Hukum Menafsirkan Mimpi
Ini hukum menafsirkan mimpi menurut Islam.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Para ulama bersepakat tentang kebolehan menceritakan mimpi dan meminta penakwilan. Bahkan, menurut Markaz al-Fatwa (4473), yang mengingkari mimpi hanyalah kaum mu'tazilah dan orang-orang ateis.
Namun, dalam menafsirkan mimpi perlu diperhatikan rujukan yang jelas. Misalkan, merujuk pada tafsir mimpi yang ditulis para ulama, seperti Ibnu Sirin.
Dalam Islam, mimpi bukan hanya sekadar bunga tidur. Nabi-nabi terdahulu bahkan menjadikannya sebagai suatu sumber hukum. Sebab, wahyu Allah pun dapat sampai kepada mereka melalui mimpi.
Misal, kisah Nabi Ibrahim AS yang hendak menyembelih anak kesayangannya. Sebab, ia meyakini perintah Allah SWT datang melalui mimpinya (lihat QS as-Shaffaat: 102).
Demikian pula Nabi Yusuf yang dikenal sangat andal menakwilkan mimpi. Risalah kenabiannya ditandai dengan mimpi melihat matahari, bulan, dan bintang yang sujud kepadanya (lihat QS Yusuf: 4).
Setelah itu, Nabi Yusuf banyak menafsirkan mimpi hingga menjadikannya menteri Mesir saat itu. Demikian dikisahkan Alquran.
Dalam syariat yang dibawa Nabi Muhammad SAW, mimpi tidak lagi menjadi dalil (hujjah) untuk sebuah hukum. Imam asy-Syathibi dalam Al-I'tisham menegaskan, "Sesungguhnya mimpi dari selain para nabi secara syar'i tidak boleh dijadikan landasan untuk menghukumi perkara apa pun, kecuali setelah ditimbang dengan hukum syariat. Apabila diperbolehkan, maka bisa diamalkan. Bila tidak diperbolehkan, maka wajib ditinggalkan dan berpaling darinya."
Menurut Abdurrahman bin Yahya al-Mu'allimi, para ulama telah bersepakat bahwa mimpi tidak bisa dijadikan hujjah. Jadi, mimpi hanyalah sebatas memberi kabar gembira atau peringatan. Di samping itu, mimpi bisa juga menjadi pelajaran (ibrah) apabila sesuai dengan dalil syar'i yang sahih.
Rasulullah SAW menakwil mimpi ...
Nabi Muhammad SAW pernah menafsirkan mimpinya maupun mimpi orang lain. Bahkan, Abu Bakar RA pernah menafsirkan mimpi orang lain di hadapan beliau. Ibnu Abbas meriwayatkan, suatu ketika datang seorang laki-laki kepada Rasulullah SAW.
"Tadi malam, aku bermimpi melihat segumpal awan yang meneteskan minyak samin dan madu. Lantas, kulihat orang banyak memintanya. Ada yang meminta banyak dan ada yang meminta sedikit.
Tiba-tiba ada tali yang menghubungkan antara langit dan bumi. Kulihat engkau memegangnya kemudian engkau naik. Kemudian ada orang lain memegangnya dan ia pergunakan untuk naik. Kemudian ada orang yang mengambilnya dan dipergunakannya untuk naik namun tali terputus. Kemudian, tali itu tersambung," demikian kisah laki-laki tersebut.
Abu Bakar yang berada di sisi Rasulullah SAW meminta izin untuk menakwilkannya. Beliau pun menyetujuinya.
"Adapun awan, itulah Islam. Adapun madu dan minyak samin yang menetes, itulah Alquran karena manisnya menetes. Maka, silakan ada yang memperbanyak atau mempersedikit. Adapun tali yang menghubungkan langit dan bumi adalah kebenaran yang engkau pegang teguh sekarang ini yang karenanya Allah meninggikan kedudukanmu.
Kemudian, ada seseorang sepeninggalmu mengambilnya dan ia pun menjadi tinggi kedudukannya. Ada pula orang lain yang mengambilnya dan terputus, kemudian tali itu tersambung kembali sehingga ia menjadi tinggi kedudukannya karenanya," papar Abu Bakar.
Kemudian, Abu Bakar pun meminta pembenaran kepada Rasulullah SAW, apakah takwilan mimpinya tepat atau tidak. Nabi SAW membenarkan sebagiannya dan menyalahkan sebagian yang lain.
"Demi Allah ya Rasulullah, tolong beritahukanlah kepadaku takwil mana yang salah?"
pinta Abu Bakar.
Nabi SAW mengingatkan, "Janganlah engkau bersumpah."