Tiket Mahal, DPR Minta Pelita Air Terbang ke Kaltim dan Kaltara

Persoalan tiket pesawat merupakan tugas bersama seluruh pemangku kepentingan.

ANTARA FOTO/Muhammad Arif Pribadi
Petugas menutup mesin pesawat Pelita Air yang terparkir di Bandara Internasional Minangkabau (BIM), Padang Pariaman, Sumatera Barat, Jumat (19/1/2024).
Rep: Muhammad Nursyamsi Red: Satria K Yudha

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Deddy Sitorus menyoroti tingginya tiket pesawat ke Kalimantan Timur (Kaltim) dan Kalimantan Utara (Kaltara). Deddy berharap hal ini menjadi perhatian bagi maskapai pelat merah, yakni Grup Garuda Indonesia. 

Baca Juga


"Problem kita di penerbangan sekarang itu tiketnya mahal minta ampun, apalagi ke Kaltim atau Kaltara," ujar Deddy saat rapat kerja dengan Menteri BUMN Erick Thohir di Gedung DPR, Jakarta, Jumat (7/6/2024).

Deddy menyampaikan tiket menuju ke dua provinsi tersebut biasanya dibanderol seharga di bawah Rp 1 juta per orang. Namun kini melonjak hingga Rp 2,8 juta per orang. "Tidak hanya mahal, tapi dapatnya juga susah. Cari tiket untuk kembali dari Jakarta (ke sana) bisa satu bulan baru dapat," ucap Deddy. 

Deddy mengaku susah menyampaikan hal ini kepada manajemen Garuda dan Citilink. Namun, keduanya tak bisa berbuat banyak lantaran keterbatasan jumlah pesawat.  "Saya sudah bicara dengan Garuda dan Citilink, apakah mungkin Pelita Air bisa masuk ke sana, kan permintaannya tinggi," sambung politisi PDIP tersebut. 

Deddy yang berasal dari daerah pemilihan (dapil) Kaltara menyampaikan dua provinsi tersebut merupakan pasar yang potensial bagi maskapai. Pasalnya, terdapat banyak proyek strategis nasional (PSN), termasuk Ibu Kota Nusantara (IKN) yang memerlukan konektivitas pesawat tersebut. "Perlu diperhatikan apakah Pelita Air bisa diajak ke sana karena rakyat menjerit. Kalau (maskapai) swasta pasti tidak mau tambah supaya tiketnya harga maskimal, ujung-ujungnya mobilitas terganggu," kata Deddy. 

Di tempat yang sama, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir mengatakan persoalan tiket pesawat merupakan tugas bersama seluruh pemangku kepentingan. Erick menyampaikan Grup Garuda memang kini lebih fokus dalam melayani penerbangan domestik, namun masih terkendala terkait keterbatasan pesawat. 

"Realitanya kita hanya punya 400 pesawat, sedangkan kebutuhan nasional itu 700 pesawat. Ini realita yang kita hadapi saat ini," ujar Erick. 

Erick menyampaikan upaya meningkatkan ketersediaan pesawat memerlukan sinergitas dengan pihak lain, termasuk Kementerian Perhubungan (Kemenhub). Untuk itu, Erick mendorong rancangan undang-undang (RUU) BUMN inisasi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) agar bisa segera terealisasi.

Erick menyampaikan kehadiran RUU BUMN akan memangkas sekat-sekat birokrasi antara Kementerian BUMN dengan kementerian lain dalam mengatur dan mengawasi operasional BUMN. Erick pun sependapat dengan arahan Komisi VI yang meminta peta jalan kementerian teknis seharusnya melibatkan Kementerian BUMN. 

Menurut Komisi VI, lanjut Erick, Kementerian BUMN merupakan kepanjangan tangan pemerintah dalam mengelola BUMN. Tak hanya itu, Kementerian BUMN juga dinilai lebih memahami kondisi BUMN serta bersentuhan langsung dengan masyarakat dan market. 

"Berbagai kendala yang ada di BUMN ini salah satu solusinya di RUU BUMN yang dengan kerendahan hati bisa didorong. Kalau ada opsi diskusi bersama Komisi VI dan Komisi XI itu sangat baik karena kalau deadlock seperti ini akhirnya bolanya kembali ke kita," ucap Erick. 

 

 

 

 

 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler