40 Ribu Syuhada di Gaza, Angka Memalukan Bagi Kemanusiaan

Dunia punya 10 bulan menghentikan serangan Israel ke Gaza, namun tak dilakukan.

AP Photo/Fatima Shbair
Warga Palestina berduka atas kematian kerabatnya dalam pemboman Israel di Jalur Gaza, di rumah sakit Rafah, Gaza, Selasa, 12 Desember 2023.
Red: Fitriyan Zamzami

Oleh: Fitriyan Zamzami

Baca Juga


REPUBLIKA.CO.ID, GAZA – Hanya dalam waktu sepuluh bulan, agresi militer Israel telah menewaskan 40 ribu jiwa di Jalur Gaza, kebanyakan anak-anak dan perempuan. PBB menghitung setiap harinya selama genosida brutal belakangan, rerata 130 warga Gaza syahid setiap harinya. Bagaimana angka yang memalukan bagi umat manusia itu tercapai?

Angka-angka yang terus bertambah menimbulkan keputusasaan warga Gaza di tengah negara-negara dunia yang tak berbuat banyak sementaraw arga Gaza terus dibantai. “Kami hanyalah angka-angka yang dikantongi dalam kantong plastik putih. Aku ingin tahu berapa nomorku? Berapa nomorku untuk jumlah korban jiwa? Tanggal berapa peti matiku akan dibawa? Dan berapakah nomorku di antara keluargaku nantinya?” tulis Abeer Z Barakat, seorang pengungsi dari Kota Gaza dikutip Republika, Jumat (16/8/2024).

“Kami berusaha sekuat tenaga untuk mengatakan kepada dunia bahwa kami bukanlah angka. Masing-masing kami punya cerita dan kehidupan, tapi tampaknya kami telah berusaha keras untuk membuktikan sesuatu yang terus-menerus diabaikan dunia. Ini martabat kami, hidup atau mati,” ia melanjutkan. “Jadi bagi saya, saya ingin menghentikan perjuangan ini, menyerah pada kenyataan ini. Saya menantikan nomor saya sekarang!”

Pada 7 Oktober 2023, para pejuang Palestina melakukan serangan besar-besaran ke wilayah Israel. Selain terkait puluhan tahun blokade mematikan terhadap Jalur Gaza; penerobosan terus menerus Masjid al-Aqsa, pembunuhan-pembunuhan terhadap warga Palestina di Tepi Barat, perluasan pemukiman Ilegal Yahudi, serta kondisi ribuan tahanan di penjara-penjara Israel jadi alasannya.

Ribuan dari Gaza, termasuk warga sipil merangsek pos-pos militer, kibbutzim, serta satu pesta besar di Israel. Tujuannya, menculik sebanyak-banyaknya anggota militer Israel untuk dijadikan sandera dan daya tawar pembebasan tahanan. 

Militer Israel yang terkejut dengan serangan itu gelagapan menanggapi sementara saling tembak mulai makan korban. Investigasi Haaretz menyimpulkan, IDF akhirnya menerapkan Protokol Hannibal, yang membunuh banyak warga Israel sendiri untuk mencegah mereka dibawa ke Gaza.

Akibat kekacauan tersebut, sekitar 1.100 warga Israel tewas, hampir setengahnya militer dan anggota kepolisian serta pengamanan sukarela. Sekitar 250 sandera dibawa ke Gaza, termasuk warga sipil. Pada hari yang sama, IDF langsung membombardir Gaza.


The Times of Israel mengutip seorang perwakilan para sandera yang mengungkapkan bahwa pada mulanya, sudah ada tawaran dari Hamas untuk membebaskan semua sandera warga sipil yang terbawa ke Gaza. Namun, Perdana Menteri Benjamin Netanyahu menolak tawaran itu dan memilih melakukan serangan besar-besaran.

Media-media Israel dan Barat, juga Pemerintah Amerika Serikat memanas-manasi dengan menyampaikan bahwa ada pembunuhan bayi-bayi secara kejam serta pemerkosaan massal dalam serangan 7 Oktober. Namun belakangan terbukti melalui investigasi independen, semuanya bohong belaka.

Amerika Serikat dan negara-negara sekutu Israel di Eropa kemudian memberikan lampu hijau serangan ke Gaza dengan dalih Israel berhak membela diri. Dengan kondisi Gaza yang merupakan wilayah terkepung dengan populasi padat, serangan kala itu dipastikan akan merenggut nyawa warga sipil, namun dukungan pada Israel tetap diberikan. Israel juga memutus akses bantuan makanan, obat-obatan, air bersih, dan listrik ke Gaza.

Pada 17 Oktober, di tengah serangan Israel, Rumah Sakit Baptis Al-Ahli terkena bom, menyebabkan sekitar 300 orang syahid. Ini salah satu dampak paling fatal agresi Israel ke Gaza saat itu. Israel menuding ledakan akibat roket kelompok Jihad Islam Palestina yang gagal sampai ke Israel, namun banyak investigasi menyimpulkan bahwa ledakan akibat rudal yang datang dari arah Israel.

Serangan udara Israel telah meluluhlantakkan Rumah Sakit Baptis Al-Ahli di Jalur Gaza, Selasa (17/10/2023) malam waktu setempat. - (AP)

Serangan itu memicu rapat Dewan Keamanan (DK) PBB melakukan rapat darurat pada 19 Oktober. Namun, Amerika Serikat memveto resolusi Dewan Keamanan PBB yang menyerukan jeda kemanusiaan dalam konflik antara Israel dan militan Hamas Palestina untuk memungkinkan akses bantuan kemanusiaan ke Jalur Gaza. Dua belas anggota memberikan suara mendukung rancangan teks tersebut pada hari Rabu, sementara Rusia dan Inggris abstain.

Pada 27 Oktober, Israel memulai serangan darat dengan pengerahan ribuan kendaraan tempur ke Gaza yang disertai sekitar 100 ribu pasukan. Rumah Sakit Al-Quds, Rumah Sakit Al-Shifa, dan Rumah Sakit Indonesia jadi sasaran serangan darat tersebut. Jumlah syuhada di Gaza sudah mencapai ribuan orang.

Pada 22 November, Israel dan Hamas mencapai kesepakatan gencatan senjata sementara, dengan memberikan jeda selama empat hari, untuk memungkinkan pembebasan 50 sandera yang ditahan di Gaza. Kesepakatan itu juga mengatur pembebasan sekitar 150 perempuan dan anak-anak Palestina yang ditahan oleh Israel. Gencatan senjata berakhir pada 1 Desember. Gencatan berakhir selepas Israel dilaporkan menembaki petani di Gaza.

Pada 10 Desember, DK PBB menggelar rapat perdana untuk mencapai resolusi gencatan senjata. Saat itu, sudah lebih dari 15 ribu warga Gaza syahid dengan rerata 250 kematian per hari. AS, sekutu terbesar Israel, memveto proposal DK PBB untuk menghentikan serangan Israel kala itu. 

Bagaimana AS TErlibat Genosida di Gaza? - (Republika)

Wakil duta besar AS untuk PBB mengatakan penghentian segera agresi hanya akan “menanam benih bagi perang berikutnya”, dan menuduh Hamas menolak menerima solusi dua negara. Faktanya, Hamas telah menerima solusi dua negara selama hampir 20 tahun. Pada tahun 2017, piagam barunya secara resmi menyatakan hal itu.

Untuk ketiga kalinya, AS memveto resolusi DK PBB yang menyerukan gencatan senjata di Gaza pada 20 Februari 2024. Kala itu, korban jiwa di Gaza sudah hampir mencapai 30 ribu jiwa. Duta Besar Amerika untuk PBB mengatakan veto tersebut dilakukan karena kekhawatiran bahwa resolusi tersebut akan membahayakan perundingan antara Amerika, Mesir, Israel dan Qatar. Netanyahu menyambut baik veto AS.

Pada 26 Maret, AS akhirnya memilih abstain dna tak memveto proposal gencatan senjata DK PBB, yang disetujui oleh 14 dari 15 anggota DK PBB. Namun, AS kemudian mengatakan resolusi tersebut “tidak mengikat”, meremehkan aturan sistem PBB dan menunjukkan komitmen AS untuk terus mendukung perang Israel di Gaza. Saat itu, korban jiwa di Gaza mencapai 32 ribu jiwa.

Pada 7 Mei, Hamas menyatakan menerima gencatan senjata yang diusulkan oleh Qatar dan Mesir yang mengikuti kerangka tiga fase. Perjanjian tersebut menetapkan bahwa semua tawanan Israel – warga sipil dan militer – akan dibebaskan dengan imbalan tahanan Palestina dalam jumlah yang tidak ditentukan.

Warga Palestina berduka atas kematian kerabatnya dalam pemboman Israel di Jalur Gaza, di rumah sakit Rafah, Gaza, Selasa, 12 Desember 2023. - ( AP Photo/Fatima Shbair)

Resolusi tersebut menyerukan Israel untuk meningkatkan bantuan, secara bertahap menarik diri dari Gaza dan mengizinkan rekonstruksi serta mencabut pengepungan yang diberlakukan terhadap wilayah tersebut sejak tahun 2007. Namun, Israel tidak akan menyetujui persyaratan tersebut karena tidak menginginkan gencatan senjata yang langgeng.

Dua hari kemudian, Israel mengabaikan seruan gencatan senjata dan melancarkan serangan terhadap Rafah, kota paling selatan Gaza, tempat 1,4 juta pengungsi Palestina mencari perlindungan. Jumlah korban jiwa di Gaza kala itu mencapai 38 ribu jiwa.

Pada Juli, Kepala Biro Hamas Ismail Haniyeh dibunuh di Teheran saat menghadiri pelantikan Presiden Iran Masoud Pezeshkian. Para pejabat Iran dan AS yakin Israel bertanggung jawab. Israel tidak secara resmi membenarkan atau menyangkal hal tersebut.

Kekhawatiran meningkat bahwa negosiasi gencatan senjata akan terhenti setelah pembunuhan tersebut, salah satunya karena Haniyeh adalah juru bicara utama Hamas. 


Hingga 15 Agustus, saat korban jiwa di Gaza akhirnya mencapai lebih dari 40 ribu jiwa, Netanyahu masih dituduh menghalangi kesepakatan. Dia dilaporkan memperkuat posisi tim perundingan, bersikeras bahwa pasukan Israel harus tetap mengendalikan perbatasan selatan Gaza, sebuah ketentuan yang tidak disertakan sebelumnya.

Dia juga mengatakan pos pemeriksaan keamanan akan didirikan untuk mencari warga Palestina yang ingin kembali ke rumah mereka di Gaza utara, ketentuan yang dikhawatirkan oleh tim perunding akan menggagalkan gencatan senjata saat putaran baru perundingan sedang berlangsung.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler