Komnas HAM Papua Tengarai TNI Salah Tembak, Sikap Antitentara Bisa Muncul Lagi
Tiga warga yang ditembak mati disebut sebagai tokoh lokal dan kepala kampung.
REPUBLIKA.CO.ID, JAYAPURA — Aksi penembakan yang diduga dilakukan terhadap tiga warga sipil di Distrik Mulia, Puncak Jaya, Papua Tengah oleh Satgas Yonif 753 dikhawatirkan memicu kembali mengerasnya sikap anti-Tentara Nasional Indonesia (TNI) di wilayah tersebut.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengatakan, tiga warga yang ditembak mati tersebut, merupakan para tokoh, dan kepala kampung. Bahkan salah-satunya merupakan ‘abdi’ di pemerintahan lokal.
“Mereka yang ditembak (oleh TNI) itu, berdasarkan informasi dan testimoni-testimoni dari masyarakat, dan tokoh-tokoh adat di sana, bahwa mereka bertiga itu ada yang sebagai bendahara kampung, kepala kampung, dan satu ketua Bamuskam (Badan Musyawarah Kampung),” kata Kepala Perwakilan Komnas HAM Papua Fritz Ramandey saat dihubungi Republika dari Jakarta, pada Jumat (19/7/2024).
Fritz pun mengatakan, ketiganya bukanlah buronan yang masuk dalam daftar pencarian orang (DPO). Tiga yang ditembak mati oleh TNI, Rabu (17/7/2024), adalah Tonda Wanimbo, Pemerintah Murib, dan Dominus Enumbe. Ketiganya mati dihantam peluru TNI karena diduga sebagai anggota dari Organisasi Papua Merdeka (OPM). Mereka juga disebut terkait dengan kelompok separatis bersenjata Terinus Enembuni yang dinyatakan sebagai buronan atau DPO.
Dalam penembakan tersebut, Terinus Enembuni, dikabarkan berhasil melarikan diri. Fritz mengatakan, sejumlah nama yang masuk dalam DPO di Bumi Cenderawasih selama ini, memang orang-orang yang dikait-kaitkan dengan aktivitas seperatisme, maupun kriminalitas OPM.
Tetapi ketiga korban yang ditembak mati oleh militer Indonesia tersebut, kata Fritz, tak ada kaitannya dengan separatis, ataupun DPO.
“Semestinya kita harus melihat ini, kalau memang mereka itu dikatakan DPO, bukan ranahnya TNI untuk mengambil tindakan penegakan hukum dengan melakukan penembakan. Ada pihak dari kepolisian, dan Satgas Damai Cartenz yang saat ini mengambil peran penindakan dalam rangka penegakan hukum terhadap terduga, atau DPO terkait OPM ini,” kata Fritz.
“Juga Komnas HAM selalu mengingatkan bahwa ada asas praduga tidak bersalah untuk mereka yang masuk sebagai DPO.”
Meskipun begitu, dari catatan Komnas HAM Papua, kata Fritz, wilayah Distrik Mulia di Puncak Jaya, sebetulnya sudah tak ada lagi aktivitas separatis, ataupun sejenisnya.Fritz
menyampaikan, dalam pengamatan Komnas HAM Papua, dalam hampir satu dekade terakhir ini, sudah tak lagi pernah ada masyarakat asli Papua (OAP) di Distrik Mulia yang mengambil inisiatif-inisiatif pribadi, untuk terlibat dalam aktivitas-aktivitas berbau Papua Merdeka.
“Markas TPNPB-OPM memang pernah ada di Puncak Jaya, tetapi itu sudah berhasil dikendalikan. Dan dalam sepuluh tahun terakhir pengamatan kami, hasilnya sangat baik, tidak ada lagi aktivitas-aktivitas OPM di wilayah itu,” uajr Fritz.
Karena itu, penembakan oleh TNI terhadap tiga tokoh kampung yang dicap sebagai anggota kelompok separatis lokal tersebut, kata Fritz sulit untuk diterima.
Sebaliknya, kata Fritz, aksi sepihak militer Indonesia yang menewaskan tiga warga biasa itu, dikhawatirkan mengembalikan penilaian negatif masyarakat lokal, terhadap keberadaan TNI di wilayah tersebut.
“Ini sebagai peristiwa yang sangat kami (Komnas HAM) sayangkan. Kejadian tersebut sangat kami sesalkan, karena penembakan tersebut sangat dikhawatirkan menjadi triger kembalinya sikap anti masyarakat (terhadap Indonesia), yang akan memunculkan kembali konflik yang panjang,” ujar Fritz.
Penembakan tersebut, pun kata Fritz, sudah berbuntut panjang dengan memunculkan konflik horizontal antara warga asli Papua (OAP), dengan warga pendatang non-Papua.
Karena dikatakan Fritz, masyarakat dari suku-suku pegunungan di Papua, seperti di Puncak Jaya, umumnya melampiaskan aksi pembalasan atas kematian masyarakatnya oleh TNI, ataupun Polri, kepada warga-warga pendatang. “Dan itu sudah kita lihat yang terjadi kemarin pascapenembakan, warga masyarakat Papua (OAP) membalas penembakan itu dengan kerusuhan yang menjadikan warga pendatang (non Papua) sebagai korban,” begitu ujar Fritz.
Komnas HAM Papua, kata Fritz, juga menerima informasi kerusuhan pascapenembakan tersebut, mencatatkan minimal empat korban jiwa dari kalangan pendatang. “TNI-Polri, juga pemerintah harus tahu dan memahami, masyarakat gunung itu, kalau mengetahui bahwa orangnya itu salah, pasti tidak ada dibela. Tetapi, kalau memang orangnya itu tidak bersalah, masyarakatnya pasti membela. Kami sangat mengkhawatirkan situasi ini menjadi trigger,” begitu kata Fritz.
Terkait situasi terkini di Distrik Mulia, Puncak Jaya, kata Fritz, Komnas HAM Papua, akan terus melakukan pengawasan, dan pemantauan. “Kami belum mengirimkan tim untuk ke sana. Tetapi, kami melakukan pemantauan, pengawasan proaktif, dengan menerima dan mengklarifikasi semua informasi dari semua pihak,” kata Fritz.
Kepala Penerangan Kodam (Kapendam) XVII Cenderawasih Letnan Kolonel (Letkol) Chandra Kurniawan, kepada Republika, tak menjawab perihal bantahan sejumlah pihak atas klaim TNI yang menyatakan, tiga tewas ditembak tersebut adalah anggota separtis bersenjata Papua Merdeka.
Namun Letkol Chandra memastikan, situasi dan keamanan di Disrtik Mulia, juga di kawasan Puncak Jaya lainnya dalam kondisi stabil. “Situasi di Puncak Jaya, sudah mulai aman dan kondusif. Masyarakat biasa sudah kembali beraktifitas seperti biasanya,” kata Chandra.
Aktivitas ekonomi di sejumlah sentra dagang masyarakat lokal, pun sudah seperti biasanya. “Ruko-ruko sudah kembali buka,” begitu kata Chandra.
Pada Rabu (17/7/2024), Kodam XVII Cenderawasih melaporkan terjadinya kontak tembak antara kelompok separatis bersenjata dengan personel Satgas Yonif Raider Khusus (RK) 753/Arga Vira Tama di Puncak Jaya. Kontak tembak tersebut, terjadi setelah TNI menerima informasi pentolan separatis Teranus Enumbi bersama kelompoknya memasuki Kampung Karubate, di Distrik Mulia. Dari kontak tembak tersebut, TNI mengeklaim menembak mati tiga anggota separatis. “Tiga terduga OPM yang tewas tersebut adalah SS (33 tahun), YW (41), dan DW (36),” begitu kata Letkol Chandra.
Dari kontak tembak tersebut, kata Letkol Chandra, TNI menemukan bukti ketiga yang tewas itu adalah anggota separatis karena ditemukan adanya senjata api. Sementara pemimpin ketiganya, Teranus Enumbi lolos dan kabur ke dalam hutan. Letkol Chandra menyebut, Teranus Enumbi tercatat memiliki rekam jejak separatisme dan kriminalitas OPM dan masuk dalam DPO. Seperti penembakan, dan pembacokan teradap warga biasa dari kalangan pendatang, dan juga menyasar prajurit-prajurit TNI. Pada 19 Maret 2024 lalu, kata Letkol Chandra, Teranus Enumbi membacok Sertu Ismunandar, dan Serka Salim.
Terkait dengan penembakan tiga terduga separatis itu, evakuasi yang dilakukan TNI membawa ketiga jenazah ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Mulia di Puncak Jaya. Akan tetapi, setelah penembakan oleh TNI terhadap tiga terduga OPM tersebut, terjadi insiden kerusuhan. Sejumlah warga asli Papua menyerang posko, dan kendaraan-kendaraan militer serta kepolisian. Sejumlah kendaraan, dan posko aparat keamanan setempat dibakar. Penyerangan oleh orang-orang asli Papua (OAP) itu juga menyasar ke ruko-ruko milik warga pendatang.