Resesi AS Mengintai, Indonesia Justru Untung? Ini Kata Kemenkeu
Suku bunga 10 tahun AS sudah turun cukup tajam dalam beberapa hari ini.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ancaman resesi Amerika Serikat (AS) kian bergulir, seiring dengan berbagai indikator ekonomi AS yang semakin memburuk. Alih-alih khawatir akan berdampak pada turut memburuknya kondisi ekonomi Indonesia, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) justru menilai adanya dampak positif dari kondisi itu, setidaknya hingga saat ini.
Hal itu disampaikan oleh Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan (BKF Kemenkeu) Febrio Kacaribu. Febrio menyoroti pada persoalan ditahannya suku bunga The Federal Reserve per akhir semester 1/2024 ini, disertai adanya sinyal kuat suku bunga akan dipangkas pada September 2024 mendatang.
Ia menuturkan, sebelum kebijakan suku bunga AS nanti akan turun pun, suku bunga 10 tahun AS sudah turun cukup tajam dalam beberapa hari ini. Saat ini diketahui angkanya berada di sekitar 3,7 persen.
“Itu akan terlihat nanti, dan sudah mulai kelihatan di suku bunga SBN rupiah kita, kemarin itu sudah turun ke 6,77, artinya kita akan melihat dinamika global tersebut kalau memang turun (suku bunga AS) karena memang harus mereka adjust, justru dampaknya harusnya positif bagi kita,” kata Febrio kepada wartawan di Kantor Kemenkeu, Selasa (6/8/2024).
Febrio menekankan dalam konteks untuk stabilitas makro ekonomi Indonesia, dampak dari buruknya ekonomi AS sejauh ini sebagian besar terpantau berefek positif. “Sementara ini mostly positif kalau suku bunga AS diturunkan itu membuat tekanan untuk capital outflow harusnya bisa berkurang, artinya tingkat suku bunga kita di dalam negeri, dalam rupiah terutama itu akan relatif cukup menarik bagi investor. Ini yang kita pantau hari demi hari,” jelasnya.
Melihat kondisi itu sejauh ini, Febrio mengatakan kondisi itu harus terus dikawal, seiring dengan pergerakan indikator-indikator ekonomi yang berkembang. Sehingga Indonesia pun bisa mengantisipasi jika ada kemungkinan dampak-dampak negatif atas memburuknya perekonomian di Negeri Paman Sam dan ketidakpastian ekonomi global.
“Itu yang harus kita pastikan dan kita kawal, dinamika ini kita kelola hari demi hari minggu demi minggu supaya apa yang kita kalibrasi dan kebijakan yang kita lakukan dalam negeri justru memastikan ketidakpastian ini tidak berdampak negatif bagi kita. Tetapi bagaimana ini kita gunakan supaya justru memperbaiki dan mendapatkan peluang bagi kita memperbaiki struktur dari pembiayaan kita,” terangnya.
Menko Perekonomian justru meminta waspadai resesi AS... (baca di halaman selanjutnya)
Berbeda dengan Febrio, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto justru meminta untuk mewaspadai risiko yang akan dihadapi Indonesia apabila Amerika Serikat (AS) mengalami resesi ekonomi. Ia menilai resesi ekonomi di AS dapat memicu keluarnya aliran modal dari pasar domestik Indonesia ke AS alias capital flight. Hal tersebut juga menimbang tingkat suku bunga domestik yang masih lebih tinggi dari laju inflasi, saat ini Bank Indonesia (BI) masih mempertahankan suku bunga di level 6,25 persen.
“Kemudian yang terkait dengan AS, tentu kita terus monitor. Karena tentu kalau kita lihat tingkat suku bunga kita dibandingkan inflasi gap-nya agak tinggi," kata Airlangga saat konferensi pers terkait pertumbuhan ekonomi Q2-2024 di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Senin (5/8/2024) lalu.
Airlangga berharap Bank Sentral AS atau The Fed akan menurunkan suku bunga acuan pada kuartal IV tahun ini. “Tentu kita berharap bahwa tingkat suku bunga AS di kuartal IV bisa turun walaupun belum ada yang menjamin," ujarnya.
Adapun The Fed pada Rabu (31/7/2024), mempertahankan suku bunga pada level tertinggi dalam 22 tahun, yaitu 5,25 persen hingga 5,5 persen, seiring inflasi semakin mereda, menunjukkan penurunan suku bunga kemungkinan akan terjadi paling cepat pada September.
"Inflasi telah mereda selama setahun terakhir tetapi masih terbilang tinggi. Dalam beberapa bulan terakhir, ada beberapa kemajuan lanjutan menuju target inflasi 2 persen yang dicanangkan Komite," sebut Komite Pasar Terbuka Federal (Federal Open Market Committee/FOMC), badan pembuat kebijakan The Fed, dalam pernyataannya.
Terkait pernyataan The Fed, diksi yang digunakan mencerminkan peningkatan dibandingkan dengan pertemuan pada Juni lalu. Sebelumnya, pernyataan kebijakan hanya menyebutkan "sedikit kemajuan lanjutan" dalam mengurangi tekanan harga.
Komite tersebut menegaskan pihaknya tidak memperkirakan bahwa situasi akan kondusif untuk menurunkan kisaran target sampai mereka merasakan keyakinan yang lebih besar bahwa inflasi bergerak secara berkelanjutan ke angka 2 persen.