2 Ulama Kakak Beradik Abad Pertengahan yang Tolak Musik Dianggap Haram dan Alasannya

Polemik musik kembali mencuat di publik Indonesia

ANTARA/Fikri Yusuf
Ilustrasi pertunjukan musik. Polemik musik kembali mencuat di publik Indonesia
Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Di tengah polemik music beberapa waktu lalu, dan potensi kembali menguatnya perdebatan soal isu ini lagi, mengingatkan kita kembali tentang khazanah pemikiran klasik. 

Baca Juga


Terdapat dua ulama adik kakak yang melakukan pembelaan terhadap diperbolehkannya musik. Siapakah keduanya?

Mereka berdua adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Tahus Ahmad al-Thusi al-Syafi’I, yang lebih dikenal sebagai Hujjah al-Islam Imam al-Ghazali (lahir 450H/1058M)  dan Abu al-Futuh Ahmad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Thusi al-Ghazali, yang lebih dikenal sebagai Ahmad al-Ghazali, adik Sang Imam.

Kakak beradik ini dilahirkan di Thus, dekat Meshhed di Khurasan (Iran sekarang). Menurut Margareth Smith, pada masa lampau kawasan ini merupakan lokasi Kemaharajaan Persia, kemudian oleh pemerintahan Abbasiyah dijadikan sebagai pusat propaganda. 

Di tempat ini dibangun kerajaan mereka pada abad kedelapan Masehi. Sejak itu dan seterusnya, tempat ini menarik perhatian sejumlah pengajar, penulis agama, dan tokoh-tokoh penyair terkenal lahir di tempat ini.

Thus terbilang kota yang lebih besar dibanding dua kota lain, Thabaristan dan Nawqan. Gedungnya tertata rapi dengan arsitektur Persia yang sangat indah dan mengagumkan. 

Penduduknya yang padat, kreatif dan gesit memberikan warna lain. Bunga-bunga tumbuh subur dengan aneka warna yang memberi banyak ilham bagi penyair kreatif. Tanahnya kaya mineral. Gunung-gunung berdiri kokoh seakan-akan sederetan pagar alam yang melindungi dan memberikan rasa aman bagi penduduk di dalamnya.

Thus juga telah melahirkan sejumlah tokoh masyhur dalam sejarah Islam. Yang terkenal, Abu Ali al-Hasan bin Ishaq, dikenal dengan nama Nizam al-Mulk.

Seorang wazir terkenal pada masa pemerintahan Dinasti Saljuq. Atas jasanya, Imam al-Ghazali dan Ahmad al-Ghazali, tumbuh sebagai dua tokoh yang sangat berpengaruh di dunia Islam.

Pro-kontra musik

Dr H Abdul Muhaya MA, dalam disertasinya mengungkapkan pro dan kontra kalangan ulama terhadap musik.

Sebagian ulama mengkategorikan musik (al-sama’) sebagai perbuatan yang tidak bermanfaat (lahw), dapat menumbuhkan kemunafikan dan termasuk hal yang dilarang oleh agama.

Empat Imam Mazhab Fikih terkenal, Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Hanbali, dan Imam Syafi’i, mengharamkan musik. Meskipun dalam sejarah hidup mereka diriwayatkan menghargai musik.

Ulama fikih (faqih) hampir semuanya mengharamkan musik. Alasan mereka, musik bisa menyeret manusia ke sifat-sifat buruk. Hati jauh dari pancaran cahaya Allah dan rahmat-Nya.

Bahkan musik dapat membuat manusia lupa akan kesederhanaan, dan mengganggu pikiran. Ini terbukti ketika musik tengah diperdengarkan dan orang hanyut di dalamnya, akan muncul sifat-sifat tercela seperti menganggukkan kepala, bertepuk tangan, jingkrak-jingkrak dan melakukan gerakan-gerakan orang mabuk. Karenanya, hukum musik dapat disamakan dengan hukum minuman keras.

Al-Qurthubi, penulis Tafsir al-Qurthubi, menyebut instrumen musik seperti mandolin, tambur, dan alat-alat musik yang bersenar sebagai alat yang diharamkan oleh syarak secara ijma.

Singkatnya, kelompok yang kontra musik ini mengharamkan musik, dan menganggapnya sebagai bidah dan hanya patut dilakukan oleh orang yang kurang berakal dan para wanita. Sedangkan kelompok yang promusik tidak kalah pembelaannya.

Sejumlah argumentasi, baik dari Alquran dan Hadis, maupun argumen rasionalitas, dikedepankan. Bagi kelompok ini, musik merupakan obat yang bisa menyembuhkan penyakit-penyakit batin yang tidak bisa diobati oleh seorang dokter.

Di kalangan sufi, musik merupakan sarana purifikasi, yang dapat mengantarkan seseorang kepada Tuhan. Alunan musik yang indah dengan syair-syair yang indah dan berisi puji-pujian akan mempercepat seseorang mencapai pengalaman spiritual.

Ia akan mengalami suatu –meminjam istilah Annemarie Schimmel—jubilant experience (pengalaman yang menggembirakan dan mengharukan). Kata-kata tidak bisa melukiskannya.

 

Master Choa Kok Sui, penulis buku best seller “Pranic Healing” (1998), mempunyai pengalaman menarik dengan musik. Seorang pasien penderita penyakit akut datang kepadanya untuk berobat. Master Choa mempersilakan pasien duduk santai dan tenang. Kemudian diperdengarkan musik kepadanya. Beberapa saat kemudian pasien tadi sembuh dan ia merasa ada sesuatu yang keluar dari dalam tubuhnya.

Pentingnya musik

Sebagai mistikus, Imam al-Ghazali dan adiknya, Ahmad al-Ghazali, menempatkan musik sebagai sarana menggelorakan rasa cinta Ilahi, mengantarkan seorang sufi ke derajat kesempurnaan dan menjadikannya sampai ke level musyahadah (penyaksian).

Menurut Margareth Smith, al-Ghazali sebagai penyair jenius, ternyata sangat menyukai musik. Dalam “al-Hikmat fi Makhluqat Allah” (Kairo, 1321H), al-Ghazali menulis apresiasinya yang sangat mendalam terhadap musik.

“Orang tuli tidak mampu menikmati suara merdu dan notasi musik, keberadaannya sama saja dengan tidak ada, sekalipun hadir, dia dianggap telah mati selagi hidup,” tulis al-Ghazali.

Al-Ghazali merasa risau terhadap ulama-ulama ortodoks yang mempersoalkan boleh-tidaknya musik dan lagu. Musik dan lagu yang semata-mata untuk hiburan sekalipun tidak mungkin dilarang. Yang terpenting musik tidak sampai menjurus ke arah perbuatan dosa.

Apalagi jika musik tersebut untuk kesehatan jiwa dan membangkitkan semangat, maka mendengarkan musik merupakan keniscayaan bagi manusia. Baginya, musik memiliki pengaruh yang bisa membangkitkan rindu kepada Tuhan.

Dalam musik seseorang bisa mengungkap rasa cintanya, sehingga terjadi hubungan antara si mistis dengan Tuhan telah tersambung antara irama musik dan jiwa manusia. Ruh manusia sangat rentan terhadap irama, dan musik dapat menyebabkan adanya rasa rindu, sayang, sedih, dan ekspansi serta kontraksi (Margareth Smith, 2000:95).

Pembelaan yang sama diperlihatkan oleh adik kandung al-Ghazali, Ahmad al-Ghazali. Sang adik mengarang buku khusus yang berisi pembelaan terhadap musik. Bukunya, Bawariq al-‘Ilma fi al-Rad ‘ala Man Yuharrim al-Sama’ bi al-Ijma’ (Dalam Dr Abdul Muhaya, 1998) berisi penolakan dan penyangkalannya terhadap pendapat-pendapat ulama yang mengharamkan musik dengan berbagai dalil baik yang manqul (Alquran dan Hadis) maupun yang ma’qul (rasional).

Bahkan tanpa tedeng aling-aling, Ahmad al-Ghazali menggolongkan mereka sebagai kafir. Sebagaimana kakaknya, Ahmad al-Ghazali menganggap musik sebagai sarana roh manusia dalam menapaki jalan-jalan spiritual menuju Tuhan. Bagi pemula, musik dapat meningkatkan kualitas spiritualitasnya. Bagi ahl ‘irfan, musik dapat mengantarkannya ke derajat tauhid murni.

Faedah musik

Pembelaan Ahmad al-Ghazali terhadap musik ini disebabkan oleh adanya faedah atau manfaat yang terkandung di dalamnya. Pertama, musik dapat menghilangkan sampah batin dan sekaligus dapat melahirkan dampak penyaksian (musyahadah) terhadap Allah SWT di dalam hati.

Menurutnya, “Ketika suara yang serasi memberikan pengaruh ke batin, maka dia akan menggerakkan roh untuk mencari peningkatan, lalu jasad pun bergerak disebabkan oleh gerakan roh. Maka di dalam wujud batin terjadilah kehangatan. Kemudian bercerai-berai sampah (fudhalat), dan tampaklah pengaruh penyaksian terhadap Allah di dalam hatinya. Dan semua itu terjadi dengan mendengarkan musik”.

Kedua, musik dapat menguatkan hati dan cahaya rohani. Ketiga, musik dapat melepaskan seseorang dari berbagai urusan yang dihadapi sehari-hari, dan menjadikan ia mudah menerima berbagai macam rahasia yang bersifat esoteris.

Keempat, mendengarkan musik, hati menjadi gembira, dan ini sangat berpengaruh terhadap kesehatan fisik. Dan kelima, musik bisa mempercepat dalam pencapaian ekstasi.

Uraian al-Ghazali dan adiknya mengenai musik merupakan sebuah indikasi adanya manfaat yang sangat besar di dalamnya. Karena itu, dalam memainkan musik yang ditekankan adalah aspek spiritualitasnya.

Artinya, musik yang dihasilkan haruslah mampu menggugah rohani manusia. Bukan sekadar musik hiburan an sich atau hanya semata-mata komersial dan sensual.

 

Mendengarkan musik dapat menghasilkan dopamin di otak. - (Republika.co.id)

sumber : Harian Republika
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler