Akhirnya, Masyarakat Knasaimos Terima Pengakuan Wilayah Adat 

Dalam dua dekade terakhir, masyarakat Knasaimos berjuang melindungi hutan adat.

Greenpeace.org
Masyarakat adat Knasaimos di Sorong Selatan menerima SK pengakuan wilayah adat.
Rep: Lintar Satria Red: Satria K Yudha

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penantian panjang masyarakat adat Knasaimos di Kabupaten Sorong Selatan, Papua Barat, akhirnya terwujud. Sehari setelah peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia pada 5 Juni, masyarakat Knasaimos menerima surat keputusan (SK) pengakuan wilayah adat dari bupati Sorong Selatan. 


Menurut keterangan dari Greenpeace Indonesia, Pemerintah Kabupaten Sorong Selatan mengakui wilayah adat Knasaimos seluas 97.441 hektare, yang membentang di dua distrik yakni Distrik Saifi dan Seremuk. Wilayah adat ini lebih besar dari Provinsi DKI Jakarta yang luasnya 66.150 hektare. 

Acara penyerahan surat keputusan pengakuan wilayah adat berlangsung di kantor Sekretariat Panitia Masyarakat Hukum Adat Sorong Selatan di Teminabuan, Sorong Selatan, Papua Barat Daya.  Sekretaris Daerah Pemkab Sorong Selatan Dance Nauw yang mewakili Bupati Sorong Selatan Samsudin Anggiluli memimpin prosesi ini. Perwakilan masyarakat Knasaimos menghadiri pemberian SK dengan mengenakan busana adat.

“Tanah ini sejak dahulu milik kami, hak kesulungan kami, diwariskan oleh para leluhur, dan akan menjadi masa depan anak-cucu kami. Namun, pengakuan wilayah adat penting untuk memberikan kepastian hukum bagi kami masyarakat adat," kata Ketua Dewan Persekutuan Masyarakat Adat Knasaimos, Fredrik Sagisolo. 

"Kami berharap, kepastian hukum ini bisa memperkuat benteng pertahanan kami untuk menjaga hutan dan wilayah adat dari ancaman investasi yang merugikan masyarakat adat dan Tanah Papua,” tambahnya.

Sekretaris Daerah Pemkab Sorong Selatan Dance Nauw menyampaikan, SK ini bukan sekadar dokumen administratif, tapi bentuk penghormatan dan pengakuan atas eksistensi dan peran penting masyarakat adat menjaga kelestarian lingkungan dan budaya lokal. Pengakuan wilayah adat ini juga sebagai tonggak sejarah dan bukti kepedulian terhadap masyarakat. 

“Pengakuan ini menunjukkan kepada masyarakat setempat dan pemerintah pusat, bahwa komitmen untuk melindungi lingkungan serta memastikan martabat dan kesejahteraan masyarakat adat berjalan beriringan," kata Dance Nauw.

Masyarakat adat Knasaimos di Sorong Selatan menerima SK pengakuan wilayah adat. - (Greenpeace.org)

Ia berharap pengakuan ini dapat memperkuat semangat gotong royong dan kebersamaan dalam mengelola wilayah adat demi kesejahteraan bersama,” tambahnya. Selain untuk masyarakat Knasaimos, Bupati Sorong Selatan juga meneken SK pengakuan serupa bagi masyarakat adat di Distrik Konda.

Greenpeace mencatat dalam dua dekade terakhir, masyarakat Knasaimos berjuang untuk melindungi tanah dan hutan adat mereka dari eksploitasi oleh pihak luar. Ketika pembalak kayu merbau dan perusahaan sawit menyasar wilayah mereka, orang Knasaimos gigih menolak.

Kegigihan perjuangan masyarakat Knasaimos...lanjut baca>>>

Beberapa bentuk kegigihan perjuangan Knasaimos, antara lain, melalui pemetaan wilayah adat, mengolah sagu untuk dijual sebagai wujud kemandirian dari sisi pangan dan ekonomi, hingga mendaftarkan pengakuan wilayah adat ke Pemerintah Kabupaten Sorong Selatan yang keputusannya mereka dapatkan.

“Masyarakat adat, khususnya perempuan adat, hidup dalam ketergantungan dengan alam. Hutan adat merupakan identitas, kebun, dan apotek bagi perempuan Knasaimos," kata Duketini Maria Youwe dari Bentara Papua.

"Para mama mengambil sayur, obat-obatan alami, hingga sagu yang mereka olah untuk makan keluarga serta dijual–hasilnya untuk mengirim anak-anak ke bangku sekolah. Dengan pengakuan ini, kami berharap masyarakat dapat mengelola tanah adat, memperoleh manfaat, dan hidup dengan kearifan lokal yang dimiliki tanpa harus menjual tanah dan kehilangan hutan,” kata dia. 

Greenpeace mengatakan pengakuan wilayah adat sebenarnya bukan kabar baik pertama untuk masyarakat Knasaimos. Pada 2016, masyarakat adat Knasaimos mendapatkan surat keputusan penetapan hutan desa/kampung dari Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup, disusul hak kelola hutan desa/kampung tiga tahun kemudian.

Infografis deforestasi Papua dan Papua Barat. - (Republika)

Di sisi lain, cerita Knasaimos ini menunjukkan masyarakat adat masih harus berjuang keras agar hak-hak mereka diakui dan dihormati. Masyarakat adat khususnya di Tanah Papua terus mengalami ancaman perampasan hutan adat.

Hal tersebut seperti yang kini dialami masyarakat adat Awyu di Boven Digoel dan memicu kampanye #AllEyesOnPapua di media sosial. Padahal, kata Greenpeace, konstitusi Indonesia menjamin keberadaan dan hak-hak masyarakat adat.

“Masyarakat Adat Knasaimos saat ini menikmati hasil perjuangan panjang mereka, tetapi masih banyak masyarakat adat lainnya di Tanah Papua dan di seluruh Tanah Air, yang telah kehilangan tanah, hutan, dan keanekaragaman hayati mereka secara permanen karena pemerintah menyerahkannya untuk kepentingan perusahaan,” kata Juru Kampanye Hutan Papua Greenpeace Indonesia, Amos Sumbung.

Amos mengatakan pengakuan masyarakat adat seharusnya tak hanya dilakukan oleh pemerintah daerah seperti di Sorong Selatan ini, tapi juga oleh pemerintah pusat.  Ia mendesak Presiden dan DPR harus segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat yang sudah lebih dari 10 tahun tak kunjung diselesaikan.

 

"Kami tak akan berhenti berjuang sampai ada pengakuan dan perlindungan penuh untuk masyarakat adat di Tanah Papua,” kata dia. 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler