Polemik Fenomena Penetrasi Salafi ke Masjid-Masjid dan Respons Muhammadiyah

Fenomena Salafi 'kuasai' masjid-masjid Muhammadiyah sempat jadi polemik di medsos.

Republika/Thoudy Badai
Jamaah melaksanakan shalat tarawih di Masjid Raya Uswatun Hasanah, Jakarta Barat. Belakangan di media sosial muncul polemik masjid-masjid Muhammadiyah 'dikuasai' kelompok Salafi.
Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Fuji EP, Muhyiddin, Rahmat Fajar

Baca Juga


Fenomena penetrasi kelompok Salafi di masjid-masjid milik ormas Islam seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) belakangan menjadi salah satu topik hangat yang diperbincangkan publik di media sosial. Isu ini muncul ke permukaan buntut 'serangan' oleh ustadz-ustadz Salafi terhadap Ustadz Adi Hidayat (UAH) yang pernah membahas kajian musik dalam Islam.

Seiring dengan ramainya kalangan dari kelompok Salafi mengomentari ceramah UAH, Sekretaris Umum Pimpinan Pusat, Prof Abdul Mu'ti mengirim pesan kepada jajaran jamaah Muhammadiyah agar bisa mengelola masjid sendiri agar tidak dikuasai kelompok lain.

Meski tidak disebutkan yang dimaksud kelompok lain itu siapa oleh Prof Mu'ti, pakar Sosiologi agama dari Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, Abd Faiz Aziz menyebutkan bahwa baru-baru ini muncul kelompok keberagamaan yang sering disebut dengan Salafi masuk ke masjid-masjid NU dan Muhammadiyah dengan tujuan mengembalikan praktik keberagamaan yang benar menurut mereka dan sesuai dengan praktik keislaman zaman Nabi Muhammad SAW dan salafus shalih.

Menurut Faiz, kaum Salafi tersebut menyasar masjid-masjid NU dan Muhammadiyah, karena dua organisasi keislaman ini menjadi penguasa mazhab keberislaman di Indonesia. Kelompok Salafi ini memiliki semangat dakwah dan mencoba memberikan alternatif penjelasan dari keislaman yang dipraktikkan NU dan Muhammadiyah. Secara perlahan kelompok Salafi ini merebut ruang masjid, meski belakangan NU dan Muhammadiyah memiliki ragam reaksi atas munculnya kelompok Salafi. 

Komik Si Calus Frasa Agama - (republika)

 

 

 

Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prof Syafiq A Mughni menyampaikan, bahwa Muhammadiyah merupakan organisasi yang luas, yang sikapnya luwes dan pikirannya luas. Sehingga, Muhammadiyah cenderung untuk menerima siapa saja yang ingin mengabdi kepada Muhammadiyah. 

"Tetapi jangan sampai keterbukaan (Muhammadiyah) itu kemudian dimanfaatkan untuk mengganggu Muhammadiyah, termasuk menyerobot aset yang sebenarnya milik Muhammadiyah," kata Prof Syafiq saat diwawancarai Republika di Aula Masjid At-Tanwir PP Muhammadiyah, Senin (27/5/2024).

Menurut Prof Syafiq, Muhammadiyah harus hati-hati supaya amanah yang diberikan kepada Muhammadiyah itu tetap terjaga. Oleh karena itu, Muhammadiyah juga harus berhati-hati terhadap setiap usaha dari pihak yang ingin mengambil alih aset dari Muhammadiyah. 

Ditanya, apakah yang dimaksud Salafi (varian musa) mengambil alih aset Muhammadiyah itu hanya masjid saja atau ada aset lain? Prof Syafiq menjawab, sebenarnya aset yang lain (selain masjid) juga harus waspada agar tidak diambil alih. Tapi yang paling sering terjadi itu adalah masjid.

"Karena (masjid) pintu masuknya lebih mudah dibandingkan dengan amal usaha yang lain (milik Muhammadiyah). Misalnya sekolahan, rumah sakit, perguruan tinggi, panti asuhan, itu lebih susah untuk dimasuki," ujar Prof Syafiq. 

Prof Syafiq ditanya lagi, apa dampak buruknya jika varian musa (Muhammadiyah-Salafi) dibiarkan masuk Muhammadiyah tanpa diwaspadai, menurutnya, kondisi itu akan menimbulkan ketegangan di tengah masyarakat. Karena, menurutnya, Muhammadiyah menganut wasthiyah. 

"Islam itu agama wasthiyah, sehingga tidak mudah mengkafirkan orang, tidak mudah membid'ahkan orang. Kita bersikap proporsional, tetapi kalau ada orang yang memanfaatkan masjid Muhammadiyah untuk mencaci maki orang lain, nah ini akan menimbulkan persoalan bagi Muhammadiyah," jelas Prof Syafiq.

Prof Syafiq mengatakan, pesan yang mereka (varian musa) sampaikan itu bertentangan dengan paham atau ideologi Muhammadiyah, tentu merugikan Muhammadiyah. Orang lain mungkin punya kesan seolah-olah (pesan dari varian musa) itu identik dengan Muhammadiyah. Sehingga Muhammadiyah mendapatkan citra yang buruk, akibat orang yang sebenarnya tidak mendapatkan persetujuan dari Muhammadiyah.

 

Rahasia Masjid Al Aqsa - (Republika)

Sebelumnya, dosen Studi Agama-Agama, Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Ahmad Salehudin menilai banyaknya masjid-masjid Muhammadiyah yang dikuasai kelompok Salafi menunjukkan adanya penerimaan dari akar rumput Muhammadiyah terhadap keberislaman ala Salafi-Wahabi. Selain itu, ini juga seolah-olah membuktikan kedekatan Muhammadiyah dengan Salafi-Wahabi. 

"Momentum ini dapat menjadi titik pijak Muhammadiyah untuk meneguhkan hati dirinya," kata Salehudin.

Menurut Salehudin menangani persoalan tersebut tentu organisasi mempunyai cara sendiri entah itu dilakukan secara tegas atau pelan-pelan. Hanya saja, Salehudin mempertanyakan apakah ketika kembali dikuasai mampu mengurus masjid tersebut.

Lebih lanjut, Salehudin menambahkan bahwa masalah ini sejatinya adalah momen intropeksi bagi organisasi. Bahkan tidak hanya Muhammadiyah namun juga Nahdlatul Ulama sebagai ormas Islam terbesar di Indonesia.

"Ini menjadi kritik bagi Muhammadiyah (dan juga NU) untuk meningkatkan kepedulian kepada umatnya. Jangan terlalu sibuk untuk ngurus organisasinya, dan lupa kepada umatnya," tuturnya.



Adapun, menurut Wakil Sekretaris Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, KH Abdul Muiz Ali, fenomena paham Salafi masuk ke masjid-masjid karena ormas Islam besar di Indonesia mulai jarang mengisi kajian. 

"Saya kira fenomena di masyarakat begitu. Soalnya begini, juga perlu dipahami bahwa kadang dari kita kelompok NU atau Muhammadiyah itu jarang ngisi-ngisi di masjid," ujar Kiai Muiz saat dihubungi Republika, Rabu (15/5/2024). 

"Begitu ada kelompok salafi "mengambil alih", akhirnya kita teriak. Mestinya kan tidak demikian ya. Masjid-masjid kita isi," ucap dia. 

Alumnus Ponpes Sidogiri ini mengatakan, dalam kehidupan masyarakat Indonesia, kelompok Salafi tersebut biasanya cenderung tertutup. Bahkan, mereka kerap mengkafirkan kelompok lain. 

"Salafi itu cenderung memang tertutup. Kalau bukan kelompoknya dianggap salah, dianggap kafir, dianggap musyrik. Itu salahnya mereka dalam beragama terlalu kaku," kata dia. 

Terkait perebutan masjid, kata dia, sebenarnya tidak bersentuhan langsung dengan persoalan amal ibadah yang diyakini oleh kelompok Salafi atau non-Salafi. Menurut dia, perlu dibedakan antara persoalan satu kelompok dan kelompok lain yang berbeda dalam memahami agama.

"Dalam hal hal yang bersifat furu', NU dan Muhammadiyah juga berbeda kan gitu tuh. Sama juga dengan Salafi," jelas Kiai Muiz. 

Namun, menurut dia, terkait dengan perebutan masjid perlu juga dipahami kenapa terjadi seperti itu. "Saya kira kalau masjid orang NU dijaga, diisi, diramaikan, tidak akan terjadi seperti yang ramai sekarang ini," kata dia. 

 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler