Ayat Quran, Hadits dan Ijma Ulama yang Jadi Dalil Fatwa MUI Soal Larangan Khitan Perempuan
Pemerintah menghapus praktik sunat perempuan lewat PP No.28 Tahun 2024
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pemerintah mengesahkan Peraturan Pemerintah (PP) No.28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Di dalam pasal 102 beleid tersebut, pemerintah secara eksplisit menghapus praktik sunat perempuan. Baca juga
Pembahasan mengenai sunat perempuan sudah pernah diulas oleh Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI). Dalam fatwa bernomor 9A Tahun 2008 tentang Hukum Pelarangan Khitan terhadap Perempuan yang ditetapkan di Jakarta pada 7 Mei 2008, MUI menetapkan khitan, baik bagi laki-laki maupun perempuan, termasuk fitrah (aturan) dan syiar Islam. Khitan terhadap perempuan adalah makrumah, pelaksanaannya sebagai salah satu bentuk ibadah yang dianjurkan.
Menurut MUI, hukum pelarangan khitan terhadap perempuan bertentangan dengan ketentuan syari'ah karena khitan, baik bagi laki-laki maupun perempuan, termasuk fitrah (aturan) dan syiar Islam.
MUI menyandarkan fatwa tersebut pada dalil Alquran, hadis dan ijma ulama. Beberapa ayat Alquran yang menjadi landasan fatwa tersebut yakni firman Allah SWT. : “Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): "Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif" dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan”. (QS. an-Nahl[16] : 123)
“Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus ? Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayanganNya”. (QS. An-Nisaa[4] : 125).
Selain ayat Alquran, MUI melansir hadits-hadits berkaitan dengan khitan perempuan. Diantaranya yakni: ”Bahwa Nabi saw bersabda: Khitan merupakan sunnah (ketetapan rasul) bagi laki-laki dan makrumah (kemuliaan) bagi perempuan (HR. Ahmad) Dari Abdullah ibn Umar bahwa Rasulullah SAW bersabda : “Wahai wanita-wanita Anshor warnailah kuku kalian (dengan pacar dan sejenisnya) dan berkhifadhlah (berkhitanlah) kalian, tetapi janganlah berlebihan”. (al-Syaukani dalam Nail al-Author)
Hadits lainnya adalah: “Apabila bertemu dua khitan maka wajiblah mandi, aku dan Rasulullah telah melakukannya, lalu kami mandi”. (HR at-Turmudzi, Ibnu Majah dan Imam Ahmad dari ‘Aisyah r.a.)
Kesepakatan para ulama (Ijma)..
Menurut MUI, seluruh ulama sepakat bahwa khitan bagi perempuan merupakan hal yang disyari'atkan mengingat adanya prinsip Qa’idah Fiqhiyah atau “Tidak ada ijtihad ketika ada nash”
MUI pun mengungkapkan, fuqaha dari empat mazhab yang menyepakati pensyari'atan khitan terhadap perempuan dengan menjelaskan mengenai khitan terhadap perempuan dan tata caranya, yang antara lain dimuat dalam Kutub wa Rasail wa Fatawa Ibn Taimiyah fi al-Fiqh (Maktabah Ibn Taimiyah, juz 21 hal. 114), I'anah al-Thalibin (Beirut: Dar al-Fikr, juz 4, hal. 174), Hawasyi al-Syarwani (Beirut: Dar al-Fikr, juz 1, hal. 142), Mughni al-Muhtaj (Beirut: Dar al-Fikr, juz 4, hal. 202), Minhaj alThalibin (Beirut: Dar al-Ma'rifah, juz 1, hal. 136), al-Bahr al-Raiq (Beirut: Dar al-Ma'rifah, juz 1, hal. 61), Fath al-Bari (Beirut: Dar al-Ma'rifah, juz 10, hal 340 dan 347), 'Aun al-Ma'bud (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, juz 14, hal. 123), Nail al-Authar (Beirut: Dar al-Jail, Juz 1, hal. 137), dan Tuhfah al-Ahwadzi (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Juz 8, hal. 28).
Menurut MUI, dari keterangan tersebut dapat disimpulkan bahwa seluruh mazhab dalam fiqih sepakat bahwa sesungguhnya khitan bagi laki-laki dan perempuan adalah bagian dari fitrah dan syi‟ar Islam. Khitan pada dasarnya adalah perkara terpuji, dan sepanjang penelaahan kami atas kitab-kitab fiqih, tidak ada satupun ahli fiqih yang melansir sebuah pendapat yang melarang khitan bagi laki-laki dan perempuan, atau pendapat yang melarang atau menganggap adanya bahaya (dharar) khitan bagi perempuan.
Hal tersebut karena telah sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Rasulullah SAW kepada Ummu Habibah sebagaimana riwayat yang dilansir di depan. Sedangkan adanya perbedaan dalam tata cara (sifat) dan hukumnya antara wajib, sunnah, atau makramah, maka semata-mata perbedaan tersebut dalam istilah yang ada di bawahnya.
Perbedaan sikap fuqaha..
Hanya saja, para fuqaha berbeda pendapat dalam menentukan hukumnya; madzhab Hanafiyyah, Malikiyyah, dan Hanabilah menyatakan sunnah, sedang Syafi'iyyah menyatakan wajib. 2. Fuqaha madzhab berbeda pendapat dalam menentukan hukum khitan terhadap perempuan; madzhab Hanafiyyah, Malikiyyah, dan Hanabilah menyatakan sunnah, sedang Syafi'iyyah menyatakan wajib, yang antara lain tercantum dalam
1. Ibnu Qudamah dalam al-Mughni : “Khitan itu wajib bagi laki-laki, sedangkan bagi perempuan adalah suatu kemuliaan/kebaikan, tidak wajib bagi mereka” (Ibnu Qudamah, al-Mughni, [Kairo : Maktabah al-Qohiroh, TT], h. 64)
2. Aun al-Ma'bud, Juz 14, hal. 125: ”Berdasarkan zhahir hadits, Abu Hanifah dan Malik berpendapat bahwa hukum khitan hádala sunnah secara mutlak (baik laki-laki maupun perempuan), Imam Ahmad berpendapat wajib bagi laki-laki dan sunnah bagi perempuan, sedang Imam Syafi'i berpendapat wajib atas keduanya".
3. Nail al-Authar, Juz 1, hal. 138 ”Ada perbedaan tentang kewajiban khitan. Imam Yahya, Imam al-Syafi'i dan kebanyakan Ulama menyatakan bahwa khitan wajib bagi lelaki dan perempuan. Demikian juga menurut Malik dan Abi Hanifah. Imam Nawawi memandang khitan hukumnya sunnah bagi lelaki dan perempuan. Imam alNashir dan Imam Yahya menyatakan bahwa khitan wajib bagi laki-laki, tidak bagi perempuan".
4. I’anah at-Thalibin, Juz IV, hal. 198 "Yang diwajibkan dalam mengkhitan perempuan adalah memotong bagian yang harus dikhitan. Diutamakan dalam mengkhitan perempuan untuk menggores sedikit saja dari bagian yang harus dikhitan, berdasarkan hadis riwayat Abu Daud dan lainnya: bahwa rasulullah SAW berkata pada tukang khitan perempuan: khitanlah dengan sedikit dan jangan berlebih-lebihan. Khitan bagi perempuan lebih membahagiakan perempuan dan lebih disenangi bagi suami; dalam pengertian menambah kenikmatan hubungan badan. Dalam suatu riwayat "lebih menceriakan wajah, yakni lebih banyak aura dengan aliran air muka dan darah".
5. DR. Wahbah az-Zuhaili dalam Kitab al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu “Khitan pada perempuan ialah memotong sedikit mungkin dari kulit yang terletak pada bagian atas farj. Dianjurkan agar tidak berlebihan, artinya tidak boleh memotong jengger yang terletak pada bagian paling atas dari farj, demi tercapainya kesempurnaan kenikmatan waktu bersenggama”. (Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, [Damaskus : Daar al-Fikr al-Islami] Jilid I, h. 356)
6. Syaikh Jad al-Haq Syaikh al-Azhar, Buhust wa Fatawa Islamiyah fi Qhadhaya Mu'ashirah. Fatwa tentang Hukum Pelarangan Khitan Terhadap Perempuan
- sunat perempuan
- khitan perempuan
- sunat perempuan dihapus
- hukum sunat perempuan
- sunat perempuan menurut islam
- bagaimana islam soal sunat perempuan
- sunat perempuan dilarang
- pemerintah resmi hapus sunat perempuan
- khitan perempuan dilarang
- fatwa MUI tentang khitan perempuan
- bagaimana melarang sunat perempuan