Benci, Marah, Menuntut, atau Memaafkan!

Memaafkan adalah perbuatan yang mampu membeli istana di akhirat.

dok pribadi
Abdurachman Latief
Red: Karta Raharja Ucu

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Prof Abdurachman Latief


Sepasang keluarga muda yang bersaudara. Kakaknya lebih berada dari adiknya. Keadaan ekonomi keluarga sang adik terlihat pantas dibantu agar lebih mudah maju.

Paham akan kesulitan keluarga adik istrinya, ia mencoba mengulurkan tangan. Beberapa dana dikucurkan untuk menunjang usaha toko kecil-kecilan. Ada beberapa jenis barang dagangan. Namun ia meminta supaya menghindar dari menjual barang yang diyakini banyak orang bisa mengganggu kesehatan.

Lalu mulailah adiknya itu belanja rak, etalase dll. Ketika sudah siap toko segera dibuka. Pembeli mulai banyak yang datang. Lama-lama toko bertambah maju. Mungkin atas permintaan para pembeli, permintaan tetangga atau keinginan pribadi, toko mulai menjual barang yang sebaiknya dihindarkan.

Sampai suatu ketika sang kakak berkunjung dan melihat barang yang diyakini mengganggu kesehatan ada di toko itu, dia diam. Walau dalam hati merasa ditelikung. “Sudahlah, mungkin banyak permintaan”, begitu gumamnya dalam hati.

Satu, dua tahun berselang. Tiba masanya si kakak minta tolong untuk melakukan pengawasan pembangunan rumah. ATM si kakak diserahkan. Berisi sejumlah uang untuk memenuhi kebutuhan pembangunan. Membeli barang, juga membayar tukang. Persediaan dana di ATM melebihi kebutuhan untuk pembiayaan setidaknya dalam satu pekan. 

Sesampainya pada tenggat masa rumah yang dipercayakan hampir selesai. Ternyata pemasangan pipa ledeng  macet. Demikian juga instalasi listrik. Tagihan batu bata dan pasir belum dibayar. 

“Lho dana di ATM dibuat untuk membayar apa? Uangnya habis sedang beberapa kewajiban masih terhutang? Padahal jumlah uang yang disiapkan melebihi kadar kebutuhan?” gumam si kakak sedikit ragu.

Si kakak mendatangi rumah pemborong pipa ledeng dan instalsi listrik. Ternyata, mereka mengku bahwa telah sekian waktu belum dibayar. Padahal mestinya dibayar setiap pekan. Anehnya, bukti lunas pembayaran sudah ada. Demikian juga pasir dan batu bata. Nota lunasnya ada, tapi CV pengirim pasir dan batu bata belum menerima pembayaran.

Si kakak menyampaikan teguran. Apa yang terjadi? Si adik melaporkan keadaan itu kepada keluarga besar yang berkebalikan dari kenyataan.

Dia sudah bekerja tapi tidak pernah dibayar. Uang di ATM digunakan untuk membayar dirinya. Padahal uang untuk membayar dirinya tinggal mengambil dari ATM, setiap pekan.

Akibatnya, seluruh keluarga menjadikan si kakak sebagai pesakitan. Mereka menuduhnya tidak profesional. Sungguh mengenaskan.  

Modal untuk toko belum dikembalikan. Barang dagangan yang diyakini mengganggu kesehatan terus dijual. Uang di ATM dihabiskan. Para tukang dan supplier bangunan belum dibayar. Disalahkan keluarga besar karena tidak berperasaan. Mempekerjakan adik tampa bayaran. 

Jika sidang pembaca menghadapi situasi demikian, apa yang sebaiknya dilakukan?

Benci, marah, menuntut, menjabarkan keadaan kepada keluarga? Semua bisa menjadi respons pilihan. Namun, diam dan memaafkan. Itulah pilihan demi menentramkan keadaan.

Walau hati dan pikiran seringkali bertabrakan. Tidur kadang berulang-ulang terbangun. Karena rasa kesal yang sulit disingkirkan. Yang salah malah dibela, yang benar malah merugi. Yang benar harus berjuang melawan perasaan geram. 

Di saat hati gelisah tak karuan. Si kakak teringat kisah tauladan Nabi Muhammad SAW. 

Pernah Rasulullah tertimpa musibah. Sayyidatina Aisyah ra. (putri Abu Bakar ra., istri Rasulullah) kalungnya hilang. Terjatuh pada saat perjalanan pulang ke Madinah. Lalu beliau dibantu pulang oleh seseorang yang kemudian dijadikan bahan fitnahan. Rasulullah pun sampai mengalami situasi yang di luar kebiasaan. 

Timbul suara hiruk pikuk di luar. Pasti setan menabuh genderang informasi yang tidak menyenangkan. Fitnah bertebaran seperti hewan liar lari dari kurungan. 

Yang menarik fitnah tersebut disulut orang yang disantuni Abu Bakar....

 

Yang menarik bahwa orang yang turut menyulut timbulnya fitnah adalah keluarga di bawah santunan Abu Bakar. Mereka rutin disantuni Abu Bakar dalam hal ekonomi dan seluruh kebutuhannya. Maklum Abu Bakar adalah saudagar kaya raya. 

Abu Bakar tahu bahwa yang membantu meluasnya fitnah adalah keluarga yang beliau santuni. Walau Abu Bakar adalah sahabat nabi yang super sabar. Dia sampai merasa kesal. Sampai-sampai ia berniat menghentikan santunan.

Sebenarnya hal ini wajar. Apalagi bagi orang yang hidup di zaman sekarang. Bagaimana tidak wajar, sudah rutin disantuni, tidak berterimakasih malah menjadi bagian pemicu fitnah. Membuat kesal seluruh anggota keluarga. Menimbulkan malu tak tergambarkan. Padahal kasusnya hasil olah pikiran orang belum beriman. 

Namun, apakah Gusti Allah mengijinkan apa yang akan diperbuat Abu Bakar terhadap orang itu. Menghentikan santunan? Informasi yang disampaikan melalui Rasulullah tidak boleh. AnjuranNya, teruskan memberikan santunan. Berarti Abu Bakar sebaiknya memaafkan! Itulah tantangan bagi orang yang bersedia menerima untung besar.

Rasulullah bersabda, "Aku diberitahu bahwa pada hari kiamat nanti, ada dua orang yang duduk bersimpuh sambil menundukkan kepala mereka di hadapan Allah. Salah satunya mengadu kepada Allah sambil berkata, ‘Ya Rabb, ambilkan kebaikan dari orang ini untukku karena dulu ia pernah berbuat zalim kepadaku’.

Allah SWT. berfirman: "Bagaimana mungkin saudaramu ini bisa melakukan itu, karena tidak ada kebaikan di dalam dirinya?".

Orang itu berkata, "Ya Rabb, kalau begitu, biarlah dosa-dosaku dipikul olehnya."

Allah berfirman kepada orang yang mengadu tadi: "Angkat kepalamu..!".

Orang itu mengangkat kepalanya, lalu ia berkata: "Ya Rabb, aku melihat di depanku ada istana-istana sangat megah yang terbuat dari emas, dan di dalamnya terdapat singgasana yang terbuat dari emas dan perak bertatahkan berlian, intan dan permata. Istana-istana itu untuk Nabi yang mana, ya Rabb? Untuk orang jujur yang mana, ya Rabb? Untuk syuhada yang mana, ya Rabb?

Allah berfirman: "Istana-istana itu diberikan kepada orang yang mampu membayar harganya."

Orang itu berkata, "Siapakah yang bakal mampu membayar harganya, ya Rabb?"

Allah berfirman: "Engkau juga mampu membayar harganya. Orang itu terheran-heran, sambil berkata, "Dengan cara apa aku membayarnya, ya Rabb?".

Allah berfirman, "Caranya, engkau maafkan saudaramu yang duduk di sebelahmu, yang kau adukan kezalimannya kepada-Ku."

Orang itu berkata, "Ya Rabb, kini aku memaafkannya." Allah berfirman, "Kalau begitu, pegang tangan saudaramu itu, dan ajak ia masuk surga bersamamu."

Memaafkan adalah perbuatan yang mampu membeli istana di akhirat. Keadaan pada pada saat uang dan kekayaan tujuh lipat bumi pun tidak berlaku. 

Nah, kalau di akhirat saja memaafkan kedzaliman bisa membeli istana terbuat dari perak, emas, bertahtakan berlian.  Apalagi di dunia? 

Hayo kita pilih memaafkan, setuju kan?

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler