Pemberian Hak Tanah di IKN untuk Investor Jangan Terkesan Beri 'Karpet Merah'

Pengambilalihan lahan masyarakat perlu memperhatikan sejumlah hal.

dokpri
Diskusi yang digelar Kelompencapir dengan tema Pemanfaatan Tanah di IKN beberapa waktu lalu.
Red: Fernan Rahadi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Kelompok Notaris Pendengar, Pembaca dan Pemikir (Kelompecapir) Made Pria Dharsana, mengungkapkan  bahwa pemberian hak atas tanah di Ibu Kota Nusantara (IKN) kepada investor mesti hati hati dan teliti agar tidak timbul kesan memberikan 'karpet merah'. Penguasaan tanah dalam dua siklus merupakan upaya menarik minat investor menanamkan modalnya di IKN. 


"Hal ini mesti jadi perhatian kita semua karena jangan sampai kita melupakan bahwa bumi air dan seluruh kekayaan alam yang terkandung di dalamnya diperuntukan bagi sebesar besarnya kemakmuran rakyat," katanya dalam acara diskusi yang digelar Kelompencapir dengan tema 'Pemanfaatan Tanah di IKN' beberapa waktu lalu.

Menurut  notaris dari Bali tersebut, dalam UU  Nomor 3 Tahun 2022 telah diperbaharui dengan UU Nomor  21 Tahun 2023 yang mengatur hak atas tanah yakni hak pakai, hak pengelolaan, hak milik, HGU, HGB, dan tanah yang dikuasai oleh pihak yang berhak sesuai per UU-an dengan jangka waktu yang sudah ditetapkan. 

Terkait dengan jangka waktu yang ditetapkan terdapat beberapa catatan dari Pria Dharsana, yaitu pertama, hendaknya negara tidak memberikan 'karpet merah' kepada investor asing dengan iming iming kemudahan  secara kebablasan.

Kedua, jangka waktu sebagai sweeteners jangan akhirnya menjadi bumerang bagi masyarakat setempat sehingga sulit mengelola tanah pada wilayahnya sendiri. Ketiga, perlu adanya pola kerja sama pemanfaatan semacam BOT atau KSO dengan perjanjian yang sama sama menguntungkan baik bagi masyarakat setempat, dan investor.

Keempat, perlu adanya keseimbangan atau balancing antara kebijakan pemerintah dengan kepentingan umum. Kelima, ketentuan yang jelas dan tegas terhadap tanah yang di terlantarkan dengan pencabutan dan pembatalan hak yang sudah  diberikan.

Notaris dari Tangerang, Nurnaningsih, menyampaikan, berkenaan dengan pengambilalihan lahan masyarakat, maka  perlu  memperhatikan hal-hal di antaranya pemaknaan kepentingan umum dan hak menguasai negara, hak ulayat berdasarkan komunalistik religius, pelibatan tokoh masyarakat dan adat dalam proses perencanaan, pelibatan tokoh masyarakat dan adat dalam proses penetapan lokasi, perizinan (RTRW amdal), lembaga appraisal dan nilai ganti rugi, konsinyasi, serta pengawasan dan pendampingan

Mengulas pendapat para narasumber, Dewi Tenty Septi Artiany mengingatkan bahwa  tanah mempunyai sifat sosial. 

 

"Hal tersebut diartikan sebagai upaya untuk mengurangi tindakan represif dan hal lain yang menimbulkan adanya konfik, masyarakat dapat diajak untuk perpartisipasi dalam pembangunan IKN secara suka rela dimana pemerintah dengan sosialisasi yang cukup menyampaikan visi  sehingga timbul willingness atau kerelaannya melepaskan tanah sebagai bentuk keikut sertaannya dalam pembangunan menuju Indonesia emas 2045," ujarnya. 

Diskusi ini bertujuan untuk menyosialisasikan kebijakan pertanahan di IKN serta mengurangi distorsi informasi tentang pemanfaatan tanah dan tata kelolanya di IKN

Dewi Tenty menyampaikan bahwa Perumusan UU IKN sempat menimbulkan perdebatan dan kontraversi  terutama  berkenaan dengan tanah adat  dan pemberian hak atas tanah yang jangka waktunya melebihi ketentuan yang di tetapkan oleh UUPA.

Namun dengan visi 'Menjadi Bagian dari Indonesia emas 2045' Perumusan UU ini terus di laksanakan hingga terbitnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (IKN) telah ditetapkan pada tanggal 15 Februari 2022. 

"Beleid teranyar tentang IKN itu dibuat antara lain memperluas kewenangan Otorita Ibu Kota Nusantara (OIKN)  selain menjadi Ibu Kota Nusantara dan pelaksanaan pemerintahannya yang dilaksanakan oleh Otorita Ibu Kota Nusantara," ujar Dewi Tenty. 

Lebih lanjut ia menjelaskan, dalam Pasal 15A UU no 3/2022 mengatur tanah di IKN terdiri dari Barang Milik Negara (BMN), barang milik OIKN, tanah milik masyarakat, dan tanah negara. 

Tanah yang ditetapkan sebagai barang milik OIKN merupakan tanah yang tidak terkait dengan penyelenggaraan urusan pemerintah pusat dan diberikan hak pengelolaan kepada OIKN. Diatas tanah hak pengelolaan OIKN itu dapat diberikan hak atas tanah.

Selanjutnya Pasal 15A ayat (3) menyebutkan, 'Otorita Ibu Kota Nusantara dapat melepaskan hak pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)'. Sedangkan ayat (9) menyebutkan, 'Hak pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dapat dilepaskan dalam hal diberikan hak milik, dilepaskan untuk kepentingan umum, atau berdasarkan ketentuan yang diatur Peraturan Presiden'.

Sekretaris Otoritas IKN, Achmad  Jaka Santos, menyampaikan, dengan luas IKN 322.429 Ha atau empat kali luas DKI Jakarta,  252.660 Ha terdiri dari daratan dan sisanya berupa perairan dan dari luas daratan, hanya 25 persen saja yang dapat dibangun.

Diawali dengan adanya moratorium (larangan pengalihan hak atas tanah) di IKN yang sempat mengejutkan baik masyarakat maupun PPAT.  "Maksud dari adanya larangan tersebut adalah sebagai upaya pencegahan penguasaan tanah oleh para spekulan yang biasa membeli tanah dari mayarakat dengan harga murah untuk kemudian dijual kembali kepada pengembang," jelasnya. 

Selain moratorium juga adanya ketentuan tentang pemanfaatan lahan yang di ambil alih harus jelas peruntukannya hal ini mencegah penyalahgunaan sebagai akibat dari pengalihan atas tanah tersebut. 

 

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler