IDF Mau Mundur dari Gaza, Mengapa Netanyahu Ngotot Perang Total?

Tentara Israel mengalami kerugian hebat dalam serangan ke Rafah.

Republika/Putra M. Akbar
Pengendara motor melintas di dekat mural wajah Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan Presiden Amerika Serikat Joe Biden di Grogol, Jakarta, Senin (3/6/2024).
Red: Fitriyan Zamzami

REPUBLIKA.CO.ID, GAZA – Tentara Israel dilaporkan hendak menyudahi serangan daratnya di Gaza setelah operasi Rafah selesai. Namun, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menolak hal tersebut dan berniat melanjutkan serangan total ke Gaza yang sejauh ini sudah menewaskan lebih dari 35 ribu orang.

Baca Juga


Hal ini dilaporkan surat kabar Israel Haaretz pada Jumat. Menurut analis Israel Amos Harel, meskipun “jauh dari mengalahkan secara total kelompok Hamas”, IDF akan “merekomendasikan penghentian kampanye di Jalur Gaza, dalam format saat ini.”

Mereka ingin mengurangi pasukan di wilayah-wilayah utama dan fokus pada serangan terhadap Hamas lewat penggerebekan yang ditargetkan, bersamaan dengan upaya untuk memulai kembali negosiasi penyanderaan dan mencapai gencatan senjata.

Menurut laporan tersebut, pertempuran baru-baru ini di Rafah telah mengakibatkan banyak korban jiwa, termasuk sedikitnya 11 tentara Israel. “Situasi penawanan masih mengerikan,” menurut penilaian Harel.

“Mengenai para sandera, tentara tidak memiliki berita yang menggembirakan saat ini,” tulisnya. Ia mencatat bahwa operasi Nuseirat pada 8 Juni, yang membebaskan empat tawanan namun menyebabkan terbunuhnya lebih dari 270 warga Palestina merupakan pembuktian sulitnya pembebasan sandera. Ketegangan juga tinggi di Israel utara, di mana gerakan Hizbullah Lebanon melanjutkan serangan setelah berkurangnya bombardir selama liburan Idul Adha, kata laporan itu.

Terlepas dari saran Kepala Staf Angkatan Darat Israel Herzi Halevi untuk mengubah strategi, Netanyahu “terus menyatakan bahwa perang habis-habisan melawan Hamas akan terus berlanjut selama diperlukan.” “Tujuan utama Netanyahu tetap bertahan: untuk melewati sesi musim panas Knesset (parlemen Israel) dan menunggu dengan harapan Donald Trump akan terpilih sebagai presiden AS pada bulan November,” tulis laporan itu.

Ketegangan antara pemerintah Israel yang dipimpin Netanyahu dan pemerintahan Biden juga meningkat karena tertundanya pengiriman bom, yang menurut Harel, dapat berdampak pada kemampuan militer Israel dalam konflik yang lebih luas.

Halevi, belakangan dilaporkan kehilangan kesabarannya atas operasi di Gaza, kata laporan tersebut. Belakangan Halevi “memberikan ruang gerak bagi juru bicaranya dan dalam beberapa kasus malah terlibat dalam perselisihan yang keras dengan para politisi sendiri.”

Menurut Harel, “ada beberapa perwira yang ingin Halevi lebih berani”, terutama karena situasi politik tampaknya lebih kompleks dari sebelumnya. “Jelas bahwa rekan-rekan Netanyahu yang tersisa dalam koalisi – Haredim dan kelompok ultra-kanan – telah memasuki mode untuk merebut apapun yang mereka bisa,” kata laporan itu. Sementara menteri sayap kanan Itamar Ben-Gvir berusaha untuk mendapatkan tempat di kabinet perang, “Haredim terus mendesak diberlakukannya undang-undang yang penting bagi mereka dan dengan demikian menyulut api gerakan protes.” “Setelah kejadian minggu lalu, lebih sulit untuk mengetahui apakah koalisi akan melewati pertemuan musim panas Knesset tanpa mengalami kekalahan,” pungkas Harel.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler