Masyarakat Harus Sadar Bencana, Tak Hanya Rawan Bencana Tapi Waspadai Perubahan Iklim
Upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim harus menjadi bagian integral strategi
REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG---Masyarakat Indonesia harus memiliki ketanggap daruratan bencana. Karena, Indonesia rawan dengan bencana alam. Menurut Guru Besar Departemen KL FKM Universitas Indonesia Prof Bambang Wispriyono, Indonesia merupakan lokasi strategis untuk dapat terjadi bencana alam maupun non alam dengan letak geografisnya yang berada di Cincin Api Pasifik (Ring of Fire).
Sehingga, menjadi salah satu negara yang paling rentan terhadap bencana alam di dunia. Menurutnya, posisi strategis ini memberikan kekayaan alam yang luar biasa, namun di sisi lain juga membawa risiko bencana yang tinggi.
"Kita berada di pertemuan tiga lempeng tektonik utama dunia: Lempeng Eurasia, Lempeng Indo-Australia, dan Lempeng Pasifik," ujar Bambang saat menjadi salah satu pembicara di Webinar Membangun Indonesia Tangguh Bencana: Mengurangi risiko bencana melalui Government belum lama ini.
Webinar tersebut digelar oleh Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia khususnya Program Studi Keselamatan & Kesehatan Kerja (K3) dan Kesehatan Lingkungan (KL) dengan menghadirkan banyak pembicara.
Bambang mengatakan, pertemuan tiga lempeng tersebut menyebabkan aktivitas seismik yang intens, termasuk gempa bumi, letusan gunung berapi, dan tsunami. Selain itu, iklim tropis Indonesia juga membuatnya rentan terhadap bencana hidrometeorologi seperti banjir, tanah longsor, dan badai tropis.
Hal ini diperkuat oleh Prof Benjamin Horton, Director of Earth Observatory of Singapore Nanyang Technology University. Menurutnya, selain risiko yang disebabkan oleh letak geografis Indonesia di Cincin Api Pasifik, Indonesia juga harus mempertimbangkan dampak perubahan iklim yang semakin nyata.
"Salah satu poin penting yang perlu kita pahami adalah dampak peningkatan suhu global sebesar 1,5 derajat Celsius. kenaikan suhu ini dapat memperburuk frekuensi dan intensitas bencana alam seperti banjir, kekeringan, dan badai tropis," tuturnya pada Webinar.
Dalam konteks ini, kata dia, upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim harus menjadi bagian integral dari strategi pengurangan risiko bencana. "Kita harus dapat mengambil langkah proaktif dengan mengadopsi kebijakan yang ramah lingkungan, seperti pengurangan emisi karbon, pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan, dan investasi dalam energi terbarukan," katanya.
Selanjutnya, paparan oleh Dr Evi Widowati, SKM MKes dosen FKM Universitas Negeri Semarang, bertema Program Satuan Pendidikan Aman Bencana (SPAB), kata dia, untuk memberikan pendidikan keselamatan di sekolah sejak dini dapat dilakukan salah satunya dengan Program Satuan Pendidikan Aman Bencana atau SPAB yang merupakan sebuah upaya pencegahan dan penanggulangan dampak bencana di satuan pendidikan.
"Program ini bertujuan untuk meningkatkan keamanan pada satuan pendidikan sebelum terjadinya bencana, ketika terjadinya bencana, maupun setelah terjadinya bencana, dengan berbasis pengurangan risiko bencana, inklusif, ramah anak dan mendorong kesetaraan, efektif dan menyenangkan, kerjasama lintas sektor, dan akuntabilitas," katanya.
Dari sisi Pemerintah, paparan kebencanaan di wakili Direktur Direktorat Kesiapsiagaan BNPB Drs Pangarso Suryotomo dalam webinar menyoroti peran penting pemerintah (government) dalam upaya mitigasi bencana. Menurutnya, semua telah mendengarkan bagaimana kebijakan nasional, regulasi, dan program-program strategis disusun dan diimplementasikan untuk memperkuat kesiapsiagaan dan respons terhadap bencana.
"Contoh konkret dari inisiatif ini termasuk pengembangan infrastruktur tangguh bencana, peningkatan kapasitas sumber daya manusia, serta pelatihan dan edukasi masyarakat," katanya.
Menurutnya, peran pemerintah yang efektif dan terkoordinasi adalah kunci dalam memastikan bahwa setiap lapisan masyarakat terlindungi dari risiko bencana. Peran Akademisi dan perguruan tinggi juga turut andil dalam penanggulangan bencana sesuai dengan Tri Dharma perguruan Tinggi.