El Nino Berakhir dan Segera Berganti La Nina, Apa Dampaknya?
Fenomena La Nina membuat musim kemarau menjadi lebih pendek.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mengumumkan fenomena El Nino telah berakhir yang ditandai dengan indeks ENSO berada pada kondisi netral. Fase netral ini diprediksi berubah mejadi La Nina mulai Agustus mendatang. Lalu apa dampak dari adanya fenomena La Nina?
La Nina merupakan kejadian anomali iklim global yang ditandai dengan keadaan suhu permukaan laut (SPL) di Samudra Pasifik tropis bagian tengah dan timur yang lebih dingin dibandingkan suhu normalnya. Kondisi ini biasanya diikuti dengan berubahnya pola sirkulasi Walker (sirkulasi atmosfer arah timur barat yang terjadi di sekitar ekuator) di atmosfer yang berada di atasnya dan dapat mempengaruhi pola iklim dan cuaca global.
La Nina berpengaruh pada meningkatnya curah hujan di wilayah Indonesia bagian timur. Peningkatan curah hujan saat La Nina umumnya berkisar 20-40 persen lebih tinggi dibandingkan curah hujan saat tahun Netral.
Seperti dikutip dari laporan analisis dinamika atmosfer dasarian II (tanggal 11-20) Juli 2024, BMKG menyatakan sebanyak 45 persen wilayah Indonesia berada pada musim kemarau. Beberapa wilayah yang sedang mengalami musim kemarau adalah Aceh, sebagian Sumatra Utara, sebagian Riau, Jambi, Banten, dan NTT.
Meski musim kemarau, BMKG memprediksi hujan akan turun di sejumlah daerah. "Pada dasarian III Juli-dasarian Agustus II 2024, curah hujan umumya berada di kriteria rendah-menengah," tulis BMKG dalam laman resminya.
Pada dasarian III (tanggal 21-akhir bulan) Juli 2024, hujan dengan kriteria rendah diprediksi terjadi di sebagian besar Pulau Sumatra, sebagian besar Jawa, Bali, NTB, NTT, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, sebagian besar Pulau Sulawesi, Maluku Utara, sebagian kecil Papua Barat, Papua, Papua Pegunungan dan Papua Selatan.
Fenomena La Nina sebelumnya juga sudah disinggung oleh Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Peneliti Pusat Riset Iklim dan Atmosfer BRIN Eddy Hermawan mengatakan La Nina belum menunjukkan eksistensinya, tetapi dampaknya sudah kemana-mana dan menyebabkan musim kemarau menjadi lebih pendek.
Fenomena La Nina adalah pola iklim berulang yang melibatkan perubahan suhu permukaan laut di Samudera Pasifik. Selama La Nina berlangsung, lanjutnya, suhu permukaan laut di sepanjang timur dan tengah Samudera Pasifik mengalami penurunan sebanyak 3 sampai 5 derajat Celcius dari suhu normal.
Suhu permukaan laut yang mendingin mengurangi pertumbuhan awan hujan di bagian timur dan tengah Samudera Pasifik, lalu meningkatkan curah hujan di wilayah khatulistiwa, terkhusus Indonesia. Eddy menuturkan fenomena La Nina kali ini diprediksi berlangsung hingga akhir Februari atau awal Maret 2025.
Menurutnya, kemunculan La Nina membuat puncak musim kemarau di Indonesia yang terjadi pada Agustus dan September 2024 cenderung basah.
Dia mengingatkan ada berbagai dampak yang timbul akibat fenomena La Nina berupa limpahan air berlebihan ke lahan-lahan pertanian. Jika lahan pertanian terendam banjir bisa mempengaruhi angka produksi pangan. Bahkan La Nina juga bisa membangkitkan awan-awan besar yang berpotensi mengganggu aktivitas penerbangan.
Sejumlah daerah sudah terdampak...lanjut baca>>>
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pada awal Juli mengungkapkan dampak fenomena peralihan cuaca dari El Nino ke La Nina sudah dirasakan oleh masyarakat dari sejumlah daerah pada sisi utara ekuator Indonesia.
Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB Abdul Muhari mengatakan bahwa dampak peralihan cuaca ke La Nina memicu peningkatan hujan hingga menimbulkan bencana hidrometeolorogi basah; banjir bandang, angin puting beliung, tanah longsor.
BNPB mendapati dampak tersebut secara khusus sepanjang dasarian III Juni 2024 melanda sejumlah daerah utara ekuator seperti di antaranya di Sumatra Utara, Maluku Utara, dan Sulawesi Tengah.
“Setelah angin puting beliung melanda Deli Serdang, Banjir melanda Bolaang Mongondow, Gorontalo, dan daerah lainnya di Sulawesi Tengah yang lebih dari 3.233 jiwa terdampak saat Indonesia umumnya sedang musim kemarau,” kata Abdul.
Dia memaparkan hal demikian terjadi karena La Nina semakin memperkuat keberadaan fenomena atmosfer Madden Julian Osciliation (MJO) yang bergerak dari barat ke timur Indonesia dalam pembentukan awan penghujan sisi utara ekuator Indonesia.
Demi memperkecil risiko potensi bencana hidrometeologis tersebut maka BNPB mengimbau kepada pemerintah daerah untuk tetap mengintensifkan upaya pencegahan dengan membersihkan aliran sungai, drainase dan secara aktif melakukan sosialisasi kepada masyarakat untuk mengakses informasi perkembangan cuaca hingga dapat mengetahui bahaya bencana.