Profil Ismail Haniyeh, Pemimpin Hamas yang Syahid di Iran

Ismail Haniyeh mulai aktif di Hamas sejak masih mahasiswa.

EPA-EFE/IRANIAN FOREIGN MINISTRY
Ismail Haniyeh, tokoh Hamas
Red: Hasanul Rizqa

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Seorang tokoh Harakat al-Muqawamat al-Islamiyyah (Hamas) Ismail Haniyeh gugur dalam serangan di Teheran, Iran pada Rabu (31/8/2024). Kabar duka ini dibenarkan juru bicara gerakan pejuang Palestina tersebut.

Baca Juga


"Saudara pemimpin, syahid, mujahid Ismail Haniyeh pemimpin gerakan tersebut, meninggal akibat serangan berbahaya Zionis di kediamannya di Teheran, setelah berpartisipasi dalam upacara pelantikan presiden baru Iran,” demikian petikan pernyataan resmi Hamas yang diterima Republika pada pagi ini.

Ismail Haniyeh masyhur sebagai pemimpin biro politik Hamas, terutama sejak faksi Palestina tersebut berhasil memenangkan pemilihan umum dan memerintah Jalur Gaza sejak 2007. Sejak 2017, murid pendiri Hamas Syekh Ahmad Yasin itu menetap di Qatar.

Ismail Haniyeh (kerap pula dieja Ismail Haniyah) lahir di kawasan pengungsian al-Syati di Jalur Gaza pada 1963. Sejak menjadi mahasiswa Universitas Islam Gaza, dirinya mulai bergabung dengan gerakan Hamas. Pada 1987, ia berhasil lulus dan meraih gelar sarjana Sastra Arab dari kampus tersebut.

Barulah pada 1997, Ismail Haniyeh menjadi kepala sebuah biro Hamas. Pada pemilu legislatif tahun 2006, namanya terdapat di kertas suara. Kemenangan Partai Hamas dalam pesta demokrasi itu mengantarkan dirinya ke kursi perdana menteri Palestina.

Namun, raihan Hamas itu langsung digugat rivalnya, Fatah. Pada 14 Juni 2007, Mahmoud Abbas sebagai representasi Otoritas Nasional Palestina (PNA) menjungkalkan Haniyeh dari kursi. Sejak itu, dimulailah friksi internal Palestina ini. Fatah memerintah di Tepi Barat, sedangkan Hamas di Jalur Gaza.

Pada Februari 2017, posisi Ismail Haniyeh digantikan oleh Yahya Sinwar. Kemudian pada 6 Mei, ia ditunjuk menjadi pemimpin biro politik Hamas, menggantikan Khalid Mashal.

Jejak perjuangan

Antara tahun 1985 dan 1986, Ismail Haniyeh yang masih mahasiswa ikut dalam dewan mahasiswa yang ditaja Ikhwanul Muslimin (IM). Saat Intifadah I pecah pada 1987, ia turut serta bersama dengan para pejuang Palestina. Dirinya baru saja lulus pada saat itu.

Ia sempat ditangkap aparat Israel dan menjalani masa tahanan walau cukup singkat. Setahun kemudian, Haniyeh kembali ditangkap dan ditahan enam bulan lamanya. Pada 1989, ia dipenjara selama tiga tahun.

Bersama dengan Abdul Aziz al-Rantissi, Mahmud Zahhar, dan Aziz Duwaik serta 400 aktivis lainnya, Ismail Haniyeh dideportasi oleh Israel ke Lebanon. Pada 1993 atau setahun kemudian, ia kembali ke Gaza dan memimpin universitas Islam setempat.

Intifadha II pada 2000-2005 turut melejitkan nama Ismail Haniyeh. Seiring dengan itu, militer Israel (IDF) dan Mossad kian menggencarkan operasi untuk membunuh tokoh Hamas ini. Pada 2003, ia selamat dari serangan udara yang dilancarkan IDF.

Pada 2018, pemerintah Amerika Serikat (AS) memasukkan namanya ke dalam daftar "teroris global."

Berkaitan dengan genosida Gaza yang dimulai oleh serangan IDF pada Oktober 2023, Ismail Haniyeh sempat memberikan keterangan. "Sudah berapa kali kami sampaikan bahwa rakyat Palestina sudah tersingkir dari tanah air sendiri lebih dari 75 tahun, dan masih saja kalian (negara-negara Barat) menolak untuk mengakui hak-hak rakyat Palestina?" katanya dalam sebuah siaran televisi. Ia juga menampik bahwa "normalisasi" hubungan dengan Israel yang dilakukan negara Arab tidak akan membuahkan solusi untuk Palestina.

Ismail Haniyeh merupakan bapak 13 orang anak. Tiga anaknya syahid pada 2024 di tengah genosida yang dilakukan IDF di Gaza. Sejak 2009, keluarganya tinggal di kamp pengungsi al-Syati. Pada 2010, Haniyeh membeli lahan seluas 2.500 m persegi di Rimal, Jalur Gaza.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler