Rahasia Surah Ad-Dhuha
Surah Ad Dhuha menggambarkan kondisi Nabi Muhammad yang gelisah.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Nabi Muhammad pernah merasa gelisah dan pikirannya sangat terganggu ketika beliau tidak menerima wahyu apapun dari Allah SWT, bahkan dalam mimpi.
Keadaan tersebut diceritakan melalui turunnya Surat Ad-Dhuha yang terdiri dari 11 ayat.
Jundub bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu menceritakan:
اشْتَكَى النبيُّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، فَلَمْ يَقُمْ لَيْلَةً – أوْ لَيْلَتَيْنِ – فأتَتْهُ امْرَأَةٌ، فَقالَتْ: يا مُحَمَّدُ ما أُرَى شيطَانَكَ إلَّا قدْ تَرَكَكَ، فأنْزَلَ اللَّهُ عزَّ وجلَّ: {وَالضُّحَى واللَّيْلِ إذَا سَجَى ما ودَّعَكَ رَبُّكَ وما قَلَى}
Suatu ketika Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sakit selama sehari atau dua hari. Seorang wanita datang ke Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sembari berkata,
‘Wahai Muhammad! Tidaklah aku saksikan bahwa setan itu meninggalkanmu.’
Kemudian Allah ‘azza wa jalla menurunkan Surat Ad-Dhuha. (HR. Bukhari no. 4950).
Kedatangan Malaikat Jibril menjadi sumber kegembiraan bagi Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena ia kembali disampaikan wahyu setelah jeda yang singkat, menerima pengetahuan baru, dan berbagai anugerah lainnya.
Di sisi lain, kehadiran Ummu Jamil dengan tujuan menghasut keraguan di dalam hati Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun, Allah ‘azza wa jalla segera meneguhkan hati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kembali.
Berdasarkan Tafsir At-Thabrani, dalam Surat Ad-Dhuha ayat pertama Allah subhanahu wa ta’ala bersumpah dengan saat dhuha, yakni ketika fajar mulai menyingsing, membawa bersamanya sinar matahari yang menghangatkan dan menerangi segala sesuatu. Di ayat berikutnya, Allah subhanahu wa ta’ala bersumpah dengan malam yang tenang, sunyi, dan diselimuti kegelapan.
Ayat ketiga Surat Ad-Dhuha Mengemukakan jawaban atas sumpah yang disebutkan pada dua ayat sebelumnya. Isinya menyiratkan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala tidak pernah meninggalkan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, juga tidak pernah membenci Beliau sejak Allah subhanahu wa ta’ala mencintainya.
Bahkan, Allah subhanahu wa ta’ala selalu bersama Nabi Muhammad, memberikan petunjuk, dan meningkatkan derajatnya dari satu tingkatan ke tingkatan yang lebih tinggi.
Hal ini menegaskan bahwa kondisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari masa lalu hingga saat penurunan ayat ini, senantiasa berada dalam keadaan yang sangat baik dan sempurna. Allah subhanahu wa ta’ala selalu mencintai dan membimbingnya.
Oleh karena itu, ayat ini juga berfungsi sebagai penolakan atas prasangka orang-orang musyrik dan wanita musyrik yang menganggap bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam telah ditinggalkan dan dibenci oleh Allah subhanahu wa ta’ala.
Al Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan makna ayat ini menjelaskan bahwa akhirat lebih utama bagi Nabi Muhammad daripada dunia. Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sosok yang paling zuhud di dunia.
Lihat halaman berikutnya >>>
Beliau menjauh dari dunia dan tidak terlalu terpaku padanya, seperti yang telah umat Muslim ketahui dari riwayat kehidupannya. Ketika Nabi Muhammad diberi pilihan oleh Allah subhanahu wa ta’ala di penghujung usianya, antara hidup abadi di dunia yang kemudian membawanya ke surga, atau segera bertemu dengan Allah azza wa jalla, beliau memilih apa yang ada di sisi Allah subhanahu wa ta’ala daripada hidup di dunia.
Kemudian al Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah membawakan hadis Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu anhu, ia berkata:
نَامَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ عَلَى حَصِيْرٍ، فَقَامَ وَقَدْ أَثَّرَ فِي جَنْبِهِ، فَقُلْنَا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، لَوْ اتَّخَذْنَا لَكَ وِطَاءً، فَقَالَ: ((مَا لِيْ وَمَا لِلدُّنْيَا، مَا أَنَا فِي الدُّنْيَا إِلاَّ كَرَاكِبٍ أَسْتَظِلُّ تَحْتَ شَجَرَةٍ ثُمَّ رَاحَ وَتَرَكَهَا)).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidur di atas tikar, kemudian beliau bangun, sedangkan di tubuh beliau terdapat bekas tikar, kami pun berkata: “Wahai, Rasulullah. Seandainya (tadi) kami siapkan untukmu alas pelapis (tikar),” beliau pun bersabda : “Apalah (artinya) untukku semua yang ada di dunia ini? Tidaklah diriku berada di dunia ini, melainkan bagai pengendara yang berteduh di bawah sebuah pohon, kemudian ia pergi dan meninggalkannya? (Tafsir Al-Qurthubi).