Apa dan Siapa Zionis?
Banyak orang Yahudi yang menentang keberadaan zionisme-politik dan Israel.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Israel merupakan Zionis dalam wujud negara. Secara kebahasaan, zionis berarti mereka yang mendambakan “kembali ke Bukit Zion”, yakni sebuah kawasan geografis di Baitul Makdis (disebut pula Yerusalem), Palestina.
Kongres pertama Gerakan Zionis Internasional diselenggarakan di Basel, Swiss, pada 1897. Tokoh utamanya ialah seorang aktivis Yahudi dari Austro-Hongaria, Theodor Herzl. Dia dan para pendukungnya mendambakan negara bagi seluruh orang Yahudi, yang saat itu hidup terpencar-pencar di berbagai belahan dunia.
Bagaimanapun, sebelum tahun 1897 zionisme sesungguhnya sudah ada, tetapi wujudnya masih sebuah “kepercayaan tradisional.” Dalam arti, orang-orang Yahudi mempercayai bahwa Tuhan telah berjanji kepada Nabi Musa untuk menganugerahkan Yerusalem kepada bangsa Yahudi. Karena itu, mereka meyakini, kota suci tersebut suatu saat akan menjadi miliknya untuk selama-lamanya.
Sejak kongres di Basel pada 1897 itu, mengemukalah apa yang disebut Zionisme politik. Ini tidak sama seperti yang diusung Yahudi tradisional atau “Yahudi asli.” Zionisme tradisional meyakini, kembalinya mereka ke Bukit Zion hanya terjadi ketika sang Raja Yahudi alias juru selamat (messiah) telah datang di antara mereka. Messiah ini akan memimpin mereka untuk mengambil alih Yerusalem.
Sementara, zionisme politik yang diusung Herzl dan para pendukungnya memandang, pengambilalihan Bukit Zion (baca: Palestina) tidak perlu menunggu kedatangan sang juru selamat. Bagi mereka, kaum Yahudi harus aktif sendiri dan merebut “tanah yang dijanjikan” itu dengan cara apa pun. Perpecahan antara zionisme tradisional dan zionisme politik sebenarnya sudah tampak bahkan sebelum kongres di Swiss tersebut.
Faktanya, hampir seluruh pendiri Gerakan Zionis Internasional adalah keturunan Yahudi imigran dari Eropa, bukan Timur Tengah. Nyaris mereka semua pun adalah Yahudi Ashkenazi.
Baca di halaman selanjutnya...
Ada berbagai hipotesis tentang asal mula Ashkenazi. Ernest Renan (1823-1892), filsuf Prancis yang juga pakar sejarah Semit mengemukakan Teori Khazaria. Mengutip karyanya, Judaism as a Race and as a Religion (1883), ia berpendapat, Yahudi Ashkenazi adalah keturunan bangsa Khazar yang pernah berjaya di Asia Tengah.
Mereka tidak berasal dari Kanaan (Palestina). Justru, asalnya adalah bangsa Turki—merujuk pada Asia Tengah, bukan negara Turki modern—yang kemudian memeluk agama Yahudi. Sesudah bangsa Mongol menyerbu Imperium Khazaria di utara Laut Kaspia, lanjut Renan, mereka pun bermigrasi ke Eropa. Bahasa yang dipakainya bukanlah Ibrani, seperti kebanyakan kaum Yahudi penghuni Kanaan, melainkan Yiddish.
Baru-baru ini, muncul riset tes genetik terkait Yahudi Ashkenazi. Itu dilakukan seorang ahli genetika dari Universitas John Hopkins School of Public Health, Eran Elhaik. Pada 2013, ilmuwan Israel ini mempublikasikan hasil penelitiannya dalam artikel “The Missing Link of Jewish European Ancestry: Contrasting the Rhineland and the Khazarian Hypothese.”
Eran Elhaik menemukan, genom orang Yahudi Ashkenazi didominasi komponen Khazaria hingga 30-38 persen. Sementara, komponen Timur Tengah-nya sangat kecil. Artinya, mereka sangat sulit untuk dianggap berasal dari Tanah Kanaan atau Palestina. Elhaik juga mengungkapkan, adanya kesamaan genetika antara Yahudi Ashkenazi dan populasi Kaukasus bila ditinjau dari garis ayah, berdasarkan riset atas Y-Chromosom DNA, maupun garis ibu, bila dilihat dari Mitochondrial DNA.
Maka, bagaimana mungkin Yahudi Ashkenazi mengeklaim Yerusalem sebagai tanah airnya, padahal nenek moyang mereka berasal dari Asia Tengah atau Kaukasus?