Mengingat Kembali Jejak Intelektual yang Sering Terlupakan

Karena penguasaannya terhadap ilmu, Islam pernah menjadi gudangnya ilmuwan dan kiblatnya ilmu pengetahuan.

retizen /Atep Sukron
.
Rep: Atep Sukron Red: Retizen
Dok. Pribadi

Pesan pertama Tuhan yang diturunkan kepada utusan-Nya dalam Al-Qur'an, yang diawali dengan perintah untuk membaca, diakhiri dengan menyebutkan pena yang merupakan sarana ilmu. Al-Qur’an mengawali pesannya kepada manusia dengan membunyikan genderang ilmu pengetahuan di telinga dan pikiran mereka, yang antara lain tujuannya adalah agar manusia sadar bahwa persoalan keimanan dalam Islam hanya dapat ditegakkan pada awalnya atas dasar ilmu dan rasionalitas.


Berbicara mengenai ilmu dan rasionalitas, pastinya tidak akan lepas dengan yang namanya kajian filsafat. Filsafat lahir sebagai pertentangan terhadap kepercayaan-kepercayaan mitologi atau mitos-mitos. Jauh pada abad ke 6 SM diketahui manusia yang pertama kali melakukan pertentangan tersebut bernama Thales, seseorang yang meyakini bahwasannya tak mungkin rasanya hujan itu turun disebabkan oleh marahnya dewa-dewa, dan pasti ada sebuah alasan yang lebih bisa diterima akal mengapa fenomena hujan itu terjadi, dikenal dengan filsafat alam. Dari sanalah kegiatan berfilsafat menyebar luas, melahirkan tokoh-tokoh besar yang kita kenal sekarang, seperti Socrates, Plato dan Aristoteles. Kita pun masih bisa melihat bayang-bayang kejayaan dan kemegahan peradaban Yunani Kuno, walaupun hanya melalui sisa-sisa reruntuhan bangunannya saja.

Bisa dikatakan bahwasannya, kunci utama kejayaan dari suatu peradaban adalah penguasaan terhadap ilmu pengetahuan. Perlu diingat dan tentunya patut berbangga juga karena kita berada di negara yang mayoritas berpenduduk muslim, bahwasanya peradaban Islam itu pernah berada di posisi puncak masa kejayaannya, karena penguasaannya terhadap ilmu, dimana Islam pernah menjadi gudangnya ilmuwan dan kiblatnya ilmu pengetahuan, yang bukan hanya ilmu-ilmu agama, tapi juga ilmu-ilmu saintifik. Masa-masa itu dikenal dengan Islamic Golden Age atau era kegemilangan Islam.

Islam lahir, tumbuh dan berkembang ditengah-tengah gelapnya peradaban, kurang lebih pada awal abad ke 7 M. Kenapa disebutkan di tengah-tengah gelapnya peradaban? Jawabnya adalah, karena saat itu tengah berlangsung sebuah era khususnya di barat (eropa) yang dikenal dengan The Dark Age, ditandai dengan terjadinya kemerosotan intelektual dan budaya dikarenakan adanya kekuasaan agama yang bersifat absolut dari Gereja. Masa kegelapan ini diawali dengan banyak ditutupnya sekolah-sekolah filsafat, salah satunya Akademi Plato di Athena, menjadi lambang bagaimana Gereja saat itu sangat tertutup terhadap filsafat, bahkan menolak ajaran-ajaran filsafat Yunani kuno. Era ini berlangsung di sepanjang abad ke 4 hingga 14 M.

Namun yang jadi pertanyaan adalah apakah ajaran-ajaran filsafat itu hilang dari peradaban begitu saja? Jawabannya, tentu tidak! Di sanalah era Islamic Golden Age memainkan perannya di tengah-tengah suramnya peradaban, khususnya di bidang saintifik. Perlu dicatat juga, dewasa ini penggunaan era The Dark Age sudah jarang digunakan, alasannya dikarenakan istilahnya dinilai terlalu negatif untuk menggambarkan era saat itu yang tentunya tidak semuanya suram.

Sepeninggalan Nabi Muhammad Saw, kepemimpinan Islam digantikan oleh Khulafaur Rasyidin, Dinasti Umayyah dan puncaknya pada kepemimpinan Dinasti Abbasiyah selama kurang lebih 500 tahun, Islam sukses melebarkan sayapnya dari Timur Tengah dan Afrika Utara, hingga Spanyol pun menjadi bagian dari dunia kebudayaan Islam. Yang menarik untuk dicatat adalah setelahnya, yaitu pada saat Islam juga berhasil merebut dan mengambil alih kota Alexandria, kota kuno yang masih menyimpan ajaran-ajaran filsafat Yunani Kuno saat itu, berkat Islam yang sangat terbuka terhadap ilmu pengetahuan saat itu, pada akhirnya Islam mewarisinya. Jadi jika Yunani Kuno itu bapaknya filsafat, maka Islam itu bapak angkatnya.

"Jika Yunani Kuno itu bapaknya filsafat, maka Islam itu bapak angkatnya."

Makanya Islam dengan keterbukaannya pada saat itu, secara umum kebudayaannya lebih unggul daripada kebudayaan Gereja Kristen, khususnya dalam ilmu pengetahuan. Pada masa keemasannya, Bagdad adalah ibu kota Dinasti Abbasiyah dan pusat dunia Islam, buku-buku diterjemahkan mulai dari bahasa Yunani, Persia, India, Sansekerta, dan lain-lain, dikumpulkan pada sebuah perpustakaan yang diberi nama Baitul Hikmah, secara global dikenal juga sebagai “House of Wisdom”.

Selain dilengkapi dengan ruang tersendiri untuk para penyalin, penjilid dan pustakawan. Perpustakaan Baitul Hikmah juga merupakan pusat kajian dan karangan (riset) yang sukses mencetak banyak ilmuwan yang menjadi penggerak berbagai macam ilmu pengetahuan, hingga umat Islam mampu membangun peradaban besar yang bertahan beberapa abad lamanya.

Sebut saja nama-namanya: Al-Kindi dengan julukannya sebagai Bapak Filsafat Islam, Al-Farabi dengan julukannya sebagai Guru Kedua Filsafat setelah Aristoteles, Ibnu Sina dengan karya agung dalam ilmu kedokterannya Al-Qanun, Al-Khawarizmi dengan sumbangsihnya terhadap ilmu matematika sebagai penemu konsep aljabar dan algoritma. Belum lagi menyebut Al-Ghazali, Ibnu Rusyd, Ibnu Khaldun, Ibnu Haitham, dan masih banyak lagi nama-nama lainnya yang semuanya memiliki kontribusi signifikan pada khazanah keilmuan di bidangnya masing-masing.

Namun pada akhirnya kejayaan itu dalam sekejap memudar, perebutan kursi kekuasaan di pusat pemerintahan saat itu membuat Dinasti Abbasiyah rentan, yang akhirnya pada tahun 1258 M, tentara Mongol dengan skala besar tiba di salah satu pintu Baghdad. Khalifah Al-Musta'shim, penguasa terakhir, betul-betul tidak berdaya dan tidak mampu membendung serangan habis-habisan tentara Hulagu Khan. Jatuhnya kota Baghdad ke tangan bangsa Mongol tidak hanya menjadi pertanda berakhirnya kekuasaan Dinasti Abbasiyah disana, tetapi juga menjadi awal dari masa kemunduran peradaban Islam, karena Baghdad sebagai pusat kebudayaan dan peradaban Islam yang sangat kaya dengan khazanah ilmu pengetahuan itu ikut pula lenyap dibumihanguskan oleh pasukan Mongol.

Terasa sangat amat menyedihkan memang, ditambah dengan banyaknya informasi dan ilmu pengetahuan yang tidak terdokumentasikan dengan baik oleh umat Islam sehingga terlupakan begitu saja. Namun kita sebagai generasi Islam di era sekarang, mempelajari kisah-kisah pendahulu kita di masa lalu yang pernah mengalami episode kelam, bukan untuk diratapi, apa lagi hanya untuk disesali. Tidak mudah tentunya, tetapi gunakanlah semua rasa penyesalan, amarah dan kesedihan ini untuk dijadikan bahan bakar motivasi, inspirasi dan ikhtiar penuh aksi demi menghidupkan kembali sebuah era yang sudah terlalu lama dilupakan, mengingatkan kembali dunia, seperti apa sosok sebenarnya generasi Islam.

sumber : https://retizen.id/posts/316424/mengingat-kembali-jejak-intelektual-yang-sering-terlupakan
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke retizen@rol.republika.co.id.
Berita Terpopuler