Hizbullah Lancarkan Gelombang Serangan Roket Buatan Rusia, Iron Dome Israel tak Berfungsi
Lewat keterangan persnya, Hizbullah mengaku menggunakan roket Katyusha.
REPUBLIKA.CO.ID, NAHARIYA -- Pejuang Hizbullah, pada Senin (12/8/2024) dini hari waktu setempat melancarkan serangan roket ke beberapa wilayah di Israel utara. Seperti dilaporkan the Cradle, sistem pertahanan Iron Dome gagal mengintersep roket-roket yang menghujani daerah tersebut.
"Demi mendukung rakyat Palestina di Jalur Gaza dan mendukung perjuangan mereka, dan sebagai respons atas serangan musuh Israel di permukiman selatan (Lebanon), khususnya di kota Ma'roub, para Pejuang Islam pada Senin membombardir pusat komando 146 di Ja'toun dengan serangkaian serangan roket Katyusha," demikian keterangan resmi Hizbullah dikutip the Cradle.
Gelombang serangan roket pada hari ini terjadi jelang rencana serangan besar Hizbullah dan Iran ke Israel sebagai pembalasan atas pembunuhan komandan Hizbullah, Fuad Shukr dan pemimpin Hamas, Ismail Haniyeh. Sebelumnya pada Jumat (9/8/2024), mantan kepala komisi perbatasan Lebanon-Israel, Janderal Abdul Rahman Shehaitli dikutip Sputnik, mengatakan, bahwa serangan balasan terhadap Israel oleh Iran dan gerakan Hizbullah Lebanon akan berbeda dalam metode yang digunakan tetapi semuanya akan menargetkan fasilitas militer serta tidak akan membahayakan warga sipil.
"Serangan balasan terhadap Israel oleh Iran pasti akan berbeda sifatnya dari tanggapan Hizbullah di Lebanon. Tanggapan Hizbullah dihitung berdasarkan realitas konfrontasi bersenjata dengan militer Israel. Iran adalah negara besar di kawasan, jadi prinsip serangan balasannya dikembangkan berdasarkan kepentingan negara," kata Shehaitli.
Hizbullah akan melancarkan serangan yang tepat sasaran yang akan melukai Israel. Hizbullah mengklaim tidak akan membatasi diri hanya dengan menembakkan roket yang akan bisa dicegat oleh Iron Dome Israel.
"Tidak ada yang bisa memprediksi seperti apa serangan balasan itu. Namun, ada beberapa skenario yang paling mungkin. Ini bisa berupa serangan hebat terhadap salah satu markas militer pusat yang memiliki peran strategis, atau bisa juga pangkalan udara militer, atau pembunuhan seorang pejabat militer berpangkat tinggi," kata Shehaitli.
Di tengah eskalasi konflik yang terus meningkat, Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia menyatakan bahwa Perwakilan RI di Lebanon siap menjalankan rencana cadangan untuk mengevakuasi WNI yang menetap di negara tersebut.
“Kami telah memulai langkah-langkah memulangkan warga negara kita di Lebanon, yang saat ini terdapat 203 orang, tidak termasuk kontingen TNI yang tergabung di UNIFIL,” kata Direktur Pelindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia Kemlu RI Judha Nugraha dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat pekan lalu dikutip Antara.
Mengingat kondisi keamanan yang semakin tidak kondusif, KBRI Beirut telah menetapkan status Siaga I untuk seluruh wilayah Lebanon setelah menetapkan status tersebut untuk wilayah Lebanon selatan yang berbatasan langsung dengan Israel. Meski demikian, sebagian besar dari 203 WNI yang tercatat menetap di Lebanon mengaku kepada KBRI Beirut bahwa mereka masih merasa aman dan dapat menjalankan kegiatan sehari-hari mereka seperti biasa.
“Hingga saat ini kondisi mereka masih relatif aman, tapi kami tetap meminta mereka dapat mengikuti proses pemulangan ke Indonesia,” kata Judha.
Menurut Judha, sebagian besar WNI tersebut telah menikah dan membina keluarga dengan warga setempat. Hal tersebut menjadi salah satu faktor yang membuat mereka memutuskan bertahan di Lebanon.
Dengan demikian, Kemlu RI meminta WNI yang memutuskan bertahan di Lebanon senantiasa waspada atas keamanan pribadi dan terus memerhatikan kondisi keamanan maupun instruksi otoritas setempat. Direktur PWNI Kemlu pun memastikan bahwa biaya pemulangan WNI ke Tanah Air sepenuhnya ditanggung pemerintah.
Menlu RI Retno Marsudi sebelumnya mengatakan bahwa pemerintah terus berupaya untuk mengevakuasi WNI di Lebanon seiring ditetapkannya status keamanan Siaga I atas negara tersebut. Kemlu RI juga telah meminta WNI menangguhkan perjalanan ke Lebanon, Iran, dan Israel untuk sementara waktu mengingat situasi keamanan yang semakin tidak kondusif di tengah eskalasi pertempuran antara Israel dengan gerakan Hizbullah.
Dalam menanggapi ketegangan yang terjadi, pemerintah sejumlah negara selain Indonesia, seperti Amerika Serikat, Kanada, Polandia dan Swedia juga meminta warga negaranya untuk segera meninggalkan Lebanon.