Nabi Muhammad SAW Mengerjakan Haji Qiran, Ifrad atau Tamattu?

Ulama berbeda pendapat tentang haji yang dikerjakan Nabi Muhammad.

Dok Republika
Ilustrasi kaligrafi Nabi Muhammad
Rep: Fuji E Permana Red: Muhammad Hafil

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Ada haji Qiran, Ifrad dan Tamattu. Umumnya para ulama berbeda pendapat tentang manakah jenis haji yang dikerjakan oleh Nabi Muhammad SAW. 

Baca Juga


Ada yang bilang Rasulullah SAW mengerjakan haji Qiran, ada yang bilang haji Ifrad dan ada juga yang mengatakan melaksanakan haji Tamattu. Tetapi yang jelas, dalam seumur hidup, Nabi Muhammad SAW hanya sekali saja mengerjakan ibadah haji.

Oleh karena itulah maka kita menemukan tiga pendapat yang berbeda tentang manakah yang lebih utama dari ketiga jenis haji itu, hal tersebut sebagaimana dijelaskan KH Ahmad Sarwat Lc pada laman Rumah Fiqih.

1. Lebih Utama Haji Ifrad

Mazhab Al-Malikiyah dan Asy-Syafi’iyah berpendapat bahwa yang lebih utama adalah haji dengan cara Ifrad. Pendapat mereka ini juga didukung oleh pendapat Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas’ud, Ibnu Umar, Jabir bin Abdillah Ridwanullahialahim ajma’in. Selain itu juga didukung oleh pendapat dari Al-Auza’i dan Abu Tsaur.

Dasarnya menurut mereka antara lain karena Haji Ifrad ini lebih berat untuk dikerjakan, maka jadinya lebih utama. Selain itu dalam pandangan mereka, haji yang Rasulullah SAW kerjakan adalah haji Ifrad.

2. Lebih Utama Haji Qiran

Mazhab Al-Hanafiyah berpendapat bahwa yang lebih utama untuk dikerjakan adalah haji Qiran. Pendapat ini juga didukung oleh pendapat ulama lainnya seperti Sufyan Ats-Tsauri, Al-Muzani dari kalangan ulama Mazhab Asy-Syafi’iyah, Ibnul Mundzir, dan juga Abu Ishaq Al-Marwadzi.

Dalil yang mendasari pendapat mereka adalah hadits berikut ini

أَتَانِي اللَّيْلَةَ آتٍ مِنْ رَبِّي فَقَال : صَل فِي هَذَا الْوَادِي الْمُبَارَكِ وَقُل : عُمْرَةٌ فِي حَجَّةٍ

Telah diutus kepadaku utusan dari Tuhanku pada suatu malam dan utusan itu berkata, "Sholatlah di lembah yang diberkahi ini dan katakan,” Umroh di dalam haji." (HR Imam Bukhari)

Hadits ini menegaskan bahwa awalnya Rasulullah SAW berhaji dengan cara Ifrad. Namun setelah turun perintah ini, maka beliau diminta berbalik langkah, untuk menjadi haji Qiran.

 

Adanya perintah untuk mengubah dari Ifrad menjadi Qiran tentu karena Qiran lebih utama, setidaknya itulah dasar argumen para pendukung pendapat ini.

3. Lebih Utama Haji Tamattu

Mazhab Al-Hanabilah berpendapat bahwa yang paling baik dan paling utama untuk dikerjakan justru haji Tamattu. Setelah itu baru haji Ifrad dan terakhir adalah haji Qiran.

Di antara para shahabat yang diriwayatkan berpendapat bahwa haji Tamattu lebih utama antara lain adalah Ibnu Umar, Ibnu Al-Abbas, Ibnu Az-Zubair, Aisyah Ridwanullahi Alaihim. Sedangkan dari kalangan para ulama berikutnya antara lain Al-Hasan, ’Atha, Thawus, Mujahid, Jabir bin Zaid, Al-Qasim, Salim, dan Ikrimah.

Pendapat ini sesungguhnya adalah satu versi dari dua versi pendapat Mazhab Asy-Syafi’iyah. Artinya, pendapat Mazhab Asy-Syafi’iyah dalam hal ini terpecah, sebagian mendukung Qiran dan sebagian mendukung Tamattu.

Di antara dasar argumen untuk memilih haji Tamattu lebih utama antara lain karena cara ini yang paling ringan dan memudahkan buat jamaah haji.

Maka timbul lagi pertanyaan menarik, kenapa untuk menetapkan mana yang lebih afdhal saja, para ulama masih berbeda pendapat? Apakah tidak ada dalil yang qath’i atau tegas tentang hal ini?

KH Ahmad Sarwat menjelaskan, jawabannya memang perbedaan pendapat itu dipicu oleh karena tidak ada nash yang secara langsung menyebutkan tentang mana yang lebih utama, baik dalil Alquran maupun dalil Sunnah. Sehingga tetap saja menyisakan ruang untuk berbeda pendapat.

Hal itu diperparah lagi dengan kenyataan bahwa tidak ada hadits yang secara tegas menyebutkan bahwa Rasulullah SAW berhaji dengan Ifrad, Qiran atau Tamattu. Kalau pun ada yang bilang bahwa Nabi Muhammad SAW berhaji Ifrad, Qiran atau Tamattu, sebenarnya bukan berdasarkan teks hadits itu sendiri, melainkan merupakan kesimpulan yang datang dari versi penafsiran masing-masing ulama saja. Tentu saja semua kesimpulan itu masih bisa diperdebatkan.

Walhasil, buat kita yang awam, sebenarnya tidak perlu ikut-ikutan perdebatan yang nyaris tidak ada manfaatnya ini, apalagi kalau diiringi dengan sikap yang kurang baik, seperti merendahkan, mencemooh, menghina bahkan saling meledek dengan dasar yang masih merupakan perbedaan pendapat di kalangan ulama.

Sikap yang paling elegan adalah menerima kenyataan bahwa semuanya bisa saja menjadi lebih afdhal bagi masing-masing orang dengan masing-masing keadaan dan kondisi. Sebab boleh jadi tiap orang pasti punya perbedaan.

Sikap saling menghormati dan saling menghargai justru menjadi ciri khas para ulama, meski mereka saling berbeda pandangan. Kalau sesama para ulama masih bisa saling menghargai, kenapa kita yang bukan ulama malah merasa paling pintar dan dengan tega menjelek-jelekkan sesama saudara dalam Islam, untuk sebuah masalah yang memang halal kita berbeda pendapat di dalamnya. Sesungguhnya kebenaran itu milik Allah semata.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler