Masuk Daftar Hitam PBB, Ini Daftar Kejahatan Israel Terhadap Anak-Anak Gaza

Rerata 63 anak-anak Gaza syahid tiap harinya sembilan bulan belakangan.

AP Photo/Ismael Abu Dayyah
Karam Harara memegang jenazah putrinya yang berusia 2 tahun, Sabreen, yang syahid dalam serangan udara Israel di Gaza tengah, Ahad 19 Mei 2024.
Red: Fitriyan Zamzami

REPUBLIKA.CO.ID, GAZA – Perserikatan Bangsa-Bangsa akhirnya memasukkan Israel dalam daftar “List of Shame” alias Daftar Hitam sebagai negara yang membahayakan kehidupan anak-anak. Israel masuk daftar tersebut menyusul serangan brutalnya ke Jalur Gaza sejak 7 Oktober lalu. Sebagaimana berbahayanya Israel bagi anak-anak Gaza?

Sejak awal, pengeboman Israel tak pandang bulu. Rudal-rudal pasukan penjajahan Israel menghantam perumahan, rumah sakit, tempat ibadah, sekolah-sekolah, bahkan tenda pengungsian. 

Israel menggunakan teknologi kecerdasan buatan (AI) bernama Hasbora untuk melancarkan serangan itu. Teknologi itu yang menentukan lokasi mana yang “kemungkinan” jadi tempat bernaung pejuang Palestina. Untuk satu pejuang, merujuk investigasi media Israel 972+ Mag dan Local Call, terkadang dibolehkan sampai 100 warga sipil jadi korban tambahan. Hal ini membuat jumlah anak-anak dan perempuan yang terbunuh jauh di atas perang-perang lain sepanjang sejarah modern umat manusia.

Pada Sabtu (8/6/2024), tercatat lebih dari 36.700 warga Gaza syahid. Dari jumlah itu, sebanyak 15.571 adalah anak-anak atau sebanyak 42 persen (!) dari total korban jiwa. Mengingat serangan Israel ke Gaza sudah berlangsung selama 246 hari, berarti rerata anak Gaza yang terbunuh setiap harinya mencapai 63 anak-anak.

Selain itu, bom-bom yang membunuh orang dewasa juga membuat anak-anak Palestina yang bertahan dari bombardir Israel banyak yang menjadi yatim. Merujuk perhitungan lembaga HAM Euro-Med, jumlahnya mencapai 25 ribu anak yatim.

Merujuk Aljazirah, para dokter di Gaza mengatakan sebanyak 3.000 anak-anak Palestina kehilangan anggota tubuh mereka selama delapan bulan terakhir akibat pengeboman Israel. Banyak anggota tubuh anak-anak ini yang diamputasi tanpa obat bius karena kurangnya pasokan medis.

Kelaparan

Sejak serangan dimulai, Israel juga membatasi masuknya bantuan ke Gaza. Daerah terkepung itu sebelum serangan sangat tergantung pada bantuan dari luar untuk kehidupan mereka. Israel juga membatasi air bersih dan obat-obatan.

Akibatnya, Badan pendanaan anak-anak PBB, UNICEF juga mencatat bahwa sekitar 90 persen anak-anak di Gaza kekurangan gizi dan menghadapi ancaman “parah” terhadap “kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan mereka”.

Sebuah laporan, yang diterbitkan oleh UNICEF pada Kamis lalu, mengungkapkan, dampak bencana akibat serangan Israel di Gaza telah menyebabkan runtuhnya sistem pangan dan kesehatan. UNICEF menemukan bahwa satu dari 10 anak bertahan hidup dengan dua atau lebih sedikit kelompok makanan per hari, antara Desember tahun lalu hingga April tahun ini.

 
Kelaparan Esktrem di Gaza - (Republika)

Menggambarkan “peningkatan kekurangan gizi yang mengerikan”, laporan tersebut juga menyoroti bahwa 65 persen anak-anak diberi pola makan “hanya satu atau tanpa kelompok makanan” pada Februari, peningkatan enam kali lipat dari paruh pertama bulan Desember tahun lalu.

Kondisi ini mematikan. Kantor Media Pemerintah Gaza melansir peringatan bahwa lebih dari 3.500 anak di bawah usia lima tahun berisiko meninggal karena kekurangan makanan, suplemen nutrisi, dan vaksinasi.

Pekan lalu, seorang anak Palestina berusia 13 tahun dilaporkan  meninggal karena kelaparan di Rumah Sakit Martir Al-Aqsa di Deir Al-Balah di Jalur Gaza tengah di tengah penutupan perbatasan Rafah. Kantor berita WAFA melansir, kematian tersebut membuat jumlah korban jiwa akibat kekurangan gizi dan dehidrasi meningkat menjadi 37 orang di Jalur Gaza. 

Hancurnya pendidikan... baca halaman selanjutnya

 

 

Kementerian di Palestina juga menunjukkan bahwa sejak dimulainya agresi di Jalur Gaza, 620 ribu siswa tak bisa bersekolah. Sebanyak 88 ribu mahasiswa juga tak bisa berkuliah. Sementara itu, sebagian besar dari mereka menderita trauma psikologis dan kesehatan yang buruk.  Hal ini karena serangan Israel juga menghancurkan sekolah-sekolah dan universitas.

PBB mencatat, saat serangan Israel memasuki bulan keenam, lebih dari 5.479 pelajar, 261 guru dan 95 profesor universitas syahid di Gaza, dan lebih dari 7.819 pelajar dan 756 guru terluka. Jumlah saat ini jauh lebih banyak karena tiga bulan belakangan serangan ISrael kian brutal di Gaza. 

Setidaknya 60 persen fasilitas pendidikan, termasuk 13 perpustakaan umum, telah rusak atau hancur dan setidaknya 625.000 siswa tidak memiliki akses terhadap pendidikan. 195 situs warisan lainnya, 227 masjid dan tiga gereja juga telah dirusak atau dihancurkan, termasuk Arsip Pusat Gaza, yang berisi sejarah 150 tahun. Universitas Israa, universitas terakhir yang tersisa di Gaza dihancurkan oleh militer Israel pada 17 Januari 2024.

Laporan Save the Children mengungkapkan, empat dari lima anak di Jalur Gaza menderita depresi, kesedihan, dan ketakutan yang disebabkan oleh blokade Israel selama 15 tahun. Laporan yang berjudul “Trapped” ini mewawancarai 488 anak, serta 168 orang tua dan pengasuh di Jalur Gaza. 

Blokade Jalur Gaza dimulai pada Juni 2007. Blokade ini sangat mempengaruhi ekonomi wilayah Gaza dan membatasi mobilitas warganya. Blokade mempengaruhi kehidupan anak-anak, dengan jumlah 47 persen dari total dua juta penduduk Gaza.

Sekitar 800 ribu anak Gaza tidak pernah mengenal kehidupan tanpa blokade. Laporan itu menyatakan, anak-anak di Gaza harus menghadapi enam situasi yang mengancam jiwa, lima eskalasi kekerasan dan pandemi Covid-19. Penelitian terbaru Save the Children menunjukkan bahwa, kesehatan mental anak-anak, dan remaja telah memburuk secara dramatis sejak laporan terakhir mereka empat tahun lalu. Jumlah anak yang melaporkan tekanan emosional meningkat dari 55 persen menjadi 80 persen.

 

Laporan tersebut menunjukkan, ada peningkatan jumlah yang signifikan terhadap anak-anak Gaza yang merasa takut yaitu 84 persen dibandingkan dengan 50 persen pada 2018. Kemudian anak-anak yang merasa gugup sebesar 80 persen dibandingkan dengan 55 persen pada 2018. Sementara anak-anak yang mengalami depresi naik dari 62 persen menjadi 77 persen, dan anak-anak yang merasakan kesedihan naik dari 55 persen menjadi 78 persen.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler