Lupa Ucapkan 'Insya Allah', Rasulullah pun Ditegur

Asbabun nuzul ayat ini berkenaan dengan peristiwa yang terjadi pada diri Nabi SAW.

Antara/Aji Styawan
ILUSTRASI Lupa ucapkan Insya Allah, Rasulullah pun ditegur.
Red: Hasanul Rizqa

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kaum Muslimin begitu akrab dengan perkataan "insya Allah." Itu sesungguhnya memiliki makna yang dalam. Bahkan, Allah Ta'ala menyuruh hamba-hamba-Nya untuk mengucapkan ungkapan itu saat akan melakukan suatu pekerjaan atau kebaikan.

"Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan tentang sesuatu: 'Sesungguhnya aku akan mengerjakan ini besok pagi', kecuali (dengan menyebut): 'Insya Allah.'"

Demikian terjemahan dari Alquran surah al-Kafhi ayat ke-23 dan 24. Sebab turunnya (asbabun nuzul) wahyu Allah tersebut berkenaan dengan kisah berikut ini.

Pada suatu ketika, kaum musyrikin Quraisy mengutus an-Nadlr bin al-Harts dan Uqbah bin Abi Mu'ith. Dari Makkah, keduanya ditugaskan untuk meminta saran pada seorang pendeta Yahudi di Madinah.

Orang-orang Quraisy mengakui, kaum Yahudi lebih cerdas daripada mereka--kaum musyrikin--mengenai pengetahuan tentang Kitab. Para pemuka kafir Makkah itu ingin memperoleh beberapa bahan dari pendeta Yahudi setempat. Harapannya, hal itu bisa mereka pakai untuk mendebat Nabi Muhammad SAW.

Di Madinah, seorang pendeta Yahudi terkemuka menerima kedatangan an-Nadlr dan Uqbah. Kepada keduanya, rabi ini menyarankan, "Kalian hendaknya bertanya kepada Muhammad tentang tiga perkara. Jika Muhammad bisa menjawab ketiga pertanyaan ini, maka sungguh ia adalah utusan Allah. Namun, jika tak dapat menjawabnya, ia hanyalah orang biasa yang mengaku-aku sebagai nabi."

"Apa itu?"

"Pertama, tanyakan kepadanya tentang sejumlah pemuda pada zaman dahulu yang bepergian dan apa yang terjadi kepada mereka. Kedua, tanyakan kepadanya ihwal seorang pengembara yang sampai ke masyriq (timur) dan maghrib (barat) dan apa yang terjadi atas dirinya. Ketiga, tanyakan kepadanya tentang roh."

Para utusan itu pun pulang dengan perasaan lega. Sesampainya di Makkah, mereka melapor kepada petinggi Quraisy. Tak butuh waktu lama, mereka lantas menemui Nabi Muhammad SAW di dekat Ka'bah.

Kepada beliau, mereka menanyakan ketiga persoalan, sebagaimana yang dipesankan si pendeta Yahudi.

Baca Juga


Rasulullah SAW berkata, "Aku akan menjawab pertanyaan kalian besok."

Di luar dugaan Nabi SAW, pada keesokan harinya tidak ada wahyu turun dari Allah kepadanya. Bahkan, 15 malam telah lewat sejak hari ketika orang-orang Quraisy tersebut mendatanginya.

Rasulullah SAW terus menunggu datangnya wahyu yang dapat menerangkan tentang tiga pertanyaan itu. Sayangnya, Malaikat Jibril tak kunjung datang.

Di hari ke-16, kaum musyrikin Makkah semakin nyaring mencemooh beliau. Rasulullah SAW sangat berduka lantaran tidak tahu apa yang harus dikatakan kepada kaum Quraisy.

Sebab, beliau adalah utusan Allah, yang menyampaikan kepada manusia apa-apa yang memang sudah diwahyukan oleh Allah kepadanya.

Akhirnya, datanglah Malaikat Jibril membawa wahyu, yakni surah al-Kafhi ayat 23-24. Isinya menegur Rasulullah SAW karena, dengan ucapannya kepada orang-orang Quraisy itu, seolah-olah sudah memastikan sesuatu akan terjadi pada esok hari. Di sinilah beliau diajarkan oleh Allah tentang pentingnya tidak lupa mengucapkan "insya Allah."

Kemudian, Jibril juga menyampaikan wahyu yang dapat menjawab pertanyaan orang-orang Quraisy itu. Mengenai "pemuda-pemuda yang bepergian" itu berkaitan dengan Ashabul Kahfi (QS 18:9-26). Ihwal seorang pengembara, itu adalah Dzulqarnain (QS 18:83-101). Beliau juga menerima penjelasan tentang perkara roh (QS 17:85).

Menurut pakar tafsir Alquran Ibnu Jarir ath-Thabari dalam Jaami'ul Bayan, asbabun nuzul di atas mengandung hikmah. "Inilah pengajaran Allah kepada Rasulullah SAW agar jangan memastikan suatu perkara akan terjadi tanpa halangan apa pun, kecuali menghubungkannya dengan kehendak Allah SWT," tulisnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler