WWF Inisiasi Pusat Ketahanan Air dan Iklim di Asia Pasifik  

Kemitraan sangat penting untuk mengatasi krisis air dan iklim secara efektif. 

Republika/Wihdan Hidayat
Pepohonan yang sudah meranggas imbas kemarau di Pedukuhan Klegung, Patuk, Gunungkidul, Yogyakarta, Selasa (3/10/2023). Kemarau panjang pada tahun ini terasa bagi warga Klegung, sumur sumber air bersih turun drastis debitnya dan tidak bisa lagi dipompa keluar. Warga harus menunggu hingga airnya naik dan ditimba secara manual. Sumur bor yang ada di sini belum bisa dipergunakan karena masih dalam proses perbaikan. Kemarau di Gunungkidul membuat krisis air bersih yang berdampak pada 118 ribu jiwa di 16 kecamatan. BPBD Gunungkidul juga memperpanjang status siaga darurat kekeringan hingga 30 November 2023.
Rep: Gumanti Awaliyah Red: Indira Rezkisari

REPUBLIKA.CO.ID, BADUNG – World Water Forum ke-10 menggagas pembentukan Pusat Keunggulan Ketahanan Air dan Iklim atau Center of Excellence (CoE) on Water and Climate Resilience di kawasan Asia Pasifik. Pusat Unggulan ini dinilai akan menjadi platform kolaborasi bagi negara-negara di dunia belahan selatan yang sering mengalami masalah kebencanaan terkait dengan air dan pengelolaan air.

Baca Juga


Hal itu dikemukakan Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati dalam Special Session 9 World Water Forum ke-10 di Ruang Pecatu 3, Bali Nusa Dua Convention Center 2 (BNDCC 2), Bali, Rabu (22/5/2024). “Kolaborasi dan kemitraan adalah hal yang terpenting dalam CoE. Hal ini melibatkan berbagai pemangku kepentingan mulai dari pemerintah, sektor swasta, dan akademisi,” kata Dwikorita.

Dwikorita mengatakan bahwa kemitraan sangat penting untuk memanfaatkan berbagai sumber daya, keahlian, dan teknologi yang diperlukan agar CoE mampu mengatasi berbagai masalah terkait air dan iklim secara efektif. Sebagai negara kepulauan, lanjut Dwikorita, Indonesia berada di garda depan dalam menghadapi tantangan lingkungan dan iklim ini.

Lebih lanjut dia menyampaikan ada banyak tantangan yang dihadapi Indonesia dalam 30 tahun terakhir mengatasi krisis air. Namun Indonesia terus memiliki inovasi pengembangan teknologi dan melakukan pengembangan penelitian.

Dwikorita juga menuturkan setiap negara sebenarnya sudah memiliki CoE masing-masing, misalnya Indonesia dengan CoE Weather and Climate yang fokus untuk melatih kepakaran dalam bidang sumber daya manusia dan mendapatkan dukungan dari Organisasi Meteorologi Dunia (WMO). "Lebih dari 13 tahun juga sudah ada Sabo Center, di mana teknologi Sabo diperkenalkan kepada pakar-pakar muda di bidang terkait di Asia Pasifik dan Afrika," kata dia.

Sebagai informasi, sabo berasal dari dua kata dalam bahasa Jepang yaitu “sa” yang berarti pasir dan “bo” yang berarti pengendalian. Teknologi sabo adalah suatu teknik yang digunakan untuk mengantisipasi aliran debris dan pengendalian sedimen dalam suatu bentang alam, khususnya sungai pada gunung.

Sebelumnya, Staf Ahli Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Bidang Teknologi, Industri, dan Lingkungan Endra S Atmawidjaja mengatakan bahwa CoE menjadi jawaban dari tantangan iklim yang kita hadapi sekarang di dunia. Endra mengatakan bahwa dalam pendirian CoE itu, Indonesia akan menyasar penguatan kerja sama Selatan-Selatan atau South-South Cooperation (SSC).

Melalui CoE, kata Endra, negara-negara Selatan yang memiliki masalah terkait banjir, sedimen akibat erupsi yang merusak sungai, dan masalah pengelolaan air lainnya akan saling mengedukasi, bertukar pikiran, serta berbagi pengalaman untuk mencari solusi terbaik yang dapat diimplementasikan secara nyata.

“Centre of Excellence ini adalah jawaban dari tantangan iklim yang kita hadapi sekarang di dunia,” ujar dia

 

 

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler