Putin Janji Bela Korut Lawan AS, Perang Dingin Mulai Lagi?

Moskow dan Pyongyang dikhawatirkan memulihkan aliansi Perang Dingin.

Vladimir Smirnov, Sputnik via AP
Presiden Rusia Vladimir Putin dan pemimpin Korea Utara Kim Jong Un berjabat tangan saat pertemuan mereka di kosmodrom Vostochny pada 13 September 2023.
Red: Fitriyan Zamzami

REPUBLIKA.CO.ID, PYONGYANG – Presiden Rusia Vladimir Putin berjanji untuk memperdalam hubungan perdagangan dan keamanan dengan Korea Utara dan mendukung negara itu melawan Amerika Serikat, menjelang kunjungan ke Pyongyang untuk pertama kalinya dalam 24 tahun, Selasa (18/6/2024). AS dan sekutu-sekutunya di Asia sedang meraba-raba seberapa jauh Rusia akan mendukung pemimpin Korea Utara Kim Jong Un, yang negaranya merupakan satu-satunya negara yang melakukan uji coba senjata nuklir pada abad ke-21.

Baca Juga


Putin memuji Pyongyang karena menolak apa yang disebutnya sebagai tekanan, pemerasan, dan ancaman ekonomi AS. Dalam sebuah artikel yang diterbitkan oleh media pemerintah Korea Utara, Putin memuji "Kamerad" Kim, dan berjanji untuk "bersama-sama menolak pembatasan sepihak yang tidak sah", untuk mengembangkan perdagangan dan memperkuat keamanan di seluruh Eurasia.

Dukungan Rusia untuk Korea Utara ini penting karena Rusia adalah salah satu negara yang memiliki hak veto di Dewan Keamanan PBB. Artinya, Rusia bisa memveto resolusi apapun di DK PBB yang coba menekan Korea Utara.

“Washington, yang menolak melaksanakan perjanjian yang telah dicapai sebelumnya, terus mengajukan tuntutan baru yang semakin ketat dan jelas tidak dapat diterima,” kata Putin dalam artikel tersebut, yang dicetak di halaman depan Rodong Sinmun Korea Utara, corong Partai Pekerja yang berkuasa. “Rusia selalu mendukung dan akan terus mendukung DPRK dan rakyat Korea yang heroik dalam menentang musuh yang berbahaya dan agresif.”

Putin mencatat bahwa Uni Soviet adalah negara pertama yang mengakui Republik Demokratik Rakyat Korea (DPRK) yang didirikan oleh kakek Kim, Kim Il Sung, kurang dari dua tahun sebelum Perang Korea pada 1950. Media pemerintah Korea Utara juga menerbitkan artikel yang memuji Rusia dan mendukung operasi militernya di Ukraina, menyebutnya sebagai "perang suci bagi seluruh warga negara Rusia". Kunjungan kenegaraan Putin terjadi di tengah tuduhan AS bahwa Korea Utara telah memasok “lusinan rudal balistik dan lebih dari 11.000 kontainer amunisi ke Rusia” untuk digunakan di Ukraina. Korea Selatan, sekutu setia AS, juga menyampaikan kekhawatiran serupa.

Gedung Putih mengatakan pada Senin bahwa pihaknya merasa terganggu dengan semakin dalamnya hubungan antara Rusia dan Korea Utara. Departemen Luar Negeri Amerika mengatakan “cukup yakin” Putin akan mencari senjata untuk mendukung perangnya di Ukraina. 

Moskow dan Pyongyang membantah adanya transfer senjata namun berjanji untuk meningkatkan hubungan militer, mungkin termasuk latihan bersama. Rusia diperkirakan akan memproduksi amunisi lebih banyak dibandingkan aliansi militer NATO pada tahun ini, sehingga kunjungan Putin kemungkinan bertujuan untuk menggarisbawahi kepada Washington betapa mengganggunya Moskow dalam sejumlah krisis global.

Rusia pada bulan Maret memveto pembaruan tahunan panel ahli yang memantau penegakan sanksi PBB terhadap Korea Utara atas program senjata nuklir dan rudal balistiknya. 

Penasihat kebijakan luar negeri Putin, Yuri Ushakov, mengatakan Rusia dan Korea Utara mungkin menandatangani perjanjian kemitraan selama kunjungan tersebut yang akan mencakup masalah keamanan. Dia mengatakan kesepakatan itu tidak ditujukan terhadap negara lain, namun akan "menguraikan prospek kerja sama lebih lanjut". Kunjungan tersebut akan mencakup diskusi tatap muka antara kedua pemimpin, serta konser gala, resepsi kenegaraan, pengawal kehormatan, penandatanganan dokumen, dan pernyataan kepada media, kantor berita Rusia Interfax mengutip pernyataan Ushakov.

Menteri Pertahanan Rusia Andrei Belousov, Menteri Luar Negeri Sergei Lavrov; menteri sumber daya alam, kesehatan; dan transportasi, kepala badan antariksa Rusia dan perkeretaapiannya; serta Wakil Perdana Menteri Alexander Novak, akan menjadi bagian dari delegasi. Menjelang kunjungan tersebut, Korea Utara tampaknya telah membuat persiapan untuk kemungkinan parade militer di pusat kota Pyongyang, menurut citra satelit komersial. 

“KTT tersebut menghadirkan ancaman terbesar terhadap keamanan nasional AS sejak Perang Korea,” kata Victor Cha, mantan pejabat keamanan nasional AS yang kini bekerja di Pusat Studi Strategis dan Internasional. 

Sebuah foto yang dirilis oleh Kantor Berita Pusat Korea Utara (KCNA) menunjukkan pemimpin Korea Utara Kim Jong Un (tengah) mengawasi uji coba sistem peluncur roket ganda 240 mm di lokasi yang dirahasiakan di Korea Utara, 10 Mei 2024 - (EPA-EFE/KCNA )

“Hubungan ini, yang sudah lama ada dan diperkuat kembali oleh perang di Ukraina, melemahkan keamanan Eropa, Asia, dan Amerika Serikat,” tulisnya dalam sebuah laporan pada hari Senin. 

Dia mendesak Washington untuk bekerja sama dengan Eropa dan mitra lainnya untuk meningkatkan tekanan ekonomi dan diplomatik terhadap Pyongyang, menjalin hubungan dengan Cina, dan meluncurkan kampanye hak asasi manusia dan informasi besar-besaran untuk membanjiri Korea Utara dengan media luar.

Korea Utara telah dikenai sanksi PBB karena program rudal balistik dan nuklirnya sejak tahun 2006, dan tindakan tersebut telah diperkuat selama bertahun-tahun. Dewan Keamanan terpecah mengenai cara menangani Pyongyang. Rusia dan Cina mengatakan sanksi yang lebih besar tidak akan membantu dan latihan militer gabungan yang dilakukan Amerika Serikat dan Korea Selatan hanya akan memprovokasi Pyongyang. 

Dua tahun lalu, mereka memveto upaya pimpinan AS untuk menerapkan lebih banyak sanksi PBB terhadap Korea Utara atas peluncuran rudal balistiknya yang baru. Washington dan sekutu-sekutunya di Asia menuduh Beijing dan Moskow menguatkan Korea Utara dengan melindunginya dari sanksi lebih lanjut. Setelah Korea Utara, Putin akan mengunjungi Vietnam pada 19-20 Juni.

Dua Korea dan Perang Dingin... baca halaman selanjutnya

Perpecahan Korea menjadi dua negara, dimulai pada 15 Agustus 1945 tepat setelah Jepang yang menjajah negeri itu menyerah dan kalah dalam Perang Dunia II. Pada hari-hari terakhir perang, Amerika Serikat mengusulkan pembagian semenanjung Korea menjadi dua zona pendudukan dengan Soviet menduduki bagian utara dan AS sisanya. dengan garis paralel ke-38 sebagai garis pemisah. Soviet menerima usulan mereka dan setuju untuk membagi Korea.

Pembagian ini mestinya hanya bersifat sementara sampai perwalian dapat dilaksanakan. Pada Desember 1945, Konferensi Menteri Luar Negeri Moskow menghasilkan kesepakatan tentang perwalian Korea yang berdurasi lima tahun dan beranggotakan empat negara. 

Namun, dengan dimulainya Perang Dingin antara AS dan Soviet, perwalian itu menjadi persoalan pelik yang tak kunjung selesai. Pada akhirnya, politik dalam negeri Korea serta sejumlah keputusan PBB membuat negara itu dipimpin dua pemimpin. Di Selatan, Syngman Rhee memenangkan pemilu, sementara Kim Il Sung mengkonsolidasikan posisinya sebagai pemimpin Korea utara yang diduduki Soviet. Amerika Serikat mendukung kepemimpinan di Selatan, sementara Uni Soviet mendukung Kim Il Sung yang berideologi komunis. Perpecahan ini memicu perang yang berlangsung dari 1950 hingga 1953 dengan korban sipil mencapai 2 juta sampai 3 juta orang.

Putin terakhir kali mengunjungi Korea Utara pada 19-20 Juli 2000, dua bulan setelah pelantikannya sebagai presiden Rusia pada 7 Mei 2000. Ia merupakan satu-satunya pemimpin Uni Soviet atau Rusia yang menginjakkan kaki di Korea Utara sejak berdirinya. Uni Soviet pada 1922. Bagi Korea Utara, kunjungan pertama Putin ke negara tersebut dalam hampir seperempat abad akan dianggap bersejarah.


Apapun hasilnya, hal ini pasti akan mempunyai dampak besar terhadap masa depan hubungan Korea Utara-Rusia, serta situasi di Asia Timur Laut dan politik internasional global.

Merujuk harian ternama Korea Selatan, Hankyoreh, fokus terbesar kali ini adalah bagaimana Kim dan Putin akan mendefinisikan kembali hubungan bilateral mereka. Banyak pengamat yang ingin melihat apakah mereka akan mengubah Perjanjian Persahabatan, Ketetanggaan Baik, dan Kerja Sama yang ditandatangani pada 19 Februari 2000.

Siaran pers yang diterbitkan di surat kabar Rodong Sinmun segera setelah kunjungan resmi Menteri Luar Negeri Choe Son-hui ke Rusia pada bulan Januari menyatakan bahwa “kesepakatan yang memuaskan” telah dicapai dalam diskusi untuk menempatkan hubungan kedua belah pihak pada “dasar hukum baru”. 

Hal ini membuka kemungkinan revisi perjanjian tersebut, yang merupakan dokumen hukum dasar yang mengatur hubungan bilateral Korea Utara dan Rusia.  Ada banyak spekulasi mengenai apakah hubungan tersebut akan ditingkatkan ke tingkat “kemitraan kerja sama strategis” seperti hubungan yang dimiliki oleh Korea Selatan dan Rusia, atau apakah akan mengembalikan aliansi Perang Dingin dengan mengembalikan klausul yang menetapkan intervensi militer segera jika terjadi serangan bersenjata oleh kekuatan luar.

Perjanjian Persahabatan, Kerja Sama, dan Saling Membantu yang diadopsi pada 6 Juli 1961, oleh Uni Soviet dan Korea Utara menetapkan bahwa “jika salah satu pihak mengalami serangan bersenjata oleh negara atau koalisi manapun dan dengan demikian berada dalam keadaan perang, pihak lain harus segera memberikan bantuan militer dan bantuan lainnya dengan segala cara yang dimilikinya.” Klausul itu adalah sebuah rujukan tidak langsung pada payung nuklir Soviet. Perjanjian tersebut berakhir pada 1996 setelah berakhirnya perang Korea Selatan dan Korea Utara. 

Teks lengkap dari perjanjian baru kali ini tidak tersedia untuk umum. Namun deklarasi bersama yang dikeluarkan selama kunjungan Putin ke Korea Utara pada Juli 2000, lima bulan setelah diadopsinya perjanjian baru tersebut, menyatakan bahwa dalam Pasal 2 perjanjian tersebut, kedua negara Kedua belah pihak berjanji untuk “menghubungi satu sama lain tanpa penundaan” jika terjadi agresi atau ketika ada kebutuhan untuk berkonsultasi dan bekerja sama satu sama lain. Apa yang tadinya merupakan janji untuk “segera memberikan bantuan militer dan bantuan lainnya” telah dilunakkan menjadi “kesediaan untuk berhubungan.”

Penasihat keamanan nasional Korea Selatan Chang Ho-jin mengumumkan dalam wawancara televisi pada Ahad bahwa Seoul telah menghubungi Moskow untuk mengirimkan pesan peringatan bahwa Rusia tidak boleh “melanggar batas apa pun.” Komentar tersebut bertepatan dengan pernyataan seorang pejabat tinggi pemerintah, yang mengatakan bahwa “tampaknya ada pembicaraan tentang perjanjian yang mirip dengan aliansi.” Hal ini menunjukkan bahwa kemungkinan besar perjanjian tersebut akan diubah untuk memuat ketentuan yang menetapkan keterlibatan militer otomatis jika terjadi serangan dari luar. 

Pada saat yang sama, banyak mantan pejabat tinggi dan pakar pemerintah Korea Selatan percaya bahwa kecil kemungkinan revisi perjanjian bilateral yang menyertakan bahasa tersebut akan terjadi, karena hal tersebut tidak sejalan dengan landasan kebijakan luar negeri Rusia atau kepentingan nasionalnya.

“Pemberlakuan kembali ketentuan keterlibatan militer otomatis berarti bahwa militer Korea Utara akan berada di bawah Rusia. Hal ini bukanlah pilihan bagi Kim Jong-un, yang telah menyatakan kepada rakyatnya bahwa memperkuat persenjataan nuklir negaranya adalah cara terbaik untuk mencegah perang,” kata Chang Yong-seok, peneliti tamu di Institute for Peace and Unification Studies di Universitas Nasional Seoul yang juga menjabat sebagai asisten direktur analisis intelijen terkait Korea Utara di Badan Intelijen Nasional.

sumber : Reuters
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler