Menimbang Untung-Rugi Indonesia Gabung BRICS dari Sudut Ekonomi Hijau

Pernyataan Indonesia bergabung BRICS, membuka peluang wujudkan ekonomi hijau

retizen /Masyita Crystallin
.
Rep: Masyita Crystallin Red: Retizen

Di Kazan, Rusia, pada Oktober 2024, Indonesia menyatakan keinginannya bergabung dengan BRICS+. Sebuah aliansi ekonomi berbagai negara berkembang yang didirikan oleh Brasil, Rusia, India, China, lalu Afrika Selatan.


Image by alexextrememail from freepik.com" />

BRICS lahir dari kehendak untuk mengukir ulang peta kekuatan dunia. Ia ingin menjadi penyeimbang blok Barat yang telah lama mendominasi arsitektur keuangan dan perekonomian global lewat institusi seperti Bank Dunia (the World Bank) dan Dana Moneter Internasional (IMF).

Dalam perkembangannya, BRICS tumbuh lebih luas dengan menggandeng negara-negara berkembang lainnya dalam format BRICS+. Forum ini semakin menarik untuk menumbuhkan solidaritas “Kerja Sama Antar-Negara Selatan” atau “South-South Cooperation”—sebuah gema sejarah lama, dimana negara-negara ini bercita-cita hidup di atas kakinya sendiri.

Di sinilah memori akan Konferensi Asia-Afrika 1955 di Bandung kembali terpanggil. Kala itu, pemimpin-pemimpin dari berbagai negara baru Asia dan Afrika bertemu dan meletakkan fondasi bagi kerja sama yang mencoba melepaskan diri dari jeratan kolonialisme.

Semangat dan visi besar ini kini kembali menggaung dalam BRICS+. Inilah yang membuka kesempatan Indonesia untuk memperjuangkan cita-cita lama tersebut sebagai penerapan Politik Bebas Aktif untuk menciptakan dunia yang lebih seimbang dan berkeadilan.

Keuntungan Ekonomi Hijau Indonesia di BRICS+

Bergabung dengan BRICS+ akan membuka peluang bagi Indonesia menjadi lebih mudah dalam mengakses berbagai peluang kerja sama dengan negara-negara anggota. Termasuk dalam hal inisiatif-inisiatif keberlanjutan. Di bawah BRICS+ terdapat New Development Bank (NDB), lembaga yang menawarkan pembiayaan bagi proyek-proyek pembangunan berkelanjutan, sebagaimana fungsi World Bank. Ada juga Bank Investasi Infrastruktur Asia (AIIB) yang dapat memberi pembiayaan bagi proyek-proyek infrastruktur berkelanjutan. Bagi Indonesia, yang tengah bergegas mengejar ekonomi hijau, hal ini tentu menggiurkan. Di tengah dominasi lembaga keuangan Barat yang kadang menuntut lebih, kehadiran NDB dan AIIB dapat memberikan sumber pendanaan alternatif yang lebih fleksibel. Harapan untuk mempercepat transisi energi dan menurunkan emisi karbon jadi kian dekat.

Dorongan hijau ini semakin penting mengingat Indonesia sedang bergerak meninggalkan ketergantungan pada batu bara dan energi fosil lainnya. Selain pembiayaan, BRICS+ juga membuka peluang bagi transfer teknologi hijau dari anggota-anggota seperti China yang unggul dalam teknologi energi baru terbarukan (EBT) seperti energi surya dan angin. Negara Tirai Bambu itu sudah memiliki bauran antara bahan bakar fosil dengan EBT lebih dari 50 persen dari kapasitas produksi energinya. Kapasitas produksi EBT China telah mencapai 1.45 Terrawatt. Selain itu, China juga terdepan dalam ekosistem dan rantai pasok kendaraan listrik.

Indonesia juga bisa belajar ekosistem biofuel dari anggota BRICS+ yang lain, yaitu Brazil. Dengan belajar dari keberhasilan Brazil, Indonesia bisa turut mengembangkan teknologi biofuel berbasis minyak sawit. Namun, langkah ini harus ditempuh dengan hati-hati. Ada risiko yang mengintai ketika bahan pangan dialihkan untuk energi karena berpotensi mengurangi pasokan makanan dan mengancam kedaulatan pangan. Keseimbangan mesti ditemukan. Indonesia harus meningkatkan teknologi biofuel untuk kebutuhan transisi energinya, tanpa mengorbankan ketahanan pangan.

Tantangan Bergabung dengan BRICS+

Terlepas dari berbagai peluang yang ditawarkan, bergabungnya Indonesia ke BRICS+ bukan tanpa tantangan. Forum ini masih sangat bergantung pada bahan bakar fosil. Batu bara dan minyak serta gas (migas) tetap menjadi primadona utama. Bergabung dengan BRICS+ menempatkan Indonesia dalam dilema. Di satu sisi, dorongan ekspor bahan bakar fosil ini tentu sangat menggiurkan dalam jangka pendek. Namun di sisi lain, hal ini bisa bertentangan dengan ambisi hijau yang coba dicapai. Lagi-lagi mencari keseimbangan atas keduanya menjadi penting.

Benar bahwa aliansi ini mendorong agenda hijau. Hanya saja ada kecenderungan standar keberlanjutan BRICS+ relatif lebih longgar dibandingkan yang dimiliki negara-negara Barat. Jika bergabung dengan BRICS+, Indonesia perlu tetap menjaga standar hijau yang tinggi agar reputasinya dalam upaya iklim tetap terjaga. Jika tidak, bisa jadi hal ini justru dapat kontraproduktif bagi kepentingan nasional dalam melaksanakan komitmen hijaunya.

Memperkuat Kepemimpinan Indonesia di Ekonomi Hijau melalui BRICS+

Image by totcmi02 from freepik.com" />

BRICS+ adalah peluang untuk Indonesia memperkuat posisinya di dunia internasional. Keikutsertaan ini menjadi jembatan penghubung dengan berbagai negara besar yang sama-sama sedang berkembang dan menjadi negara maju. Dengan manfaat finansial, teknologi, dan perdagangan yang ditawarkan, forum ini dapat menjadi landasan bagi strategi ekonomi Indonesia dan selaras dengan tujuan ekonomi hijau. Indonesia perlu menentukan sikap tegas dalam memastikan bahwa keanggotaan BRICS+ mampu membawa kebaikan jangka panjang bagi kepentingan nasional, namun tetap berpegang pada Politik Bebas dan Aktif.

Kesempatan untuk membiayai pembangunan dan ekonomi hijau Indonesia melalui NDB dan AIIB ini adalah alternatif dari institusi-institusi Breeton Woods, seperti Bank Dunia dan IMF. Bagi negara-negara BRICS+, institusi-institusi tersebut didominasi oleh negara-negara kuat pasca-Perang Dunia (PD) II, seperti Amerika Serikat (AS), Uni Eropa dan Jepang. Diversifikasi pengambilan keputusan di NDB dan AIIB ke negara-negara berkembang menunjukkan multipolarisme kepemimpinan global yang tidak hanya berpusat di negara-negara kuat pasca-PD II. Hal ini amat baik bagi Indonesia karena berada di BRICS+ dan G-20 menunjukkan bahwa Indonesia benar-benar melaksanakan Politik Bebas Aktif. Negara besar ini dapat berteman dan merangkul semua pihak dalam tatanan kepemimpinan dunia.

Menggaungkan kembali semangat Politik Bebas Aktif dan Non-Blok sebagaimana spirit Konferensi Asia Afrika di Bandung 1955 adalah panggilan sejarah yang tak bisa diabaikan. Di konferensi itu, Indonesia dan negara-negara Asia-Afrika berdiri bersama, menyerukan dunia yang lebih adil dan berimbang. Bergabung dengan BRICS+ adalah kesempatan untuk menghidupkan kembali idealisme tersebut untuk menunjukkan bahwa negara-negara berkembang bisa bersatu dan berdaulat dalam menentukan masa depannya.

Bergabung dengan BRICS+ juga dapat menjadi langkah besar bagi Indonesia menuju ekonomi yang lebih hijau, lebih tangguh, dan beragam. Namun, keanggotaan ini mesti disokong oleh komitmen hijau yang kuat. Dengan modal keanggotaan ini, Indonesia tidak hanya akan memperoleh keuntungan ekonomi, tetapi juga kesempatan untuk menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi bisa berjalan beriringan dengan agenda ekonomi berkelanjutan. Indonesia juga dapat memimpin dan menjadi model yang baik untuk hal ini.

sumber : https://retizen.id/posts/485497/menimbang-untung-rugi-indonesia-gabung-brics-dari-sudut-ekonomi-hijau
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke retizen@rol.republika.co.id.
Berita Terpopuler