Hikmah Polemik Nasab Baalawi Menurut Ustadz Adi Hidayat
Ustadz Adi Hidayat memberi pandangan soal polemik nasab Baalawi.
REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Dai nasional dari Muhammadiyah, Ustadz Adi Hidayat (UAH) mengatakan, dalam pandangan Islam, nasab ini merupakan persoalan yang sangat sensitif. Saking sensitifnya, kata UAH, dalqm hadits riwayat Bujhari dan Muslim yang tersambung pada sahabat Abu Dzar al-Ghifari, Nabi memberikan pengingat.
"Jika nasab yang benar itu kemudian sengaja diputus, maka risikonya adalah kufur," ujar UAH saat menanggapi polemik tentang nasab di Indonesia, seperti dikutip dari kanal Youtubenya, Adi Hidayat official, Selasa (10/9/2024).
Dalam hadits tersebut dikatakan, Ma min rajulin idda'a lighairi abihi fahuwa kufrun. Artinya, tidaklah seorang lelaki mengaku menasabkan sesuatu kepada yang bukan dari bapaknya atay jalur nasabnya, maka dihukumi dengan kufur.
"Jadi kalau ada seseorang yang dengan pandangan tertentu mencoba memutus nasab seseorang yang sudah valid, tercatat, terbukti, dan ternyata nasab itu benar, kemudian mencoba untuk diputus, maka risikonya kufur," ucap UAH.
Dalam hal yang sama, lanjut dia, ketika ada seseorang menisbatkan yang bukan kepada nasabnya atau mengaku-ngaku bagian dari nasab yang bukan nasabnya, maka tempatnya diri neraka.
"Oleh karena itu, ini persoalan yang tidak mudah. Jadi jangan ditarik ke kalangan masyarakat awam, selesaikan di ranah ilmiah, ada pengujinya, ada hakimnya, ada bukti-buktinya, ada sistematikanya, sehingga tidak banyak orang terjebak pada satu masalah, yang ini jadi problem kemudian hari saat kembali kepada Allah SWT," kata UAH.
Dia mempertanyakan, siapa yang akan bertanggung jawab kalau tiba-tiba ada orang mencacimaki nasab tertentu, kemudian tidak seperti kenyataannya, dan dia menghukumi terputus, lalu terkena kemudian dengan ancaman hadis ini.
"Yang bertanggung jawab siapa? Kan jadi masalah. Jadi nasab itu sangat sensitif. Dinisbatkan kepada yang bukan dari turunannya masalah, mengaku-ngaku bermasalah, berbangga-bangga juga masalah," jelas UAH.
Lebih lanjut, UAH menjelaskan, dalam hadis riwayat Abdullah bin Abbas r.a dijelaskan bawah ketika seseorang menjelang sholat berbangga-bangga dengan nasabnya, dengan kakeknya. Si fulan yang satu mengatakan bahwa itu adalah kakeknya dan yang satu lagi juga mengatakan bahwa itu adalah kakeknya.
Maka, Nabi merespon dalam doa i'tidal itu, yaitu:
اَللّٰهُمَّ رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ مِلْءَ السَّمٰوَاتِ وَمِلْءَ الْأَرْضِ وَمِلْءَ مَا شِئْتَ مِنْ شَيْءٍ بَعْدُ بَعْدُ أَهْلَ الثَّنَاءِ وَالْمَجْدِ أَحَقُّ مَا قَالَ الْعَبْدُ وَكُلُّنَا لَكَ عَبْدٌ اَللّٰهُمَّ لاَ مَانِعَ لِمَا أَعْطَيْتَ وَلاَ مُعْطِيَ لِمَا مَنَعْتَ وَلاَ يَنْفَعُ ذَا الْجَدِّ مِنْكَ الْجَدُّ
"Jadi tidak ada yang lebih unggul. Kakeknya si fulan atau kakeknya si fulan. Ini memberikan kesan bahwa nasab itu pada akhirnya dihadapan Allah. Keseluruhannya itu akan sirna seluruhnya kecuali amal sholeh kita," jelas UAH.
Menurut dia, ini menjadi salah satu poin yang barangkali penting menjadi catatan. Kata dia, penghormatan itu tetap harus ada. Kepada siapapun, umat Islam diajarkan untuk saling menghormati.
"Dan kita telah hatam dengan itu semua. Jangan kita hanya mengambil dalil Inna akramakum indallahi atqakum, yang paling mulia adalah ketakwaannya dihadapan Allah. Nah, di antara nilai takwa itu adalah menghormati orang lain. Di antara takwa itu menyambung silaturahim," kata UAH.
Dalam surat An-Nisa ayat pertama telah jelas dikatakan:
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِّنْ نَّفْسٍ وَّاحِدَةٍ وَّخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيْرًا وَّنِسَاۤءً ۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَ الَّذِيْ تَسَاۤءَلُوْنَ بِهٖ وَالْاَرْحَامَ ۗ
Artinya: "Wahai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakanmu dari diri yang satu (Adam) dan Dia menciptakan darinya pasangannya (Hawa). Dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.143) Bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta dan (peliharalah) hubungan kekeluargaan.
(QS An-Nisa' [4]:1)
"Jadi menyambung silaturahim, saling menghormati, saling menghargai dengan siapapun bagian dari takwa. Nah ini kan agak miris. Kita mengambil narasi takwa untuk mengatakan yang paling tinggi di hadapan Allah adalah ketakwaannya. Tapi saat yang bersamaan juga ada sifat untuk mencela orang lain, mencela nasab orang lain. Ini bukan sesuatu yang proporsional," ucap UAH.
UAH mengatatakan, dirinya tidak menjadi pribadi yang lebih baik dibandingkan dengan masyarakat pada umumnya. Semuanya memiliki kekurangan, kesalahan, dan pasti mempunyai celah.
"Tapi akan lebih baik bila kita dudukkan itu semua menjadi sebuah energi untuk saling menguatkan, membangun silaturahim. Alhamdulillah, dengan adanya dan Allah izinkan isu ini terangkat, tentu kita akan punya banyak hikmah. Hikmah yang selama ini tidak bisa kita dapatkan," ujar UAH.
Di antara hikmah dari polemik nasab ini, menurut dia, adanya hubungan silaturahim antara habaib dengan generasi yang wali songo. Menurut UAH, keduanya adalah generasi mulia dan kontribusinya tinggi dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara.
"Ini saatnya bersatu, kemudian membangun tali ukhuwah yang kuat, bersinergi membangun bangsa, ya dalam situasi global yang tidak mudah saat ini. Tantangannya banyak, masyarakat banyak masalah. Banyak persoalan. Persoalan lapar, persoalan moral. Kalau sekarang pertikaiannya ada di unsur-unsur yang setidaknya harusnya menjadi teladan, kan jadi masalah yang sangat repot," jelas UAH.
Oleh karena itu, UAH mengajak semua pihak untuk membedakan persoalan nasab ini dengan persoalan perilaku. Kalau memang ada perilaku yang menyimpang, kata UAH, maka sebaiknya internalnya diperbaiki.
"Bila ada masukan kepada habaib dan ini nyata, ada pembuktiannya, dengan segala kerendahan hati, diperbaiki di internal habaibnya. Bila memang ada penyimpangan terkait hukum, diproses seperti yang Nabi ajarkan. Bila memang yang umumnya juga berlaku yang tidak baik, diperbaiki. Lalu kita sambungkan jadi islah untuk saling menyatu dalam kebaikan," kata UAY.
Jika persoalannya terkait dengan nasab, lanjut UAH, maka harus ditempatkan di ruang waktu yang tepat. Karena itu, menurut dia, dalam merespos isu-isu kemasyarakatan ini, MUI tidak boleh menjadi satu figur tunggal pada personal-personal, harus menjadi figur lembaga.
"Saya kira sebagai satu lembaga, ini kami memberikan dorongan yang kuat pada isu-isu yang dirasakan, sudah meresahkan, berpotensi konflik di masyarakat," ujar UAH.
UAH pun menyarankan agar MUI memanggil semua pihak dan membuat tim khusus untuk menjadi penilai. Menurut dia, kedua belah bisa didudukkan untuk bisa berdiskusi dengan cara yang baik dengan sistematika yang benar.
"(Karena) ini sudah tidak produktif ya apalagi juga sudah mulai muncul komentar dari ulama-ulama dari luar," ucap UAH.