Menelusuri Rumah Khadijah dan Rasulullah di Masjidil Haram
Khadijah merupakan putri pembesar Quraisy.
REPUBLIKA.CO.ID, MAKKAH -- Setelah berusia 25 tahun, Nabi Muhammad membangun mahligai rumah tangga bersama Siti Khadijah. Ia adalah seorang janda kaya raya yang mengabdikan seluruh hidupnya untuk membantu Rasulullah dalam mensyiarkan Islam.
Saat itu Khadijah bukan perempuan biasa. Ia adalah Sang Putri Quraish. Ia diriwayatkan lahir pada tahun 556 Masehi dari pasangan Khuwaylid bin Asad dan Fatimah bin Zayd. Nama lengkapnya adalah Khadijah binti Khuwaylid ibn Asad ibn 'Abd al-'Uzza ibn Qusayy.
Setelah menikah, Rasulullah dan Khadijah tinggal di sebuah rumah yang kini jejaknya masih dapat ditemukan di area Masjidil Haram. Pada Kamis (6/6/2024) dini hari, saya pun pergi ke Masjidil Haram untuk menelusuri rumah cinta Khadijah dan Rasulullah itu.
Sebelum berangkat ke Masjidil Haram, saya telah mendapatkan informasi bahwa Rumah Siti Khadijah terletak di Zuqaq al-Hajar, yang berada tak jauh dari masa'a atau tempat jamaah haji melaksanakan ibadah sai.
"Dari pintu keluar Marwah, belok kanan sedikit. Di situ lah rumah Khadijah bersama Nabi," kata salah konsultan ibadah di Daker Makkah, KH Mohammad Adnan.
Untuk memastikan itu, saya pun berangkat menuju Masjidil Haram dan tiba di masjid itu menjelang Subuh. Setelah melaksanakan sholat Subuh berjamaah di hadapan Ka'bah, lalu saya pergi ke masa'a. Di sana, tampak ribuan jamaah dari berbagai dunia tengah melaksanakan sai dari bukit Safa ke Marwah.
Di bukit Marwah, seorang jamaah haji Indonesia tampak berdebat dengan seorang askar berseragam loreng biru. Jamaah perempuan itu menggunakan bahasa Indonesia. Sementara, sang askar menggunakan bahasa Arab.
Jamaah bernama Susilowati itu tampak kebingungan dan tak mengerti apa yang diucapkan askar. Melihat itu, saya pun menghampiri ibu itu. Setelah menenangkan, saya bertanya:
"Ada apa bu?"
"Saya mencari suami saya. Saya terpisah tadi bersama rombongan," ujarnya. Sementara, sang askar sudah mengalihkan perhatiannya untuk mengatur pergerakan jamaah lainnya.
Di tempat suci dan bersejarah itu, Susilowati (52 tahun) mengaku sudah satu jam menunggu suaminya. Di bukit Marwah, ia hanya berdiri memandangi setiap jamaah yamg lewat, namun sang suami belum juga muncul. Sementara, untuk menghubungi suaminya, ia belum mengisi pulsa.
Lalu kami menuju pos pengamanan yang berada tak jauh dari pintu keluar bukit Marwah. Di sanalah kami bertemu petugas haji lainnya. Jamaah haji asal Bekasi itu pun akhirnya memilih untuk menunggu suaminya di pos itu dengan ditemani petugas haji Indonesia.
Pos yang dimaksud di sini tentu bukan seperti halnya pos ronda yang ada tempat duduknya. Pos itu hanyalah istilah yang dipakai untuk menentukan titik para petugas haji Indonesia berjaga untuk melayano jamaah yang tersesat atau ketinggalan rombongannya.
Setelah jamaah itu merasa aman, saya pun kembali fokus mencari jejak rumah Siti Khadijah. Dari pos dekat Marwah itu, lalu saya pun berjalan sekitar 10 meter menuju arah Terminal Jiad atau Tower Zam-Zam. Di sana lah tampak sebuah dataran agak tinggi yang diberi pembatas plastik berwarna hijau berbentuk lingkaran.
Lokasi itu lah yang diyakini sebagai rumah Siti Khadijah dan Rasulullah. Di area itu juga terdapat sebuah tiang lampu yang menjulang. Di tengah-tengah pembatas itu juga terdapat beberapa jamaah yang tengah duduk. Merpati yang hampir semuanya berwarna abu-abu juga bergerombol di sana.
Jamaah yang melintasi wilayah itu tampak biasa-biasa saja. Hanya sesekali nampak ada yang berhenti dan berswafofo. Mereka tidak menyadari bahwa lokasi itu merupakan kediaman Khadijah dan Rasulullah di masa lalu.
Lihat halaman berikutnya >>>
Untuk memastikan itu, saya juga sempat bertanya kepada para petugas haji yang berjaga di area itu. Saya juga bertanya kepada jamaah yang melintas. Namun, mereka tidak ada yang mengetahui bahwa itu adalah rumah Khadijah.
Namun, Kiai Adnan menegaskan bahwa di area itulah Nabi Muhammad dan Siti Khadijah melahirkan keempat anaknya, yaitu Qasim, Zainab, Ruqayyah, dan Fatimah.
"Nabi sama Khadijah di situ. Beliau punya anak empat itu di situ," kata Dosen Pascarjana UIN Syarif Hidayatullah ini meyakinkan.
Mustasyar Dini PPIH Arab Saudi, KH Muhyiddin Chotib juga membenarkan bahwa di situlah Nabi Muhammad hidup bersama Khadijah. Di rumah ini pula Khadijah menjadi orang pertama yang menerima Islam.
Di sinilah pula Zaid bin Haritsah, budak Khadijah yang telah dibebaskan, bergabung dengan agama tersebut, begitu pula Ali bin Abi Thalib yang dibesarkan di rumah tersebut.
"Iya memang benar di situ (di dekat pintu keluar bukit Marwah)," kata Kiai Muhyiddin.
Rumah tersebut menjadi tempat awal mula risalah yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Di sini Jibril menurunkan wahyu Alquran pada beberapa kesempatan. Tempat di rumah yang biasa ia turuni kemudian dikenal dengan nama Kubah Wahyu.
Dalam bukunya “The House of Khadijah”, Ahmad Zaki Yamani seorang arkeolog yang sempat menggali dan meneliti lokasi rumah tersebut pada tahun 1990-an mengiyakan lokasi rumah Khadijah tersebut. Bahkan, ia menuliskan secara mendetail soal rumah tersebut.
Ia menuturkan, rumah tersebut terbagi dalam beberapa ruangan. Di antaranya, ruangan untuk menjamu tamu, kemudian sebuah koridor yang memisahkan kamar kelahiran putri-putri Nabi dengan kamar Rasulullah dan Khadijah serta ruangan sholat Rasulullah.
Selain itu, ada sebuah ruangan yang lebih besar dari lainnya yang diperkirakan berfungsi sebagai gudang. Hal ini disimpulkan seturut profesi Khadijah sebagai saudagar yang harus menyimpan barang dagangan bawaan rombongan dagangnya dari Yaman untuk kemudian dijual di Makkah.
Sepanjang 25 tahun pernikahannya bersama Khadijah, Rasulullah tak melirik perempuan lain. Bahkan setelah Khadijah wafat, Nabi Muhammad tak pernah mencintai perempuan lainnya sebesar cintanya pada Khadijah. Nabi juga selalu menyisakan bagian kambing yang ia potong untuk sahabat-sahabat Khadijah semasa hidup.
Lalu Apa yang Terjadi dengan Rumah Khadijah?
Nabi Muhammad SAW tinggal di rumah Khadijah selama sekitar 28-29 tahun. Setelah hijrah ke Madinah, lalu Mu'attab bin Abi Lahab mengambil alih rumah tersebut. Dia tetap mempertahankan rumah itu miliknya bahkan setelah Nabi SAW kemudian kembali ke Makkah. Dan Mu'attab akhirnya menerima Islam.
Selanjutnya, Muawiyyah bin Abi Sufyan membeli rumah tersebut seharga 100 ribu dirham. Ia membeli dari Mu'attab pada masa pemerintahannya sebagai khalifah dari tahun 661 hingga 680 M.
Selama berabad-abad terjadi banyak perubahan di wilayah tersebut, khususnya peningkatan permukaan tanah setelah bertahun-tahun banjir yang membawa dan mengendapkan lumpur.
Pada 1885, Christiaan Snouck Hurgronje, Orientalis Belanda, pernah mengunjungi rumah tersebut. Dia mencatat bahwa para pejabat pada masa itu memungut biaya kepada mereka yang mengunjungi rumah Khadijah.
Pelestarian besar terakhir rumah ini dilakukan oleh Khalifah Ottoman terakhir, Sultan Abd al-Majid sekitar 1923 M. Namun, pada tahun 1950, rumah tersebut sudah tidak ada lagi. Seorang pengacara Mesir, Muhammad Lutfi Jum'ah, melakukan perjalanan ke Makkah dan mencatat bahwa yang tersisa hanyalah sebidang tanah kosong.
Dinding rumah Khadijah telah dibongkar dan fondasinya ditutup dengan pasir. Di bawah tekanan dari tokoh-tokoh agama penting pada saat itu, pemerintahan baru Saudi telah meratakan rumah tersebut dan situs bersejarah penting lainnya karena takut orang-orang akan menjadikannya sebagai sumber penghormatan yang berlebihan.
Namun, Syekh Abbas Yusuf Qattan, Wali Kota Makkah pada saat itu merasa khawatir dengan perkembangan ini dan berhasil mendapatkan dokumen hukum yang memberinya kendali atas situs tersebut. Dia melestarikan situs tersebut secara diam-diam dengan menyembunyikan rumahnya di bawah lapisan pasir lembut dan membangun sekolah penghafal Alquran di atasnya. Inilah yang dinamakan Mazhab Sayyid Abbas.