Viral Ustadz Doakan yang Halalkan Musik Mati saat Konser, Bolehkah Doakan Keburukan?
Seorang Ustadz mendoakan kematian bagi yang menghalalkan musik.
REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Sebuah video yang mempertontonkan seorang ustadz mendoakan orang
yang menghalal kan musik meninggal dalam keadaan konser viral di sejumlah media sosial.
"Ya Allah jadikanlah teman-temanku dan ustadz-ustadznya yang menghalalkan musik agar mereka mati dalam keadaan mendengarkan musik menyanyi mendengarkan konser dan yang semacam itu ya Allah ucapkan amin," kata Ustadz tersebut dikutip Republika.co.id di Jakarta, Kamis (6/6/2024).
"Ga ada yang mau bilang amin?" ucap Ustadz itu merespons ucapannya sendiri.
Tidak cukup, dia juga mendoakan ustadz yang membolehkan musik agar juga mati dalam keadaan mendengarkan musik.
"Ya Allah jadikanlah ustad-ustad yang mengatakan bahwa mendengarkan musik itu boleh-boleh aja selama tidak melalaikan dari sholat agar mereka semua mati dalam keadaan mendengarkan musik ya Allah beserta orang-orang yang mendukungnya. Ucapkan amin," ujar Muflih.
Dalam kondisi ini, apakah kita boleh mendoakan buruk bagi orang lain?
Allah SWT berfirman, "Allah tidak menyukai perkataan buruk, (yang diucapkan) secara terus-terang kecuali oleh orang yang dizalimi. Dan Allah Mahamendengar, Mahamengetahui." (QS An Nisa: 148)
Dalam Tafsir Ibnu Katsir diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa Allah SWT tidak suka dengan doa yang berisi ungkapan buruk kepada siapapun kecuali dia dizalimi. Karena itu, Allah SWT mengizinkan doa tersebut diucapkan tetapi hanya ditujukan kepada orang yang telah menzalimi dirinya.
Tafsir al-Sa'di juga menyebutkan, dibolehkan bagi hamba untuk berdoa terhadap orang yang telah menganiaya dirinya selama hamba tersebut tidak berbohong atau tidak melebih-lebihkan penganiayaan yang dialami dirinya.
Namun, memaafkan orang yang menzaliminya tentu jauh lebih baik. Lebih lanjut, ada beberapa bentuk doa dan hukumnya bagi orang yang dianiaya atau dizalimi kepada orang yang menzalimi sebagaimana dilansir dari laman Mawdoo.
Pertama, berdoa agar sikap zalim yang dilakukan si penzalim itu dihilangkan, dan ini sangat mulia. Kedua, berdoa untuk kematian anak-anak dari si penzalim, termasuk juga keluarganya dan orang-orang yang memiliki hubungan dengannya, meskipun mereka tidak ada kaitannya apapun dengan tindakan zalim si pelaku. Doa semacam ini tidak diperbolehkan.
Ketiga, berdoa agar orang berbuat zalim itu mengalami sakit yang luar biasa melebihi hukuman yang setimpal baginya. Ini juga tidak boleh. Keempat, berdoa agar pelaku zalim itu dikutuk untuk terus melakukan perbuatan dosa. Ini juga tidak boleh karena keinginan agar orang lain terjerembab dalam maksiat adalah juga bentuk dari maksiat itu sendiri.
Sebelumya, dikutip dari pemberitaan Republika.co.id pada 8 Februari 2021 dengan judul
Bolehkah Mendoakan yang Buruk untuk Orang Zalim?, Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada saat itu , Prof Dr Hasanuddin AF menyampaikan, meski ada redaksi pembolehan untuk menyampaikan doa yang buruk kepada orang yang berbuat zalim, lebih baik jika orang yang dizalimi itu menyerahkan semua persoalan yang dihadapinya kepada Allah SWT. Artinya, itu momentum bagi orang yang dizalimi untuk meningkatkan ketakwaannya kepada Allah dengan melaksanakan berbagai bentuk ibadah.
Hasanuddin menjelaskan, membalas kebaikan orang lain dengan kebaikan lagi itu sudah biasa. Sedangkan orang yang berbuat baik kepada orang yang tidak pernah berbuat baik kepada dirinya itu memiliki nilai yang lebih tinggi. Namun ada satu lagi yang lebih tinggi nilainya, yaitu membalas kejahatan orang lain dengan kebaikan.
"Ini nilainya jauh lebih tinggi dari dua yang pertama tadi. Dan tentu memaafkan orang yang telah menzalimi kita itu jauh lebih baik, ini termasuk membalas kejahatan dengan kebaikan," jelasnya.
Apalagi, Hasanuddin mengatakan, Allah SWT dalam Alquran mengingatkan bahwa salah satu ciri orang yang bertakwa adalah orang yang memaafkan orang lain. Karena itu, sudah semestinya orang yang beriman adalah memaafkan orang yang telah berbuat jahat kepada dirinya.
Allah SWT berfirman, "Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan." (QS. Ali Imran 133-134)
Hukum musik
Sementara, hukum Islam mengenai musik tampaknya selalu hangat untuk diperbincangkan dari dulu sampai sekarang. Apalagi, seiring berkembangnya zaman, musik makin tumbuh di tengah masyarakat dengan beragam genre.
Lantas, bagaimana sebetulnya pandangan Islam terhadap musik? Wakil Ketua Dewan Fatwa PB Al-Washliyah Dr Nirwan Syafrin menyampaikan penjelasan dengan membaginya pada tiga hal, yakni nyanyian, alat musik, dan musik itu sendiri, yang dalam hal ini bisa dikatakan sebagai perpaduan nyanyian dan alat musik.
Pertama, soal nyanyian, yakni lantunan suara yang berirama. Nirwan mengatakan, para ulama berbeda pendapat mengenai hukum nyanyian. Ada yang mutlak membolehkan, mengharamkan, dan memakruhkan.
"Untuk nyanyian seperti ‘Tala' al-Badru 'Alayna’ atau nasyid yang isinya mengajak pada kebaikan, bahkan lantunan ayat suci Alquran, para ulama membolehkan," ujar pengajar filsafat dan pemikiran Islam di Universitas Ibn Khaldun Bogor itu kepada Republika, beberapa waktu lalu.
Namun, ketika nyanyian tersebut bercampur dengan sesuatu yang haram, misalnya, disertai dengan minuman keras (miras) atau dinyanyikan di tempat yang penuh kemaksiatan, para ulama sepakat mengharamkannya.
Rasulullah SAW pernah memuji sahabat bernama Abu Musa al-Asyari karena memiliki suara yang merdu. Nabi Muhammad SAW juga pernah menyaksikan orang-orang badui merayakan hari besar dengan bernyanyi dan beliau membiarkan Aisyah RA untuk menyaksikan pertunjukan tersebut.
"Jadi, banyak ulama yang membenarkan nyanyian itu, dengan syarat tidak mengandung unsur keharaman, kesyirikan, kemaksiatan, kejahatan, kekufuran, dan kemunafikan," kata dia.
Kedua, mengenai musik, Nirwan memaparkan, memang ada ulama yang mengharamkannya secara mutlak. Pendapat ini mengharamkan musik secara mutlak dan bagi mereka mendengar musik sudah masuk kategori dosa besar sehingga apa pun jenis musiknya itu haram.
“Namun, pendapat ini tidak mainstream. Kita juga tidak sepakat kalau terlalu berlebihan,” katanya.
Menurut Nirwan, kalaupun ingin menyebut haram, seharusnya tingkat keharamannya tidak sampai pada dosa besar, tetapi masih bisa dihapuskan oleh kebaikan-kebaikan lain. Sehingga termasuk kategori kemaksiatan yang dosanya bisa gugur dengan wudhu lalu shalat. Namun, dia mengingatkan, musik menjadi haram jika di dalamnya terkandung berbagai keburukan sebagaimana yang telah dijelaskan.
Ketiga, terkait alat musik. Sejumlah ulama klasik membolehkan beberapa jenis alat musik, seperti seruling dan alat musik yang dipukul. Sedangkan, pada zaman modern sekarang, alat-alat musik kian beragam.
Mengutip pendapat Syekh Yusuf al-Qaradawi, Nirwan menyampaikan, keberadaan alat musik modern sekarang ini mutlak dibolehkan berdasarkan kaidah fikih 'al-ashlu fil asy-yaa'i al-ibaahah' (dasar segala sesuatu itu boleh). "Tidak ada dalil yang jelas mengharamkan alat-alat musik tertentu," ujarnya.
Terlepas dari perbedaan pendapat mengenai musik, Nirwan mengingatkan untuk tidak terlalu membesar-besarkannya. Umat Islam harus moderat dalam beragama. "Ini ada dalam ranah ikhtilaf, ranah di mana ulama berbeda pendapat. Jadi, kita juga harus bisa menyikapinya dengan baik. Kalau ada yang membolehkan, dia punya dalil dan yang mengharamkan juga punya dalil.”