Uang Muka Saat Jual Beli, Benarkah Diharamkan dalam Islam?
Al-urbuun adalah uang muka yang diberikan pada awal transaksi.
REPUBLIKA.CO.ID, Dalam kajian fiqih Islam, uang muka atau yang dikenal dengan istilah al-urbuun (العربون) memiliki definisi khusus dan hukum yang bervariasi tergantung pada pandangan ulama.
Muhammad Aqil Haidar dalam Uang Muka dalam Pandangan Syariat menjelaskan, Al-urbuun juga disebut dengan beberapa variasi sebutan, seperti al-‘arabun (العربون) dan al-urban (العربان). Kamus Al-Muhith mendefinisikan al-urbuun sebagai apa yang menjadi transaksi dalam jual beli.
Dalam konteks fiqih merujuk pada sejumlah uang yang diberikan pembeli kepada penjual sebagai tanda jadi atau komitmen dalam sebuah transaksi jual beli atau sewa. Uang muka ini bisa menjadi bagian dari pembayaran harga barang atau bisa juga hangus jika transaksi batal.
Para ulama memiliki pengertian serupa mengenai al-urbuun, namun menyampaikannya dengan redaksi yang berbeda. Beberapa ulama terkemuka memiliki pandangan sebagai berikut:
1. Imam Malik: Menjelaskan bahwa al-urbuun adalah praktik ketika seseorang yang hendak membeli barang seperti budak atau hewan kendaraan memberikan uang muka sebagai tanda jadi. Jika transaksi berlanjut, uang tersebut dihitung sebagai bagian dari harga. Namun, jika transaksi dibatalkan, maka uang tersebut menjadi hak penjual tanpa adanya penggantian.
2. Ibnu Qudamah (Mazhab Hambali): Beliau menyebutkan bahwa dalam al-urbuun, pembeli memberikan sejumlah uang kepada penjual dengan kesepakatan bahwa uang itu akan dihitung sebagai pembayaran jika transaksi berlanjut, namun jika tidak, uang tersebut tetap menjadi hak penjual.
3. Imam Nawawi (Mazhab Syafi’i): Dalam Raudhah at-Thalibin, Imam Nawawi menyebutkan bahwa praktik jual beli urbun adalah haram karena dianggap menguntungkan penjual tanpa memberi hak bagi pembeli. Menurutnya, jika transaksi batal, uang muka tersebut menjadi milik penjual tanpa kompensasi, yang dianggap tidak sah dalam pandangan syariat Islam.
4. Ibn Majah: Dalam kitabnya, Ibn Majah memberi contoh bahwa jika seseorang membeli hewan seharga 100 dinar, pembeli bisa memberikan uang panjar sebesar 2 dinar. Kesepakatannya, jika transaksi batal, maka uang muka ini menjadi hak penjual.
Dari penjelasan para ulama di atas, dapat disimpulkan bahwa al-urbuun adalah sejumlah uang muka yang diberikan pada awal transaksi. Jika jual beli berlanjut, uang muka ini akan dianggap sebagai bagian dari harga.
Namun, jika transaksi batal, maka uang tersebut menjadi hak penjual. Para ulama sepakat bahwa sistem ini sah jika terdapat kesepakatan awal yang adil dan tidak mengandung unsur yang merugikan.
Ulama berbeda pandangan mengenai hukum jual beli dengan uang muka, khususnya dalam situasi ketika uang muka menjadi hak penjual jika transaksi dibatalkan. Beberapa ulama menganggapnya sebagai praktik yang diharamkan, sementara ulama lainnya membolehkannya. Berikut pandangan masing-masing:
1. Pendapat yang mengharamkan
Mazhab Hanafi, Maliki, dan Syafi’i termasuk dalam kelompok ulama yang mengharamkan jual beli dengan uang muka. Mereka beralasan bahwa jika transaksi batal dan uang muka tidak dikembalikan, maka penjual mendapatkan keuntungan tanpa memberikan kompensasi. Hal ini dianggap sebagai praktik memakan harta dengan cara batil, yang dilarang dalam Islam.
a. Mazhab Hanafi: Menganggap jual beli dengan uang muka sebagai jual beli fasid (tidak sah), karena mengandung unsur yang tidak adil bagi pembeli jika transaksi batal.
b. Mazhab Maliki: Dalam kitab karya Imam Qorofi disebutkan bahwa praktik al-urbuun dilarang karena berisiko merugikan pembeli. Jika transaksi batal, uang yang telah diberikan akan menjadi milik penjual.
c. Mazhab Syafi’i: Dalam pandangan Imam Nawawi, jual beli urbun tidak sah karena mengandung unsur yang merugikan satu pihak tanpa sebab yang jelas.
Dasar dari pendapat yang mengharamkan ini juga merujuk pada hadist dari Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Amr bin Syuaib. Dalam hadist tersebut, Rasulullah SAW melarang jual beli dengan sistem uang muka. Alasan lain yang digunakan adalah larangan memakan harta dengan cara batil. Selain itu, dalam beberapa pandangan disebutkan bahwa sistem uang muka ini mengandung dua syarat yang tidak sah: pemberian uang muka tanpa kompensasi jika transaksi batal dan kewajiban mengembalikan barang tanpa perjanjian yang jelas.
2. Pendapat yang membolehkan
Mazhab Hambali membolehkan praktik al-urbuun dalam jual beli, asalkan ada kesepakatan yang adil antara kedua belah pihak. Imam Ahmad, salah satu tokoh utama dalam mazhab ini, menyebutkan bahwa sistem al-urbuun diperbolehkan dan pernah dipraktikkan oleh sahabat Umar bin Khattab. Beberapa ulama lain seperti Ibn Sirin dan Said bin Musayyib juga mendukung pendapat ini.
Dalil yang digunakan oleh ulama yang membolehkan jual beli uang muka adalah riwayat yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad SAW pernah ditanya tentang praktik ini dan menghalalkannya.
Selain itu, ada riwayat dari Nafi bin Al-Harits, di mana ia membeli sebuah bangunan penjara untuk Umar bin Khattab dengan kesepakatan uang muka. Pandangan yang membolehkan ini juga menilai bahwa hadist larangan yang digunakan oleh ulama yang mengharamkan memiliki kelemahan.
Ulama yang membolehkan jual beli al-urbuun berpendapat bahwa praktik ini sah selama ada kerelaan dari kedua belah pihak. Mereka menekankan bahwa selama tidak ada unsur paksaan atau ketidakadilan, maka jual beli dengan uang muka dapat diperbolehkan. Ibn Hajar al-Asqolani bahkan menyebutkan bahwa hadist larangan tersebut lemah karena terdapat rawi yang tidak jelas.
Perbedaan pendapat tentang hukum uang muka atau al-urbuun dalam jual beli menunjukkan adanya keragaman pandangan dalam fiqih Islam. Bagi sebagian besar ulama, uang muka dianggap sebagai praktik yang tidak sah karena berpotensi menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak. Namun, mazhab Hambali dan sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa jual beli dengan uang muka dibolehkan jika dilakukan atas dasar kerelaan dan kesepakatan yang adil.