Restrukturisasi Jadi Solusi Penyelamatan Sritex Menurut Pengamat, Bailout Perlu Dihindari
Putusan pengadilan yang belum inkrah bisa jadi celah restrukturisasi Sritex.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Restrukturisasi dinilai bisa menjadi solusi untuk menyelamatkan PT Sri Rejeki Isman atau PT Sritex usai dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Semarang. Pengamat hukum dan pembangunan Hardjuno Wiwoho berpendapat, restrukturisasi dinilai memungkinkan di tengah putusan Pengadilan Niaga yang belum berkekuatan hukum tetap.
“Keputusan pailit dari Pengadilan Niaga masih terbuka untuk kasasi dan peninjauan kembali, sehingga status hukumnya belum final dan memungkinkan adanya opsi restrukturisasi yang lebih baik,” kata Hardjuno di Jakarta, Rabu (30/10/2024).
Di dalam proses restrukturisasi, menurut Hardjuno, kata kuncinya adalah bagaimana menjaga keberlanjutan usaha Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) nasional secara menyeluruh, bukan hanya Sritex. Sebab, banyak pabrik tekstil lain juga mengalami tekanan serupa akibat utang besar dan persaingan ketat, terutama dari impor produk tekstil murah dari China.
“Kasus Sritex memang menjadi contoh besar, tetapi pabrik-pabrik skala kecil hingga menengah pun kini menghadapi ancaman serupa,” ujar Hardjuno.
Namun, solusi yang diambil perlu menghindari dana talangan (bailout) langsung dari negara, karena proses pertanggungjawaban dana publik dalam bailout akan menjadi sangat rumit. Menurutnya, solusi yang lebih efektif dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum adalah dengan mendukung penerbitan obligasi atau saham baru.
“Ini tidak hanya dapat memberikan modal tambahan bagi Sritex untuk membayar utang, tetapi juga mengurangi beban langsung negara,” jelas Hardjuno.
Ia juga menyebut pemerintah perlu memperkuat industri tekstil nasional agar mampu bersaing di tengah tekanan impor. Langkah ini bisa mencakup kebijakan perdagangan yang lebih ketat dan dukungan pada industri dalam negeri melalui insentif atau perlindungan tarif bagi produk lokal.
Terkait piutang pada bank BUMN, pendekatan utama yang perlu dipertimbangkan adalah restrukturisasi utang secara transparan dan efektif. Saat ini, utang yang cukup besar dari Sritex ke sejumlah bank BUMN, seperti BNI senilai 23,8 juta dolar AS dan bank pembangunan daerah, mencerminkan risiko signifikan terhadap stabilitas aset bank tersebut.
“Maka, penting bagi pemerintah dan pihak bank untuk melakukan pendekatan yang hati-hati agar dana publik yang digunakan bank-bank BUMN ini tidak hilang,” kata Hardjuno.
Solusi yang dapat dilakukan adalah penjadwalan ulang pembayaran atau restrukturisasi persyaratan kredit untuk mengurangi tekanan langsung pada arus kas Sritex. Namun di sisi lain, jika restrukturisasi menyulitkan, penjualan aset non-inti Sritex bisa menjadi pilihan untuk melunasi sebagian kewajiban kepada kreditur, termasuk bank BUMN.
Sementara itu, pemerintah juga bisa sambil memperkuat dasar hukum restrukturisasi utang yang dibutuhkan. Misalnya, pemerintah dapat memberikan jaminan bahwa bank tidak merugi dalam jangka panjang dan menstabilkan sektor tekstil agar tidak terjadi pengurangan drastis pada jumlah pemain industri lokal.
“Dengan pendekatan seperti ini, bank-bank BUMN dapat mengurangi risiko kerugian piutang secara bertahap, sembari tetap mendukung pemulihan ekonomi dalam sektor TPT yang penting bagi perekonomian nasional,” tutur dia.
Presiden Prabowo Subianto telah meminta jajaran kementeriannya untuk berupaya agar tidak ada pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap karyawan Sritex dan agar perusahaan tekstil itu tetap beroperasi. Hal itu disampaikan Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Yassierli usai Presiden Prabowo mengadakan rapat terbatas bersama para menteri, antara lain Menko bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dan Menteri Keuangan Sri Mulyani, kemarin.
Presiden Prabowo, kata Menaker, menyatakan bahwa pemerintah tidak akan membiarkan PHK terjadi terhadap karyawan Sritex. Pemerintah meyakini bahwa PHK tidak akan terjadi karena opsi untuk mengajukan kasasi terhadap putusan PN Niaga Semarang akan ditempuh.
"Pemerintah memang sangat concern bahwa PHK itu tidak boleh terjadi. Itu yang poin nomor satu. Jadi kita juga meminta bahwa Sritex harus tetap berproduksi seperti biasa," kata Yassierli saat memberikan keterangan pers, di Istana Kepresidenan Jakarta, Selasa (29/10/2024).
Presiden Prabowo, kata Menaker, menyatakan bahwa pemerintah tidak akan membiarkan PHK terjadi terhadap karyawan Sritex. Pemerintah meyakini bahwa PHK tidak akan terjadi, karena opsi untuk mengajukan kasasi terhadap putusan PN Niaga Semarang akan ditempuh.
"Ini kan belum (pailit) ya, artinya akan ada proses kasasi, dan kemudian kami melihat itu tidak akan terjadi rasanya," kata Menaker.
Menaker mencatat bahwa sejauh ini tidak ada laporan terjadi PHK terhadap karyawan Sritex. Ia mengatakan bahwa pihaknya sudah melakukan monitoring, terutama di daerah Jawa Tengah.
Yassierli merinci sebanyak 162 pengawas ketenagakerjaan di Jawa Tengah terus melakukan komunikasi dan koordinasi dengan manajemen Sritex agar hak-hak para pegawai tetap terpenuhi.
Oleh karena itu, pemerintah juga meminta kepada karyawan Sritex untuk tetap tenang, karena sejumlah strategi penyelamatan perusahaan telah disiapkan, termasuk langkah hukum dan aksi korporasi.
"Saya concern pada hak-hak pekerja, bekerja tenang bahagia dan semua hak mereka terpenuhi jadi tidak boleh sampai isu ini mengganggu mereka bekerja," kata Menaker.
Direktur Utama PT Sri Rejeki Isman (Sritex) Tbk Iwan Kurniawan Lukminto menyebutkan pemutusan hubungan kerja (PHK) haram dalam usaha Sritex. "PHK itu adalah kata-kata yang sangat tabu, haram di dalam pelaksanaan usaha kami. Maka dari itu kami ingin meyakinkan juga kepada seluruh karyawan/karyawati bahwa usaha Sritex saat ini tetap normal," kata Iwan Kurniawan Lukminto di Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah, Senin (28/10/2024).
Iwan mengatakan, mengenai keputusan pailit tersebut saat ini pihaknya tengah berupaya menangani masalah ini dengan serius. "Dalam arti kami mengupayakan sekuat tenaga untuk naik banding di Mahkamah Agung supaya Mahkamah Agung memberikan satu keputusan untuk mencabut atau membatalkan keputusan Pengadilan Negeri Semarang tanggal 21 Oktober lalu," katanya.
Selain itu, pihaknya juga masih menjalankan konsolidasi secara internal dan eksternal sambil menanti putusan Mahkamah Agung. "Di dalam proses menunggu keputusan Mahkamah Agung ini, kami akan dihadapkan oleh kendala-kendala teknis yang akan terus kami antisipasi untuk menormalisasi kegiatan usaha Sritex," katanya.
Sementara itu, ia menjelaskan keputusan pailit dimulai pada 2022 saat Sritex memasuki fase PKPU atau disebut juga dengan penundaan pembayaran utang.
"Di situ kami melalui proses yang cukup panjang, utang-utang yang perusahaan kami punya ini mempunyai satu kesepakatan yaitu perjanjian homologasi atau perjanjian pembayaran utang. Istilahnya kalau yang utang misalnya 5 tahun, lalu diperpanjang menjadi 7 tahun, yang utangnya 6 tahun diperpanjang menjadi 9 tahun. Jadi bayarnya diberikan kesempatan waktu," katanya.
Iwan mengatakan awalnya perjanjian perdamaian tersebut disahkan oleh Pengadilan Negeri (PN) Niaga Semarang. "Semua juga sudah sesuai dengan aturan, sesuai dengan kewajiban kami untuk membayar sesuai dengan perjanjian ini. Namun salah satu dari pihak yang kurang tanggung jawab, mereka melayangkan tuntutan kepada kami untuk membatalkan perjanjian homologasi ini, perjanjian perdamaian ini," katanya.
Wan mengaku kurang mengetahui alasan PN Niaga Semarang pada akhirnya mengabulkan tuntutan tersebut, sehingga surat perdamaian homologasi yang ditandatangani tahun 2022 itu batal. Ia mengatakan sejauh ini kewajiban perusahaan terhadap karyawan tidak mengalami keterlambatan.
Meski demikian, ia tidak memungkiri adanya efisiensi yang dilakukan oleh perusahaan. "Namun putusan efisiensi semuanya berdasarkan keputusan bisnis. Di mana semua itu diputuskan karena kami memang tidak bisa atau market masih belum ada pembelinya. Makanya dilaksanakan efisiensi, bukan karena kebangkrutan kami," katanya.