Beda IDF dan Netanyahu Soal 'Pembantaian' Warga Palestina di Rafah, Siapa Berbohong?
Pemboman kamp pengungsian di Rafah oleh Israel menyulut kecaman dunia internasional.
REPUBLIKA.CO.ID, Tentara Israel (IDF) lewat pernyataan resminya menyatakan tengah melakukan evaluasi atas pemboman mereka ke Rafah yang kemudian ikut memakan korban jiwa puluhan warga sipil Palestina. Mereka berdalih operasi di Rafah pada Ahad (26/5/2024) adalah serangan presisi yang berhasil menewaskan dua tokoh senior Hamas.
Menurut Menteri kesehatan Gaza, serangan bom IDF menyulut api yang kemudian membakar tenda-tenda dan tempat penampungan sementara para pengungsi. Serangan terbaru IDF di kamp-kamp pengungsian di Rafah ini kemudian menyulut kemarahan dunia internasional.
Berbeda dengan pernyataan IDF yang menegaskan bahwa serangan mereka di Rafah telah direncanakan, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu kemudian menyebut serangan udara di kamp pengungsi itu sebagai 'kesalahan tragis'. Lewat pernyataannya, Netanyahu menyiratkan bahwa, pemboman Rafah pada Ahad bukan sesuatu yang direncanakan sebelumnya. Ia menambahkan penyelidikan terhadap kejadian tersebut sedang berlangsung.
"Di Rafah kami telah mengevakuasi sekitar satu juta warga sipil. Namun tragis di tengah upaya kami mencegah jatuhnya korban dari warga sipil, insiden terjadi kemarin. Kami secara menyeluruh menginvestigasi dan akan belajar dari insiden itu," ujar Netanyahu, dalam pernyataan resmi yang dirilis kantor PM Israel, Senin.
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Antonio Guterres mengutuk serangan Israel terhadap kamp pengungsi di kota Rafah, Gaza. “Saya mengutuk tindakan Israel yang menewaskan puluhan warga sipil tak berdosa yang hanya mencari perlindungan dari konflik mematikan ini,” kata Guterres pada akun media sosial X, Senin (27/5/2024).
Guterrez menambahkan bahwa sudah tidak ada tempat yang aman di Gaza, dan meminta diakhirinya kengerian tersebut. Lembaga PBB yang mengurusi pengungsi Palestina, UNRWA pun mengibaratkan kondisi Jalur Gaza pada Senin (27/5/2024) bak 'neraka di dunia' usai Israel membombardir kamp pengungsian di Rafah, selatan Gaza.
"Informasi yang datang dari Rafah tentang serangan Israel terhadap para warga yang mencari perlindungan sangat mengerikan," demikian pernyataan UNRWA. "Dilaporkan korban tewas termasuk dari kalangan anak-anak dan perempuan," lanjut pernyataan tersebut.
Gedung Putih pada Senin (27/5/2024) mendesak Israel agar mengambil langkah antisipasi yang memungkinkan untuk melindungi warga sipil menyusul serangan udara mematikan di sebuah kamp pengungsi di Kota Rafah, Gaza selatan pada akhir pekan. “Foto-foto pascaserangan IDF (Pasukan Pertahanan Israel) di Rafah Minggu malam yang menewaskan puluhan warga Palestina yang tidak bersalah menyayat hati,” kata juru bicara Dewan Keamanan Nasional AS kepada Anadolu lewat pernyataan.
Menekankan pentingnya melindungi non-kombatan, pernyataan tersebut mencatat bahwa Israel berhak mengejar kelompok Palestina, Hamas, yang dua anggotanya terbunuh dalam serangan Ahad malam. “Namun seperti yang telah kami jelaskan, Israel harus mengambil langkah antisipasi yang memungkinkan untuk melindungi warga sipil. Kami terus berkomunikasi dengan militer Israel dan mitra lainnya untuk memahami apa yang terjadi sehubungan insiden tersebut,” katanya.
Belanda pun menyeru kepada Israel untuk mematuhi keputusan Mahkamah Internasional (ICJ) dan menghentikan operasi militernya di kota Rafah, kata Perdana Menteri Belanda Mark Rutte pada Senin (27/5/2024). “Belanda mendesak Israel segera mematuhi Perintah Mahkamah Internasional,” tulis Rutte di X.
“Gambaran mengerikan” serangan udara Israel terhadap kamp pengungsi di Rafah “menyoroti sekali lagi” perlunya gencatan senjata segera di Jalur Gaza dan pembebasan semua sandera yang disandera oleh gerakan Palestina Hamas, tambah perdana menteri Belanda itu.
Sedikitnya 45 orang, kebanyakan perempuan dan anak-anak, terbunuh dan hampir 250 orang lainnya terluka akibat serangan Israel di kamp tersebut, Ahad. Serangan itu terjadi di dekat pangkalan logistik badan PBB untuk pengungsi Palestina (UNRWA) di Tal al-Sultan, menurut Kantor Media Pemerintah yang berbasis di Gaza.
Serangan terbaru itu terjadi meski terdapat keputusan Mahkamah Internasional (ICJ) yang memerintahkan Israel untuk menghentikan serangannya di Kota Rafah, yang menjadi tempat perlindungan bagi satu juta lebih warga Palestina sebelum diserbu pada 6 Mei.
Kelompok militan Hamas, pada Senin (27/5/2024) mengumumkan bahwa pihaknya tidak akan terlibat dalam perundingan apa pun menyusul kejahatan keji yang dilakukan rezim Zionis Israel di kamp pengungsi di Kota Rafah, Gaza selatan. Melalui pernyataan sebelumnya Hamas menyebutkan Pemerintah Amerika Serikat dan khususnya Presiden Joe Biden bertanggung jawab atas kejahatan tersebut.
Sebab menurutnya, jika bukan karena dukungan dan lampu hijau dari Washington, rezim Zionis tidak mungkin melakukan aksi semacam itu. Hamas juga menuntut implementasi segera keputusan Mahkamah Internasional (ICJ) dan desakan terhadap rezim pendudukan agar menghentikan pertumpahan darah warga sipil Palestina, termasuk perempuan, anak-anak dan kaum lansia.
Kelompok itu juga meminta semua pihak, terutama Mesir, untuk menekan rezim Zionis agar menarik pasukannya dari penyeberangan Rafah guna melanjutkan aktivitas di sana dan memfasilitasi evakuasi para korban dan bantuan kemanusiaan. Menurut Kementerian Luar Negeri Qatar, insiden terbaru di Rafah dapat menjadi batu sandungan untuk mencapai gencatan senjata di sana dan membebaskan para sandera.
“Qatar mengutuk keras pemboman Israel yang menargetkan kamp pengungsian di Rafah ... Kementerian menyampaikan keprihatinan Qatar bahwa pemboman tersebut akan mempersulit upaya mediasi yang sedang berlangsung sekaligus menghambat kesepakatan gencatan senjata segera dan permanen di Jalur Gaza serta pertukaran tahanan, sehingga semakin memperburuk dampak perang dan dampak terhadap keamanan regional dan internasional,” demikian unggahan Kemlu di X.
Kemlu Qatar mendesak komunitas internasional untuk "segera bertindak mencegah komitmen genosida" dan menekankan perlunya Israel mematuhi keputusan Mahkamah Internasional untuk menghentikan operasi militer di Rafah.