iran sejak awal 1980-an. Pada 1981, ketika dia berumur 20 tahun, Raisi diangkat menjadi jaksa Kota Karaj, dekat Teheran. Dua tahun kemudian, dia diangkat menjadi jaksa Hamedan, sebuah kota yang jaraknya 180 mil dari Karaj.

Dia menjabat sebagai jaksa di dua kota tersebut secara bersamaan selama beberapa bulan. Raisi akhirnya dipromosikan menjadi jaksa Provinsi Hamedan. Pada 1985, Raisi pindah ke Teheran. Di sana ia menjabat sebagai wakil jaksa. Jabatan senior lainnya yang pernah dijabat Raisi termasuk wakil ketua pengadilan dari 2004 hingga 2014. Pada 2014-2016, dia menjadi jaksa agung.

Nama Raisi lekat dengan eksekusi massal tahanan politik Iran pada 1988. Namanya muncul karena kala itu dia merupakan anggota terkemuka dari apa yang disebut "komite kematian". Komite bentukan Ruhollah, pemimpin tertinggi Iran pada era tersebut, berisi sekelompok pejabat peradilan dan intelijen Iran.

Saat menjabat sebagai presiden Iran, ia kemudian membuka jalan perdamaian dengan Saudi. Hubungan Iran dan Saudi yang sudah lama rapuh kian retak sejak awal 2016. Hal itu terjadi setelah Kedutaan Besar Saudi di Teheran digeruduk. Kala itu, rakyat Iran tengah menggelar demonstrasi memprotes keputusan Saudi mengeksekusi ulama Syiah terkemuka, Nimr Al-Nimr, dan tahanan lainnya.

Kala itu, Raisi mengungkapkan, dialog dengan negara-negara tetangga di kawasan Timur Tengah akan menjadi prioritas pemerintahan barunya. 


Iran dan Arab Saudi pada Jumat 10 Maret 2023 kemudian menyepakati perjanjian bersejarah  untuk membangun kembali hubungan diplomatik yang terputus sejak 2017 lalu. Mereka sepakat membuka kembali kedutaan masing-masing setelah tujuh tahun ketegangan. Terobosan diplomatik yang dinegosiasikan dengan Cina itu diharapkan menurunkan ketegangan dan menghentikan konflik bersenjata di wilayah tersebut.

Benar saja, tak lama kemudian Saudi menyepakati gencatan senjata dengan kelompok Houthi di Yaman yang didukung Iran. Saudi dan negara-negara Teluk juga menyambut kembali Presiden Suriah Bashar al-Assad ke dalam Liga Arab. 

Saat proses perdamaian Timur Tengah itu berlangsung, Israel dan Amerika Serikat kemudian membuat gerakan normalisasi dengan Saudi. Hal ini salah satu pemicu para pejuang Palestina melancarkan Operasi Topan al-Aqsa pada 7 Oktober 2023. Iran di bawah Presiden Raisi kemudian jadi salah satu penentang utama pembalasan brutal Israel atas serangan itu di Jalur Gaza.

Iran telah memberikan dukungan finansial dan lainnya selama bertahun-tahun kepada Hamas, yang memimpin serangan ke Israel pada 7 Oktober. Jihad Islam Palestina juga mengambil bagian di dalamnya. Namun tidak ada bukti bahwa Iran terlibat langsung dalam serangan itu.

Kelompok-kelompok di bawah pengaruh Iran melakukan aksi-aksi nyata mencoba menghentikan serangan Israel ke Jalur Gaza. Hizbullah di Lebanon terus melakukan tekanan dengan rudal-rudal di perbatasan dengan Israel, Houthi di Yaman menyetop pelayaran ke Israel yang melintasi Laut Merah, sementara Hamas terus melakukan perlawanan di Gaza. 

Ketegangan memuncak bulan lalu, ketika Iran di bawah Raisi dan Pemimpin Tertinggi Ayatollah Ali Khamenei meluncurkan ratusan drone dan rudal balistik ke Israel sebagai tanggapan atas serangan udara terhadap Konsulat Iran di Suriah yang menewaskan dua jenderal dan lima perwira Iran.

Israel, dengan bantuan Amerika Serikat, Inggris, Yordania dan negara-negara lain, mencegat hampir semua proyektil tersebut. Sebagai tanggapan, Israel tampaknya melancarkan serangannya sendiri terhadap sistem radar pertahanan udara di kota Isfahan di Iran, tidak menimbulkan korban jiwa tetapi mengirimkan pesan yang jelas.

Kedua pihak telah melancarkan perang bayangan melalui operasi rahasia dan serangan siber selama bertahun-tahun, tapi baku tembak pada bulan April merupakan konfrontasi militer langsung pertama mereka.

Pada akhirnya, berpulangnya Raisi menimbulkan faktor baru pada dinamika di Timur Tengah. Kecelakaan helikopter yang menewaskan Raisi bisa jadi salah satu peristiwa signifikan yang dampaknya akan bergaung sampai jauh di masa datang.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler