Usai Cek TKP Kasus Vina, Otto: Sudah Terang Benderang, Hakim Sampai Menangis Terharu
Sidang PK kasus Vina pada Jumat beragendakan pemeriksaan tempat kejadian perkara.
REPUBLIKA.CO.ID, CIREBON – Misteri kematian Vina dan Eky yang terjadi di Cirebon pada 2016, dinilai kini dinilai sudah terang benderang. Apalagi setelah dilakukannya pemeriksaan setempat, yang merupakan agenda sidang lanjutan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan para terpidana kasus tersebut, Jumat (27/9/2024).
Dalam pemeriksaan setempat itu, kuasa hukum terpidana bersama majelis hakim dan jaksa, sama-sama turun ke lokasi-lokasi yang disebutkan terkait dengan kasus Vina. Dimulai dari depan SMPN 11 Kota Cirebon, pengecekan dilanjutkan ke sejumlah lokasi hingga berakhir di Fly Over Talun, Kabupaten Cirebon.
Ketua tim kuasa hukum para terpidana, Otto Hasibuan, mengungkapkan, pelaksanaan pemeriksaan setempat sangat penting untuk mengungkap beberapa kejanggalan pada kasus tersebut.
"Ini sudah terang benderang. Bahkan hakim pun tadi sampai menangis, sampai terharu membacakan Al-Fatihah," ujar Otto, usai mengunjungi Flyover Talun.
"Faktanya jelas ada orang yang meninggal, mayat Vina dan Eky di sini (Fly Over Talun), ada yang melihat di sini. Semoga keterangan tadi menjadi terang benderang," ucapnya.
Otto mengungkapkan, tidak ada saksi yang melihat peristiwa pembunuhan terhadap Vina dan Eky. Sedangkan saksi yang mengetahui kecelakaan yang menimpa Vina dan Eky, ada beberapa orang.
"Dengan adanya pemeriksaan di tempat ini, tidak ada satupun saksi yang melihat adanya pembunuhan. Yang ada, beberapa saksi melihat adanya kecelakaan, yaitu Ismail, Adi Haryadi," tuturnya.
Otto pun mengungkap kejanggalan dalam dakwaan terhadap para terpidana kasus Vina. "Bayangkan, katanya dipukuli di sini (Fly Over Talun), setelah dipukuli dibawa ke sana (lahan kosong) dengan jarak 1,2 kilometer, melewati jalan raya lalu dibunuh," katanya.
"Setelah dibunuh, dibawa lagi ke jembatan Talun dengan jarak 1,2 kilometer lagi dengan digeletakkan di jalan raya. Menurut saya sangat tidak masuk akal," cetusnya.
Otto berharap, pelaksanaan pemeriksaan setempat itu bisa memberikan gambaran dan fakta yang sesungguhnya kepada majelis hakim.
"Kami tidak menyimpulkan begitu saja, harus kami yakinkan dan buktikan ke majelis hakim dan hakim akhirnya melihat sendiri, menganalisa sendiri dan memperhatikan sendiri. Mudah-mudahan, majelis hakim timbul keyakinannya kemudian merekomendasi kepada Mahkamah Agung untuk bisa membebaskan para terpidana," tukasnya.
Sidang peninjauan kembali (PK) kasus pembunuhan Vina dan Eky pada Jumat (27/9/2024) mengagendakan pemeriksaan tempat kejadian perkara. Pemeriksaan dilakukan terhadap seluruh lokasi yang terkait kasus Vina. Yakni, depan SMPN 11 Cirebon, di Jalan Perjuangan, Kota Corebon.
Pemeriksaan juga dilaksanakan ke warung Bu Nining dan dilanjutkan ke rumah salah satu terpidana yang bernama Sudirman. Pengecekan juga dilakukan ke rumah milik Pasren, yang menjabat sebagai ketua RT pada Agustus 2016.
Setelah itu, pengecekan dilakukan ke sebuah lahan kosong, yang disebutkan menjadi lokasi pembunuhan Vina dan Eky. Pengecekan selanjutnya dilakukan ke waring Madura dan jembatan atau Fly Over Talun yang menjadi lokasi ditemukannya Vina dan Eky.
Ketua Majelis Hakim, Arie Ferdian, menjelaskan, dalam pemeriksaan setempat itu teknisnya adalah satu arah pertanyaannya. "Kami yang bertanya kepada saksi, kemudian saksi yang menjawab. Tidak lebih dan tidak kurang. Begitu kira-kira," ucap Arie saat di lokasi kejadian.
Arie menyatakan, pihaknya turun ke lokasi bukanlah untuk menentukan siapa yang benar dan siapa yang salah. "Kami akan melakukan pengecekan lokasi saja seperti yang ada dalam memori permohonan pemohon. Dan juga dalam surat dakwaan dari termohon," kata Arie.
Praktisi hukum pidana, Boris Tampubolon mengatakan, proses PK dalam pidana, tak bisa dimaknai sebagai perlawanan hukum oleh subjek hukum, atas ketidakpercayaan pada hasil hukum yang sudah inkrah diputus oleh majelis hakim sebelumnya. Sejatinya, kata Boris, PK merupakan ruang untuk mengoreksi, ataupun memperbaiki putusan hakim yang sudah inkrah melalui persidangan, namun berdasarkan adanya fakta baru atas kasus yang sudah diputuskan itu.
“Dalam konteks peradilan pidana, kita mengetahui ada proses upaya hukum banding, kasasi, sampai Peninjauan Kembali (PK). Asumsi hukum di balik adanya proses-proses itu adalah karena memang sangat mungkin pengadilan itu bisa keliru. Makanya, ada tingkatan-tingkatan lebih tinggi untuk mengoreksinya,” kata Boris dalam siaran pers yang diterima Republika di Jakarta, Selasa (24/9/2024).
“Dan PK ini sangat penting untuk memperbaiki bila ada yang keliru. Dan ini harus didukung, untuk tujuan seluruh penegakan hukum, yaitu keadilan, dan kebenaran serta perbaikan hukum di negara ini,” sambung Boris.
Terkait dengan PK kasus Vina-Eky yang sampai saat ini terus berproses, kata Boris, ada alasan-alasan kuat yang menjadi acuan bagi hakim untuk mengabulkan PK para terpidana. Menurut Boris, yang utama alasan adanya keadaan, atau fakta baru, atau novum. Boris menerangkan, pengaturan soal PK ada dalam Pasal 263 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
“Yaitu adanya keadaan baru, atau fakta baru atau yang disebut novier perventa, adanya putusan bertentangan, adanya kekhilafan atau kekeliruan,” terang Boris.
Mengacu pada penjelasan dalam pasal tersebut, kata Boris pengertian novum yang selama ini dicerna oleh publik sebagai bukti baru, merupakan pengertian yang keliru. Sebab kata dia, novum yang disebut sebagai dasar pengajukan PK, adalah adanya keadaan baru, atau fakta baru, adanya putusan bertentangan, adanya kekhilafan atau kekeliruan.
“Orang suka keliru mengartikan novum. Novum selama ini suka diartikan sebagai bukti baru. Padahal novum, bukan bukti baru. Tetapi keadaan yang baru seperti terdapat dalam pasal 263 KUHAP,” terang Boris.
Boris mencontohkan, jika dalam satu kasus yang telah lama mengungkapkan adanya tentang fakta A. Namun dalam kurun waktu tertentu, muncul fakta baru B yang masih terkait dengan kasus sama.
“Maka itulah yang disebut keadaan baru, atau fakta baru. Itulah novum yang harus dipertimbangkan oleh majelis hakim PK Mahkamah Agung,” ujar Boris.
Kedua alasan adanya kekhilafan, atau kekeliruan hakim. Menurut Boris, terkait hal tersebut menyangkut soal empat hal. “Yaitu, fakta, hukumnya atau pasal-pasal yang dituduhkan, mens rea atau niat jahat, dan terakhir prosedur hukum acara,” kata Boris.
Soal prosedur hukum acara tersebut, juga mengikuti dari segi pembuktian, cara memperoleh alat-alat bukti, dan pelanggaran hukum acara, serta yang lainnya. Menurut Boris, misalkan kekeliruan dari segi pelanggaran hukum acara.
Dalam KUHAP, kata Boris keterangan saksi sebagai alat bukti adalah keterangan yang diberikan di depan persidangan, dan di bawah sumpah. Dan dalam persidangan kasus pembunuhan Vina-Eky terungkap adanya saksi yang tak dihadirkan ke persidangan.
“Tetapi keterangannya cuma diambil dari BAP (Berita Acara Pemeriksaan),” kata Boris.
Menurut dia, temuan baru tersebut, semestinya menjadi fakta baru bagi majelis hakim PK untuk menyatakan bukti-bukti dari keterangan saksi yang tak dihadirkan di persidangan di bawah sumpah tersebut, merupakan bukti yang tak memiliki nilai pembuktian.
“Sehingga kalau ada orang dipersalahkan dengan dasar keterangan yang hanya dari BAP, dan bukan berdasarkan keterangan di bawah sumpah di persidangam maka itu tidak bisa dijadikan bukti. Dan bila itu terjadi, maka itu merupakan kekeliruan yang nyata,” ujar Boris.
Dalam hal lainnya, kata Boris, juga terungkap soal keterangan saksi-saksi dalam kasus pembunuhan Vina-Eky yang memberikan kesaksiannya atas dasar tekanan. Dalam KUHAP, kata Boris, saksi-saksi dalam memberikan keterangan harus didasari dengan kondisi yang bebas.
“Tetapi faktanya (dalam kasus pembunuhan Vina-Eky) keterangan itu, tidak diberikan secara bebas. Tetapi, diarahkan bahkan ada yang ditekan, diancam, atau bahkan disiksa. Maka itu tidak sah,” kata Boris.
Keterangan saksi yang berada dalam tekanan, apalagi ancaman, ataupun dalam pengarahan eksternal, tak bisa menjadi dasar dalam memutuskan orang yang bersalah. “Artinya, bila keterangan yang diberikan oleh saksi tidak disampaikan secara bebas, tetapi dijadikan dasar dalam pengambilan keputusan hakim, maka itu juga merupakan kekeliruan yang nyata,” kata Boris.