Pakar Ungkap Pemanasan Global Mungkin Sudah di Luar Prediksi Ilmuwan
Lonjakan suhu selama 13 bulan melampaui prediksi para ilmuwan.
REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Ilmuwan Inggris dan Direktur Institut Goddard untuk Penelitian Luar Angkasa (GISS) Divisi Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat (NASA) Gavin Schmidt menyatakan pemanasan global mungkin sudah di luar prediksi para pakar.
"Suhu anomali 2023 datang tiba-tiba," tulis Schmidt di jurnal Nature pada bulan Maret lalu seperti dikutip dari The Guardian, Sabtu (17/8/2024).
Ia mengatakan, kemungkinan hal ini mengungkapkan kesenjangan pengetahuan dengan kenyataan pertama dalam 40 tahun terakhir. Ketika data satelit mulai dapat memberikan model-model sistem iklim bumi secara real-time.
Dalam artikel itu, ia menulis bila suhu belum stabil pada Agustus maka pemanasan bumi sudah mengubah cara kerja sistem iklim lebih cepat dibandingkan yang diperkirakan para ilmuwan. Banyak ilmuwan dan kelompok lingkungan yang membacanya dengan penuh kewaspadaan.
Lonjakan suhu selama 13 bulan yang melampaui prediksi para ilmuwan menandakan adanya perubahan sistem atau anomali sementara. Bila bumi memanas lebih cepat dibandingkan yang diprediksi ilmuwan maka pertanyaan apakah dekade-dekade paling penting sudah hilang?
Agustus sudah di pertengahan bulan dan Schmidt mulai sedikit lebih tenang. Ia mengatakan situasinya masih belum pasti tapi tren suhu panas mulai kembali ke jalur yang sudah diprediksi.
"Apa yang saat ini saya pikirkan kami tidak terlalu jauh dari ekspektasi, bila kami bisa mempertahankannya selama beberapa bulan ke depan kami dapat mengatakan apa yang terjadi pada akhir 2023 'bukan hal yang menentukan' tapi masih terlalu dini untuk menyimpulkannya," kata Schmidt pada The Guardian.
Ia mengakui kekhawatirannya berkurang sedikit tapi tetap tidak bisa menjelaskannya lonjakan panas itu. Schmidt mengatakan margin peningkatan suhu panas tahun lalu mengejutkan. Ia memprediksi tahun 2024 akan kembali menjadi tahun terpanas tapi semakin mendekati apa yang sudah diperkirakan sebelumnya.
Schmidt mengatakan ilmuwan masih mencari tahu mengapa paruh pertama 2023 dan paruh pertama 2024 memecahkan rekor dengan selisih 0,2 derajat Celsius. "Kami tidak memiliki penjelasan kuantitatif bahkan untuk setengahnya," katanya.
Ia menegaskan, permasalahan ini harus segera jawabannya. Schmidt menjelaskan pemodelan iklim saat ini tidak dirancang sangat reaktif. Prosesnya berjalan lama di mana orang-orang di seluruh dunia dengan sukarela menyumbangkan waktu mereka.
"Kami belum bertindak bersama-sama pada permasalahan ini," katanya.
Pertanyaan tidak meragukan pemanasan global disebabkan pemanasan bahan bakar fosil seperti gas, minyak, batu bara dan deforestasi hutan. Pemanasan global mendorong suhu bumi terus memecahkan rekor setiap tahunnya.
Bulan lalu bumi mengalami dua hari terpanas yang pernah tercatat. Kemungkinan besar dalam 120 ribu tahun. Panas ini menyebabkan berbagai malapetaka mulai dari badai, banjir, mencairkan es kutub dan cuaca-cuaca ekstrem lainnya. Tren buruk ini akan terus berlanjut sampai pembakaran bahan bakar fosil berhenti dilakukan.
"Selama perubahan iklim berlanjut, setiap dekade akan semakin penas, dampaknya besar dan konsekuensinya lebih besar lagi," kata Schmidt.
"Jadi sehubungan dengan itu, kami sudah berada di wilayah yang belum terpetakan mengenai hubungan antara iklim dan setiap dekade yang terus semakin panas," ujarnya.
Badan pemantau cuaca beberapa negara mengatakan fenomena alam El Nino menambah tekanan panas global tahun ini. Para ilmuwan juga mengungkapkan dampak letusan gunung berapi Hunga Tonga-Hunga Ha'apai di Tonga pada Januari 2022, meningkatkan apa yang disebut solar maximum yaitu periode puncak aktivitas Matahari dalam siklus Matahari yang kira-kira berulang setiap 11 tahun.
Selama periode ini, matahari berada pada kondisi paling aktif, dengan jumlah bintik matahari dan ledakan matahari yang lebih banyak dibandingkan biasanya. Namun Schmidt mengatakan tidak satu pun dari kemungkinan itu yang cukup untuk menjelaskan lonjakan suhu.
Schmidt berharap gambaran yang lebih jelas akan muncul saat pertemuan Persatuan Geofisika Amerika pada Desember, ketika banyak ilmuwan sistem bumi terkemuka di dunia akan berkumpul di New Orleans, Louisiana. Salah satu teori yang paling mengkhawatirkan yang akan muncul adalah Bumi kehilangan albedo yaitu kemampuan planet untuk memantulkan panas kembali ke angkasa. Hal ini terutama disebabkan berkurangnya es putih di Kutub Utara, Antartika, dan gletser pegunungan.
Di media sosial X profesor Universitas Exeter Peter Cox mengatakan hal itu “berkontribusi besar terhadap percepatan pemanasan global”. Hal ini juga menunjukkan catatan yang ada saat ini bukan hanya merupakan gabungan dari beberapa faktor yang ganjil.