Dibela Saudi, Bagaimana Rusia Terdampak Sanksi Barat
Uni Eropa, AS, dan sekutunya telah menjatuhkan 16.500 sanksi terhadap Rusia.
REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW – Negara-negara yang tergabung dalam Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) serta sekutu mereka telah menimpakan sanksi ke Rusia sejak negara itu menyerang Ukraina pada Februari 2022. Sanksi-sanksi tersebut adalah yang paling ekstensif yang pernah ditimpakan pada negara tertentu.
Hanya berselang dua hari sejak serangan itu, Uni Eropa mulai menerapkan sanksi. EUObserver melansir, Pada pagi hari 24 Februari, Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen langsung mengumumkan sanksi UE besar-besaran yang akan diterapkan oleh kelompok negara itu. Sanksi tersebut menargetkan transfer teknologi, bank-bank Rusia, dan aset-aset Rusia.
Josep Borrell, perwakilan tinggi Persatuan Urusan Luar Negeri dan Kebijakan Keamanan UE juga kala itu menyatakan bahwa Rusia akan menghadapi "isolasi yang belum pernah terjadi sebelumnya" karena UE akan memberlakukan "paket sanksi terberat yang pernah diterapkan [yang pernah] diterapkan oleh UE". Pada Mei 2022, Komisi Eropa mengusulkan dan menyetujui larangan sebagian impor minyak dari Rusia, sebagai bagian dari respons ekonomi terhadap invasi Rusia ke Ukraina.
Josep Borrell jug mengatakan dia ingin negara-negara UE menyita cadangan devisa bank sentral Rusia yang dibekukan, yang berjumlah lebih dari 350 miliar dolar AS, untuk menutupi biaya pembangunan kembali Ukraina setelah perang.
Merujuk BBC, sejak invasi Rusia ke Ukraina pada 2022, Amerika Serikat, Inggris, dan Uni Eropa (UE), serta negara-negara lain termasuk Australia, Kanada, dan Jepang, telah menjatuhkan lebih dari 16.500 sanksi terhadap Rusia.
Target utama mereka adalah uang Rusia. Cadangan mata uang asing senilai 350 miliar dolar AS, sekitar setengah total cadangannya devisa Rusia telah dibekukan sejauh ini.
Sekitar 70 persen aset bank-bank Rusia juga dibekukan, kata UE, dan beberapa diantaranya dikeluarkan dari Swift, layanan pesan berkecepatan tinggi untuk lembaga keuangan.
Negara-negara Barat juga telah melarang ekspor teknologi yang mungkin digunakan Rusia untuk membuat senjata. Selain itu, melarang impor emas dan berlian dari Rusia dan melarang penerbangan dari Rusia. Barat juga memberi sanksi kepada oligarki, pebisnis kaya yang memiliki hubungan dengan Kremlin, serta dan menyita kapal pesiar mereka.
Industri minyak Rusia juga menjadi target utama lainnya. AS dan Inggris melarang minyak dan gas alam Rusia. UE telah melarang impor minyak mentah melalui laut.
G7 – sebuah organisasi yang terdiri dari tujuh negara dengan perekonomian “maju” terbesar di dunia – telah memberlakukan harga maksimum sebesar 60 dolar AS per barel minyak mentah Rusia, dalam upaya mengurangi pendapatannya.
Ratusan perusahaan besar, termasuk McDonald's, Coca-Cola, Starbucks dan Heineken, telah berhenti menjual dan memproduksi barang di Rusia. Namun, beberapa masih berbisnis di Rusia. PepsiCo, misalnya, dituduh terus menjual produk makanan di Rusia. Dan BBC menemukan bahwa perusahaan kosmetik Amerika, Avon, membuat barang di sebuah pabrik dekat Moskow.
Presiden Vladimir Putin mengklaim sanksi Eropa tidak merugikan Rusia, dengan mengatakan, "Kami mengalami pertumbuhan, namun ada penurunan."
Rusia telah berhasil menjual minyak ke luar negeri dengan harga lebih dari batas harga G7, menurut Atlantic Council, sebuah lembaga pemikir AS. Dikatakan bahwa “armada bayangan” yang terdiri dari sekitar 1.000 kapal tanker digunakan untuk mengirimkannya.
Badan Energi Internasional mengatakan Rusia masih mengekspor 8,3 juta barel minyak per hari setelah meningkatkan pasokan ke India dan Cina.
Rusia juga dapat mengimpor banyak barang-barang Barat yang terkena sanksi dengan membelinya melalui negara-negara seperti Georgia, Belarus dan Kazakhstan, menurut para peneliti di King's College London.
Cina telah menjadi pemasok penting produk-produk berteknologi tinggi alternatif produk-produk yang diproduksi di Barat, kata Dr Maria Snegovaya dari lembaga pemikir AS, Pusat Studi Strategis dan Internasional. “Cina menjual chip dan komponen lain yang diperlukan untuk menjaga produksi militer Rusia tetap berjalan,” katanya. “Rusia tidak akan mampu melakukan hal itu tanpa bantuan Cina.”
Pada 2022, tahun pertama perang, ekonomi Rusia menyusut sebesar 2,1 persen, menurut Dana Moneter Internasional. Namun, diperkirakan ekonomi Rusia tumbuh sebesar 2,2 persen pada 2023 dan memperkirakan pertumbuhan sebesar 1,1 persen 2024.
Namun demikian, Departemen Keuangan AS mengklaim sanksi tersebut merugikan Rusia, karena telah memangkas 5 persen pertumbuhan ekonomi yang mungkin dicapai selama dua tahun terakhir. "Sanksi tidak membuat perang ini cukup merugikan Rusia, dan itu berarti Rusia dapat melanjutkan perang ini untuk beberapa waktu ke depan," kata Dr Snegovaya.