Pertumbuhan Ekonomi Israel Ambrol di Tengah Genosida Gaza

PDB Israel pada kuartal kedua hanya naik 1,2 persen.

EPA-EFE/ABIR SULTAN
Polisi memeriksa kerusakan di lokasi ledakan yang diduga oleh Drone di Tel Aviv, Israel,Jumat (19/7/2024). Dikabarkan satu orang tewas dan delapan yang lain terluka dalam ledakan yang diduga disebabkan oleh serangan Drone.
Red: A.Syalaby Ichsan

REPUBLIKA.CO.ID, TELAVIV — Biro Pusat Statistik Israel merilis tren penurunan pertumbuhan ekonomi yang dikeluarkan pada Ahad (18/8/2024). Dalam laporan tersebut, tampak terjadi penurunan yang dalam pada ekonomi negara zionis tersebut pada kuartal ke-2 (Q2) setelah kenaikan yang tajam pada kuartal pertama (Q1).

Baca Juga


Xinhua melaporkan, Produk Domestik Bruto (PDB) Israel naik pada kuartal kedua sebesar 1,2 persen dibandingkan dengan PDB pada kuartal pertama, yang naik 17,3 persen. Secara tahunan, penyusutan 1,4 persen tercatat pada PDB Israel dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.

Data juga menunjukkan bahwa pengeluaran konsumsi swasta di Israel meningkat 12 persen pada kuartal kedua. Tingkat konsumsi tersebut jauh lebih rendah daripada kenaikan 26,3 persen yang tercatat pada kuartal pertama.

Gad Lior, seorang analis senior di surat kabar Yedioth Ahronoth, mengatakan kepada Xinhua bahwa angka pertumbuhan yang rendah mengindikasikan bahwa ekonomi Israel belum pulih sebagai dampak dari serangan 7 Oktober 2023 lalu.

Tren yang mengkhawatirkan juga tercermin dalam impor barang dan jasa, turun 11,1 persen pada kuartal kedua, setelah kenaikan 32,7 persen yang tercatat pada kuartal pertama.

Ekspor barang dan jasa Israel, tidak termasuk berlian dan perusahaan baru, menurun pada kuartal kedua sebesar 7,1 persen, menyusul penurunan 10,4 persen pada kuartal pertama.

60 ribu bisnis tutup.. 

Media asal Israel, Time of Israel yang mengutip perusahaan informasi bisnis, CofaceBDI, menulis, akan ada sebanyak 60 ribu bisnis di negara penjajah tersebut tutup pada 2024.

Prediksi suram ini muncul karena dalam sembilan bulan sejak kampanye genosida di Gaza, sebanyak 46.000 bisnis harus tutup. Pengelola bisnis harus tetap bertahan di tengah kerugian akibat tingkat suku bunga yang tinggi, biaya pembiayaan yang lebih mahal, kekurangan tenaga kerja, penurunan tajam dalam omset dan operasi, gangguan logistik dan pasokan, dan bantuan pemerintah yang tidak memadai.

Sebagai perbandingan, tercatat 76.000 perusahaan terpaksa tutup selama pandemi virus corona pada tahun 2020, sementara pada tahun-tahun biasa, sekitar 40.000 perusahaan tutup dalam setahun.

“Secara efektif tidak ada sektor ekonomi yang kebal terhadap dampak perang yang sedang berlangsung,” kata CEO CofaceBDI Yoel Amir kepada The Times of Israel. “Bisnis menghadapi kenyataan yang sangat kompleks: ketakutan akan eskalasi perang ditambah dengan ketidakpastian tentang kapan pertempuran akan berakhir bersamaan dengan tantangan yang terus berlanjut seperti kekurangan staf, permintaan yang rendah, kebutuhan pembiayaan yang terus meningkat, peningkatan biaya pengadaan dan masalah logistik, dan yang terbaru adalah larangan ekspor oleh Turki, yang semuanya membuat bisnis Israel semakin sulit untuk bertahan dalam periode ini.”

Sekitar 77 persen dari bisnis yang terpaksa ditutup sejak awal perang, yang terdiri dari sekitar 35.000 perusahaan, adalah bisnis kecil dengan maksimal lima karyawan. Pelaku UMKM ini adalah yang paling rentan dalam perekonomian mengingat  punya kebutuhan pembiayaan yang lebih mendesak. Sementara, operasional mereka terpukul mengingat sulitnya mengumpulkan dana yang sangat dibutuhkan, menurut Amir.

Warga Israel di Bandara Ben Gurion dekat Tel Aviv, Israel, Ahad, 28 November 2021. Seperempat Yahudi Israel dilaporkan siap melakukan eksodus. - (Ariel Schalit/AP Photo)

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler