Konflik PBNU-PKB Dinilai tak Terkait Kepentingan Nahdliyin, Alasan Politis Lebih Kuat?
Gejolak hubungan antara PKB dan PBNU ini dinilai hanya terjadi di level elite.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Konflik yang terjadi antara Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) terus menghangat. PBNU bahkan membentuk tim untuk mengkaji hubungannya dengan PKB. Namun, langkah ini dinilai lebih kuat karena alasan politis karena tak ada kepentingan langsung dengan warga NU atau nahdliyin.
“Kalau melihat paparan hasil pleno PBNU, tidak ada alasan objektif untuk mempersoalkan hubungan NU dengan PKB. Apa yang disampaikan oleh PBNU lebih ke alasan subjektif-politis karena merasa elitenya tidak dihiraukan oleh PKB,” ujar Pengamat Komunikasi Politik dari Universitas Multimedia Nusantara, Ambang Priyonggo, PhD, Ahad (28/7/2024).
Ambang menjelaskan, ada lima alasan yang dijadikan oleh PBNU untuk melakukan kajian hubungannya dengan PKB. Kelima alasan itu di antaranya PKB semakin jarang berkonsultasi dengan PBNU, PKB tidak mempertimbangkan kader NU dalam Pilkada, PKB lebih berorientasi pada kekuasaan, PKB semakin tergantung pada Muhaimin Iskandar, serta pernyataan elite PKB semakin menyerang PBNU.
“Kalau dilihat alasan-alasan itu sepertinya tidak ada kaitannya dengan kepentingan nahdliyin secara langsung. Alasan yang disampaikan lebih karena elite PBNU merasa kecewa karena merasa tidak 'diorangkan' oleh elite PKB,” katanya.
Ambang mengatakan, sebenarnya tidak ada masalah krusial dalam hubungan PKB dan NU. Sejauh ini PKB menunjukkan komitmen kuat untuk memperjuangkan kepentingan nahdliyin dalam konstelasi politik nasional. Dia mencontohkan, PKB konsisten mendorong UU Pesantren maupun Dana Abadi Pesantren dalam proses legislasi maupun anggaran.
“Hampir 75 persen calon anggota legislatif PKB dalam Pemilu 2024 merupakan kader-kader NU. Jadi kalau dibilang PKB tercerabut dari akar atau tradisi NU, hal itu pasti alasan yang dicari-cari,” katanya.
Pengurus dan kader PKB, lanjut Ambang, juga relatif tidak bermasalah dengan mayoritas pesantren serta ulama yang menjadi tulang punggung kekuatan nahdliyin. Bahkan jika ditelisik lebih dalam komitmen anggota legislatif maupun eksekutif dari PKB untuk merawat basis-basis NU di daerah masih sangat kuat.
“Artinya gejolak hubungan PKB dan PBNU ini hanya di level elite di mana banyak pengurus besar NU yang merasa tidak dihiraukan oleh PKB. Sementara di bawah hampir tidak ada gejolak antara PKB dan nahdliyin,” katanya.
Ambang menilai, meruncingnya hubungan PKB dan PBNU lebih karena perbedaan aspirasi politik kelompok KH Yahya Staquf dengan PKB. Perbedaan itu misalnya terlihat dalam Pemilu 2024, pernyataan bahwa PKB bukan representasi NU, hingga pernyataan warga NU tidak wajib memilih PKB.
“Jadi sekali lagi ini murni persoalan politis karena secara objektif hubungan historis, teologis, hingga hubungan kepentingan PKB dan NU sebenarnya tidak masalah,” katanya.
Pria lulusan Westminster University ini juga menyoroti pernyataan KH Yahya Staquf yang menduga jika Pansus Haji merupakan bagian dari upaya PKB menjatuhkan adiknya, Gus Yaqut, yang menjabat menteri agama. Menurutnya, pernyataan meskipun bersifat analisis dan dugaan tidak seyogyanya dikeluarkan ketum PBNU karena menyiratkan membawa institusi ke urusan pribadi.
“Jadi jangan-jangan Pansus PKB oleh PBNU ini merupakan jawaban politis Gus Yahya atas adanya Pansus Haji yang disepakati oleh mayoritas fraksi DPR. Kalau itu benar kan berarti Gus Yahya membawa institusi PBNU untuk bargaining dengan PKB sebagai salah satu fraksi yang mendukung Pansus Haji. Tentu ini disayangkan dan merupakan kemunduran dari PBNU yang akhir-akhir ini disorot dengan urusan tambang dan politik praktis saat pemilu,” ujar dia.