Wahhhh, Mayorita Perceraian di Indramayu Dilakukan Istri, Ini Penyebabnya...
Dari 7.931 perkara yang sudah diputus, terdiri dari 5.785 perkara cerai gugat dan 2.146 perkara adalah cerai talak.
INDRAMAYU – Dalam UU Perkawinan, ada tiga hal yang dapat memutus sebuah pernikahan. Ketiganya adalah kematian, perceraian dan atas keputusan pengadilan. Sementara dalam perceraian di pengadilan agama, terdapat istilah cerai gugat dan cerai talak.
Ada yang menari dari kasus perceraian di Kabupaten Indramayu, yakni jumlahnya yang tinggi. Berdasarkan data Pengadilan Agama (PA) Kabupaten Indramayu, sepanjang 2023 lalu, tercatat ada 8.869 permohonan perceraian.
Dari jumlah itu, sebanyak 7.931 perkara yang diputus atau dikabulkan hakim untuk bercerai. Sedangkan alasan ekonomi menjadi faktor dominan penyebab perpisahan di antara pasangan suami istri di daerah tersebut.
Humas PA Kabupaten Indramayu, Dindin Syarief Nurwahyudin, menyebutkan, perkara perceraian yang telah diputus tersebut terdiri dari 5.785 perkara cerai gugat dan 2.146 perkara adalah cerai talak.
‘’Jadi yang paling banyak mengajukan perceraian itu dari pihak istri,’’ kata Dindidn.
Perkara perceraian yang diajukan selama 2023 itu meningkat sedikit dibandingkan pada 2022 lalu. Dia menyebutkan, sepanjang 2022, tercatat ada 7.771 perkara perceraian yang diputus.
Dindin menjelaskan, mayoritas alasan perceraian yang disampaikan oleh pemohon adalah karena faktor ekonomi. Menurutnya, faktor ekonomi yang rendah akhirnya memicu perselisihan di antara pasutri hingga berujung perceraian.
Selain itu, ekonomi yang rendah juga mendorong salah satu pasangan, terutama istri, untuk bekerja ke luar negeri sebagai pekerja migran Indonesia (PMI). Meski secara ekonomi bisa menjadi solusi, namun keberangkatan istri ke luar negeri untuk bekerja dalam waktu lama akhirnya mengganggu ketahanan rumah tangga mereka.
Dindin menambahkan, selain faktor ekonomi, penyebab terjadinya perceraian di antaranya juga karena kurang matangnya emosi pasutri dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Salah satu penyebabnya, karena usia mereka masih di bawah umur saat menjalani pernikahan.
‘’Banyak (yang mengajukan perceraian), yang asalnya dari dispensasi kawin. Salah satu dampak negatif perkawinan dibawah umur adalah timbulnya perceraian,’’ terang Dindin.
Dindin mengungkapkan, pihaknya tidak langsung mengabulkan begitu saja permohonan cerai. Pihaknya mengupayakan untuk mencegah perceraian dengan mengadakan mediasi di antara pasutri yang hendak bercerai.
‘’Dari PA upayakan mediasi. Tapi paling sepuluh persen (pasutri) yang datang untuk mediasi. Dari jumlah itu, yang berhasil paling dua persen. Tapi ya itulah upaya kami di ‘muara’. Yang efektif (mencegah perceraian) harusnya upayanya dari hulu,’’ tukas Dindin.
Untuk itu, lanjut Dindin, dibutuhkan upaya bersama seluruh pemangku kepentingan untuk mencegah terjaidnya perceraian. Termasuk peran tokoh agama, tokoh masyarakat, guru di sekolah, orang tua dan masyarakat. n Agus Yulianto