Aksi Menjijikkan Tentara Israel Pakai Baju Dalam Wanita Gaza dan Lebanon, Apa Maksudnya?
Tentara Israel melakukan perang psikis dengan memaki baju dalam
REPUBLIKA.CO.ID, DOHA -- Media sosial dipenuhi dengan gambar-gambar tentara Israel yang mendokumentasikan pelanggaran-pelanggaran yang mereka lakukan, baik di Gaza maupun di Lebanon selatan.
Jika di masa lalu, gambar-gambar kejahatan tentara muncul dalam bentuk bocoran, seperti dalam kasus penjara Abu Ghraib di Irak, perang Israel bersifat terbuka dengan segala detailnya. Mereka melakukan tindakan mereka, mendokumentasikannya, dan kemudian membanggakannya.
Mungkin hal yang paling aneh yang dilakukan oleh para tentara IDF adalah kebanggaan mereka mengenakan pakaian wanita di Gaza dan Lebanon.
Foto-foto dan video menunjukkan tentara Israel dengan bangga memasuki rumah-rumah keluarga Palestina atau Lebanon setelah membunuh atau mengungsikan keluarga mereka, di mana para tentara menggeledah lemari dan mengenakan pakaian para ibu rumah tangga, dan kadang-kadang bahkan pakaian anak-anak.
Pertanyaan yang paling penting: Mengapa tentara melakukan hal ini? Apakah ini merupakan fenomena individual?
Atau apakah ini merupakan bagian dari struktur doktrin tentara yang mengklaim dirinya sebagai yang paling bermoral di dunia? Apa yang dikatakan oleh hukum internasional dan hukum humaniter mengenai praktik-praktik semacam itu?
Menganalisis gambar-gambar ini di rumah-rumah yang telah dibobol selama konflik bersenjata mengungkapkan dimensi psikologis dan sosial yang kompleks, yang menunjukkan pendekatan agresif yang melibatkan ejekan dan penghinaan.
Perilaku ini memiliki konotasi yang dalam terkait dengan konsep kekuasaan dan kontrol, karena tentara pendudukan bertujuan untuk mempermalukan masyarakat yang mengungsi dan diduduki serta merampas simbol-simbol budaya dan martabat mereka, dalam mekanisme psikologis yang bertujuan untuk menghancurkan moral para korban.
Apa yang dikatakan foto-foto tersebut?
Menganalisis foto-foto ini dari perspektif psikologis dan sosial mengungkapkan beberapa dimensi yang berkaitan dengan perilaku tentara Israel dalam situasi pendudukan dan agresi, serta dampak kekuasaan dan konflik terhadap perilaku manusia. Pandangan yang lebih dalam terhadap konotasi gambar-gambar ini mengungkapkan beberapa hal:
Pertama, ekspresi kekuasaan dan kontrol. Mengenakan pakaian wanita di rumah-rumah yang digerebek bisa jadi merupakan ekspresi kekuasaan dan kontrol yang ironis, yang dimaksudkan untuk mengirimkan pesan kepada para pengungsi bahwa mereka telah menjadi objek cemoohan, dan bahwa privasi serta harta benda mereka telah dirampas tanpa rasa hormat.
Perilaku ini mencerminkan semacam arogansi budaya dan upaya untuk merendahkan martabat pemilik asli tempat tersebut.
BACA JUGA: 9 Berita Gembira untuk Mereka yang Rajin Sholat Subuh Berjamaah
Kedua, penghinaan dan dehumanisasi korban. Dalam konflik semacam itu, beberapa tentara mungkin menggunakan perilaku yang bertujuan untuk mempermalukan dan merendahkan korban, sebagai bagian dari perang psikologis.
Memakaikan pakaian perempuan kepada korban adalah upaya untuk menunjukkan superioritas militer dengan mempermalukan aspek moral dan budaya korban, sehingga orang yang mengungsi merasa bahwa pakaian dan privasi mereka tidak lagi aman.
Ketiga, menghilangkan stres. Tentara yang terlibat dalam konflik sering menggunakan perilaku yang tidak biasa sebagai cara untuk melepaskan stres akibat perang dan tekanan psikologis yang terkait dengannya.
Sarkasme dan humor dapat digunakan sebagai mekanisme pertahanan psikologis untuk meringankan perasaan takut atau bersalah.
Keempat, memotret untuk dampak media: Mengambil dan menyebarkan foto-foto semacam itu memiliki dampak media yang disengaja, karena tentara, atau mereka yang mempublikasikannya, berusaha untuk memperkuat citra kekuasaan dan ketidakpedulian terhadap masyarakat yang ditaklukkan kepada audiens mereka, yang dapat digunakan untuk menciptakan rasa superioritas dan ketidakpedulian terhadap penderitaan manusia yang dialami para korban.
Kelima, penggunaan simbolisme budaya. Dalam budaya Arab, pakaian wanita melambangkan kehormatan dan kesucian, dan di sini pakaian tersebut digunakan sebagai alat ejekan, yang mencerminkan upaya untuk memanipulasi dan mengeksploitasi simbol-simbol budaya untuk merendahkan.
Secara keseluruhan, perilaku ini menunjukkan degradasi para korban, mengungkapkan bagaimana konflik bersenjata dapat mengarah pada normalisasi perilaku yang merendahkan dan tidak manusiawi oleh tentara pendudukan, dan tidak diragukan lagi mengungkapkan kecenderungan sadis tanpa empati manusia.
Apakah ada praktik serupa atau serupa di belahan dunia lain?
Melihat gambar-gambar tentara Israel selama agresi di Gaza dan Lebanon yang melakukan praktik-praktik yang tidak manusiawi ini mengingatkan kita pada gambar-gambar dan praktik-praktik serupa yang mengejek atau mempermalukan penduduk setempat dan tidak menghormati simbol-simbol budaya mereka yang telah muncul di beberapa wilayah konflik di seluruh dunia dan dianggap sebagai bagian dari perang psikologis yang bertujuan untuk meruntuhkan moral masyarakat yang diduduki atau menjadi target. Berikut adalah beberapa contohnya:
1. Perang Irak (2003-2011). Selama invasi Amerika Serikat ke Irak, muncul gambar-gambar tentara Amerika Serikat di penjara Abu Ghraib yang menyiksa dan mempermalukan para tahanan Irak dengan cara-cara yang memalukan, termasuk memaksa mereka berpose memalukan atau mengejek mereka
Gambar-gambar ini merupakan bagian dari proses penghinaan dan penyiksaan psikologis yang bertujuan untuk menghancurkan moral para tahanan dan masyarakat Irak pada umumnya, dan gambar-gambar ini memicu kecaman internasional yang meluas
2. Perang Bosnia (1992-1995). Selama perang Bosnia, Muslim Bosnia menjadi sasaran kejahatan genosida oleh pasukan Serbia, di mana desa-desa diserbu dan penduduknya diteror, perempuan diserang secara sistematis, dan simbol-simbol budaya digunakan sebagai alat penghinaan
BACA JUGA: Ini Dia Kesamaan Antara ISIS dan IDF Israel di Timur Tengah Menurut Pakar
Tindakan-tindakan ini bertujuan untuk mempermalukan dan menimbulkan penghinaan psikologis, karena ritual-ritual, adat istiadat, dan simbol-simbol keagamaan Muslim menjadi sasaran sebagai bagian dari proses pembersihan etnis.
3. Tentara pendudukan Israel. Dalam beberapa kasus yang terdokumentasi, tentara Israel merusak rumah-rumah warga Palestina, menulis pesan-pesan yang menghina di tembok-tembok atau merusak simbol-simbol agama dan budaya masyarakat Palestina.
Tindakan-tindakan ini biasanya melibatkan perilaku yang menantang kesucian rumah-rumah dan properti pribadi warga Palestina dan bertujuan untuk mematahkan semangat mereka dan menunjukkan dominasi tentara.
4. Afrika Selatan (Apartheid). Selama rezim apartheid, metode penghinaan psikologis yang serupa digunakan, dengan tentara atau polisi berurusan dengan penduduk kulit hitam dengan cara-cara demonstratif yang bertujuan untuk mempermalukan mereka dan merenggut martabat mereka, termasuk menghancurkan rumah mereka atau memasukinya tanpa izin. Tujuannya adalah untuk menanamkan rasa tidak berdaya dan rendah diri pada penduduk kulit hitam.
5. Perang Aljazair (1954-1962). Selama pendudukan Prancis di Aljazair, banyak orang Aljazair menjadi sasaran penghinaan dan penindasan sistematis, termasuk membobol rumah mereka dan mengejek tradisi mereka.
Pasukan Prancis menghancurkan desa-desa dan menghina simbol-simbol budaya dan agama Aljazair sebagai bagian dari kebijakan tekanan psikologis dan mematahkan keinginan untuk melawan.
Dalam semua kasus ini, mengejek budaya atau simbol-simbol lokal merupakan cara untuk memperkuat kontrol psikologis dan mengabadikan rasa kekalahan pada populasi yang menjadi target, menunjukkan bagaimana konflik dapat melampaui konfrontasi militer secara langsung hingga ke tingkat kekejaman dan kekerasan psikologis.
Apakah perilaku tentara Israel ini bertentangan dengan hukum internasional dan norma-norma kemanusiaan?
Dengan meninjau bahan-bahan hukum yang relevan, perilaku tentara Israel seperti yang ditunjukkan dalam foto-foto tersebut jelas bertentangan dengan hukum internasional dan norma-norma kemanusiaan dalam beberapa hal.
Ada hukum dan standar internasional yang mengatur perilaku pasukan militer selama konflik bersenjata dan bertujuan untuk melindungi hak-hak dan martabat warga sipil:
Pertama, Konvensi-konvensi Jenewa (1949): Konvensi Jenewa, khususnya Protokol I, melindungi warga sipil dari pelanggaran apa pun terhadap martabat mereka, termasuk penghinaan, ejekan, dan perlakuan yang merendahkan martabat.
Setiap tindakan yang melibatkan penyerangan terhadap warga sipil atau properti mereka atau pelanggaran terhadap privasi mereka merupakan pelanggaran terhadap konvensi-konvensi ini. Pasal 27 Konvensi Keempat secara khusus mensyaratkan “penghormatan terhadap kehormatan dan hak-hak keluarga” dan melarang tindakan apa pun yang dianggap merendahkan warga sipil, seperti merusak properti mereka atau menyinggung simbol-simbol budaya mereka.
Hukum hak asasi manusia internasional: Hukum hak asasi manusia internasional menekankan perlindungan terhadap martabat manusia, dan tindakan apa pun yang merendahkan atau menyinggung seseorang atau masyarakat merupakan serangan terhadap martabat mereka dan pelanggaran terhadap hak-hak mereka. Perilaku yang mengolok-olok pakaian atau barang pribadi korban dianggap sebagai serangan terhadap martabat pribadi.
Kedua, norma kemanusiaan dan etika. Menargetkan dan mengejek properti pribadi, terutama pakaian simbolis perempuan atau simbol budaya, tidak etis dan bertentangan dengan norma-norma kemanusiaan yang menyerukan penghormatan terhadap martabat manusia, bahkan dalam konteks perang.
Ketiga, Mahkamah Pidana Internasional. Dalam beberapa kasus, tindakan semacam itu dapat dianggap sebagai kejahatan perang jika merupakan bagian dari kebijakan atau perilaku sistematis untuk mempermalukan atau secara paksa memindahkan penduduk sipil. Mahkamah Pidana Internasional menganggap penghinaan dan pelecehan terhadap martabat, baik secara fisik maupun psikologis, sebagai salah satu tindakan yang dapat dianggap sebagai kejahatan perang di bawah Pasal 8 Statuta.
BACA JUGA: Presiden Ramaphosa: Afrika Selatan akan Selalu Bersama Palestina
Keempat, Komite Palang Merah Internasional (ICRC). ICRC mendefinisikan praktik-praktik semacam itu sebagai pelanggaran etika militer, yang mewajibkan anggota angkatan bersenjata untuk menghormati martabat penduduk sipil dan tidak terlibat dalam perilaku yang merendahkan martabat atau tidak berperikemanusiaan.
Singkatnya, tindakan tentara Israel yang mengolok-olok pakaian dan properti pribadi warga sipil Palestina dan Lebanon bertentangan dengan hukum internasional dan norma-norma kemanusiaan dan dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap martabat manusia dan hak-hak warga sipil dalam konteks konflik bersenjata.
Sumber: Aljazeera