Generasi yang Hilang di Gaza dan Krisis Pendidikan di Tengah Perang
Sejak awal perang, semua sekolah di Gaza ditutup, membuat ratusan ribu siswa seperti Atef tanpa kini pendidikan formal dan tak memiliki tempat aman untuk menghabiskan hari-hari mereka.
ATEF Al-Buhaisi (6 tahun) berasal dari wilayah Palestina di Gaza. Dia bercita-cita menjadi arsitek. Sekarang, yang dia inginkan hanyalah bisa kembali ke sekolah.
Dalam perang Israel dengan Hamas, rumah keluarga Atef telah dibom, gurunya terbunuh, dan sekolahnya di Nuseirat dijadikan tempat pengungsian bagi orang-orang yang terlantar. Dia lantas tinggal di tenda yang penuh sesak dengan keluarganya di Deir al-Balah, Gaza tengah.
Perang dimulai pada bulan Oktober tahun lalu, sebagai respons Israel terhadap serangan Hamas pada 7 Oktober. Pasukan Hamas berhasil membunuh sekitar 1.200 orang dan mengambil 250 sandera dari Israel selatan.
Sejak awal perang, semua sekolah di Gaza ditutup, membuat ratusan ribu siswa seperti Atef tanpa kini pendidikan formal dan tak memiliki tempat aman untuk menghabiskan hari-hari mereka.
Kelompok bantuan bekerja untuk menjaga anak-anak agar tidak berada di jalanan dan pikiran mereka terpusat pada sesuatu selain perang.
"Apa yang paling kami takutkan adalah masa depan anak-anak kami dan pendidikan mereka," kata Irada Ismael, nenek Atef. "Rumah dan dinding dapat dibangun kembali, uang dapat diperoleh lagi. Tetapi bagaimana saya mengganti pendidikan (mereka)?"
Kelompok-kelompok bantuan kemanusiaan mengatakan sekitar 80 persen populasi Gaza telah terusir dari rumah mereka. Sebagian besar wilayah Gaza rusak atau hancur, termasuk hampir 90 persen bangunan sekolah.
Kementerian Kesehatan Gaza, yang dikendalikan oleh Hamas, mengatakan lebih dari 35.000 warga Palestina, termasuk warga sipil dan pejuang, telah terbunuh dalam perang tersebut.
Dan Kepala Program Pangan Dunia PBB mengatakan bahwa "kelaparan besar-besaran" sudah terjadi di utara.
Anak-anak adalah yang paling parah terdampak. PBB memperkirakan sekitar 19.000 anak telah menjadi yatim piatu dan hampir sepertiga dari mereka yang berusia di bawah dua tahun mengalami malnutrisi.
Dalam keadaan darurat, pendidikan kurang penting dibandingkan dengan keselamatan, kesehatan, dan sanitasi, kata para ahli pendidikan. Namun efeknya bertahan lama.
Sebelum perang, Gaza adalah rumah bagi lebih dari 625.000 siswa dan sekitar 20.000 guru, kata PBB. Sementara itu, dalam konflik lain, kelompok-kelompok bantuan berhasil menciptakan ruang aman bagi anak-anak di negara tetangga. Polandia telah digunakan untuk tempat penampungan dan pendidikan bagi warga Ukraina selama perang di sana, misalnya.
Namun, hasl seperti itu tidak mungkin di Gaza, daerah yang sangat padat penduduk di antara laut, Israel, dan Mesir. Sejak 7 Oktober, warga Palestina dari Gaza tidak diizinkan melintas ke Israel. Mesir telah mengizinkan sejumlah kecil warga Palestina pergi.
Tess Ingram, dari organisasi anak-anak dan pendidikan UNICEF, mengatakan kepada Associated Press, "Sangat sulit memberikan layanan tertentu kepada mereka, seperti dukungan kesehatan mental dan psikososial atau pendidikan dan pembelajaran yang konsisten."
Kelompok bantuan berharap kelas-kelas sekolah bisa dimulai pada bulan September. Namun, meskipun ada kesepakatan gencatan senjata, banyak area di Gaza yang harus dibersihkan dari ranjau. Dan membangun kembali sekolah bisa memakan waktu bertahun-tahun.
Sementara itu, kelompok bantuan menyediakan kegiatan seperti permainan, menggambar, dan seni. Kegiatan tersebut bukan pendidikan formal tetapi memberikan anak-anak rasa normalitas. Meski demikian, perhatian anak-anak Gaza sering beralih ke perang. Nenek Atef melihat cucunya itu menggambar hanya tentang tenda, pesawat, dan rudal.
Menemukan ruang kosong di gaza adalah salah satu kesulitan terbesar. Beberapa relawan menggunakan tenda tempat orang tinggal, atau menemukan ruangan di rumah yang masih berdiri.
Bulan ini, UNICEF telah merencanakan untuk membangun setidaknya 50 tenda untuk sekitar 6.000 anak dari usia prasekolah hingga kelas 12 untuk memberikan beberapa pendidikan informal. Tetapi, UNICEF mengatakan rencana tersebut dapat terganggu oleh operasi Israel di sana.
Kurangnya pendidikan dapat menyebabkan dampak psikologis. Ini mengganggu kehidupan sehari-hari dan, dikombinasikan dengan konflik, membuat anak-anak lebih mungkin mengalami kecemasan, kata Jesus Miguel Perez Cazorla, adalah ahli kesehatan mental dari Komite Palang Merah Internasional.
Anak-anak dalam konflik juga berisiko lebih tinggi menjadi pekerja paksa, kekerasan seksual, perdagangan manusia, dan perekrutan oleh kelompok kriminal dan bersenjata, para ahli memperingatkan.
Samantha Nutt dari War Child USA, sebuah kelompok yang mendukung anak-anak dan keluarga di zona perang, mengatakan anak-anak berada dalam bahaya direkrut oleh Hamas dan kelompok militan lainnya. Kekerasan yang terus-menerus membuat anak-anak percaya bahwa mereka “ingin mengambil tindakan terhadap kelompok yang mereka anggap bertanggung jawab,” katanya.
Para orang tua Palestina mengatakan mereka melihat lebih banyak anak di jalanan mencoba mencari uang untuk keluarga mereka. Beberapa mencoba menemukan cara kecil untuk mengajari anak-anak mereka. Tetapi banyak yang mengatakan anak-anak terlalu terganggu, dengan dunia di sekitar mereka dalam perang.
Sabreen al-Khatib, seorang ibu yang keluarganya mengungsi ke Deir al-Balah dari Kota Gaza, mengatakan hal itu sangat sulit bagi banyak orang yang telah melihat kerabat mereka meninggal dalam perang.
“Ketika Anda berbicara di depan anak-anak, apa yang Anda bayangkan sedang dipikirkan oleh anak itu? Apakah dia akan memikirkan pendidikan? Atau tentang dirinya sendiri, atau bagaimana dia akan meninggal?" tanya Sabreen al-Khatib.***
Sumber: Associated Press, Voice of America
--