Kejagung: Tak Perlu Bukti Aliran Uang untuk Jerat Tom Lembong, Penuhi Unsur Salahi Jabatan

Kejagung menebalkan sangkaan terhadap Tom terkait salah gunakan wewenang.

Republika/Thoudy Badai
Menteri Perdagangan tahun 2015-2016 Thomas Lembong
Rep: Bambang Noroyono Red: Teguh Firmansyah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Perbuatan yang menjerat mantan Menteri Perdagangan (Mendag) Tom Lembong sebagai tersangka korupsi impor gula di Kementerian Perdagangan (Kemendag) dikatakan tak memerlukan bukti-bukti terkait adanya penerimaan uang untuk memperkaya diri sendiri.

Baca Juga


Kejaksaan Agung (Kejakgung) menebalkan sangkaan terhadap Tom terkait dengan penyalahgunaan kewenangan, dan jabatan dalam penerbitan izin impor gula kristal mentah (GKM) untuk diolah menjadi gula kristal putih (GKP).

Penyidik Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) menjerat, Tom dengan sangkaan Pasal 2, dan Pasal 3 UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Direktur Penyidik Jampidsus Abdul Qohar mengatakan, sangkaan korupsi terhadap Tom, tak harus membuktikan adanya aliran uang yang diterimanya dari dugaan penyalahgunaan kewenangan itu.  “Untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka ini (korupsi), tidak mengharuskan seseorang itu mendapatkan aliran dana,” kata Qohar, di Kejakgung, Jakarta, Jumat (1/11/2024) lalu.

Qohar mengatakan Pasal 2 dan Pasal 3 yang menjerat Tom pun, tak mengharuskan pembuktian tentang aliran-aliran dana untuk memperkaya diri sendiri dari perbuatan korupsinya itu. “Di mana Pasal 2, setiap orang yang secara melawan hukum, memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi, yang merugikan keuangan negara. Begitu juga Pasal 3, di sana setiap orang yang menguntungkan diri sendiri, orang lain, atau korporasi dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, sarana, jabatan yang ada padanya, yang dapat merugikan keuangan negara,” kata Qohar.

“Arti di dalam pasal-pasal tersebut, tidak mengharuskan seseorang mendapatkan keuntungan. Ketika perbuatannya memenuhi unsur, salah-satunya adalah menguntungkan orang, atau korporasi, akibat perbuatan melawan hukum, akibat menyalahgunakan kewenangan yang ada padanya, karena jabatannya, dia bisa dimintai pertanggungjawaban pidana,” kata Qohar melanjutkan.

Terkait dengan perbuatan Tom yang menerbitkan izin impor gula itu, Qohar mengatakan, kebijakan tersebut dianggap menyalahgunakan kewenangan, dan jabatan yang memperkaya orang lain, atau korporasi.

“Akibat perbuatan melawan hukum akibat penyalahgunaan kewenangan dan jabatannya itu, dia (Tom) bisa dimintai pertanggungjawab pidana,” kata Qohar.

Dari penyidikan sementara, kata Qohar, bukan cuma bakal mengarah ke Tom sebagai mendag 2015-2016, tetapi, juga bakal menyasar pejabat, atau mendag setelah Tom. Itu kata Qohar, karena kebijakan impor gula yang menyalahgunakan kewenangan dan jabatan itu, juga terjadi pada periode selanjutnya, pada 2017.

“Kita fokus saat ini, memang pada periode 2015-2016 (era Menag Tom Lembong). Tetapi, kita akan menuju ke periode selanjutnya. Karena pada 2017 juga ada kebijakan penerbitan izin impor gula. Sabar saja, ini (penyidikan) baru dimulai beberapa hari,” ujar Qohar.

Dia melanjutkan, tim penyidikannya, juga akan mendalami peran perusahaan-perusahaan yang mendapatkan kuota impor gula, namun tak sesuai dengan klasifikasinya sebagai importir gula yang diharuskan oleh perundangan.

Tom Lembong, bersama inisial Charles Sitorus (CS) dijerat tersangka terkait dengan Pasal 2 ayat (1), dan Pasal 3 juncto Pasal 18 UU Tipikor 31/1999-20/2001, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH Pidana.

Penyidik menjebloskan Tom Lembong ke sel tahanan Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan (Kejari Jaksel). Sementara tersangka CS, ditahan di Rumah Tahanan (Rutan) Kejakgung, di kawasan Blok-M Jaksel. Dua tersangka itu, ditahan sementara 20 hari untuk mempercepat proses penyidikan.

Adapun terkait kasus yang menjerat Tom, dan CS pernah dijelaskan oleh Qohar. Dikatakan pada periode Mei 2015 dilakukan rapat koordinasi (rakor) antar lembaga dan kementerian perekonomian. Hasil dari rakor tersebut, menyatakan Indonesia mengalami surplus gula.

“Sehingga hasil rapat koordinasi tersebut, diputuskan pemerintah tidak perlu, atau tidak membutuhkan impor gula,” kata Qohar.

Akan tetapi keputusan rakor tersebut disimpangi. Tom, sebagai menteri perdagangan ketika itu, menerbitkan izin persetujuan impor GKM sebanyak 105 ribu ton kepada PT Angels Product (AP). Impor tersebut, dengan tujuan diolah di dalam negeri menjadi GKP untuk konsumsi.

Penerbitan izin impor untuk PT AP tersebut, dikatakan menyalahi Keputusan Menteri Perdagangan dan Perindustrian 527/2004. Bahwa mengacu aturan itu, hanya BUMN yang dibolehkan mengimpor GKM.

Selanjutnya, pada Desember 2015, disebutkan adanya rapat koordinasi bidang perekonomian yang juga turut dihadiri Tom sebagai mendag. Salah-satu hasil dari rakor, adalah bahwa pada 2016, Indonesia kekurangan GKP untuk konsumsi sebanyak 200 ribu ton. Kebutuhan 200 ribu ton GKP tersebut, untuk melakukan stabilitas harga gula di pasaran. Sekaligus untuk pemenuhan stok gula nasional.

Pada November-Desember 2015 tersangka CS, selaku direktur pengembangan bisnis PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) memerintahkan inisial P, selaku staf senior manager bahan pokok PT PPI untuk melakukan pertemuan dengan perusahaan-perusahaan gula swasta.

“Yaitu PT PDSU, PT AF, PT AP, PT MT, PT BMM, PT SUJ, PT DSI, dan PT MSI di Gedung Equity Tower SCBD,” kata Qohar.

Pertemuan P dengan pihak-pihak swasta atas perintah tersangka CS tersebut, dilakukan sebanyak empat kali. “Di dalam pertemuan tersebut membahas rencana kerja sama impor GKM menjadi GKP, antara PT PPI dan perusahaan-perusahaan gula swasta tersebut,” kata Oohar.

Pada Januari 2016, Tom menandatangani surat penugasan kepada PT PPI. Isinya agar PT PPI melakukan pemenuhan stok gula nasional. Sekaligus untuk stabilitas harga gula di pasaran. Penugasan itu melalui kerja sama PT PPPI dengan produsen gula dalam negeri, dalam memasok, dan mengolah GKM impor menjadi GKP sebanyak 300 ribu ton.

“Dari hal tersebut, PT PPI membuat perjanjian kerja sama dengan delapan perusahaan gula swasta tersebut, di tambang satu perusahaan swasta lainnya, yaitu PT KTM,” kata Qohar.

Padahal, akta Qohar, diketahui dalam pemenuhan stok gula nasional, dan untuk menjaga stabilitas harga gula di pasaran, ketentuan impor GKM untuk dikelola menjadi GKP harus dilakukan oleh BUMN. Dalam hal tersebut dikatakan semestinya dilakukan PT PPI.

“Akan tetapi, atas sepengetahuan tersangka TTL (Tom Lembong), persetujuan impor GKM yang ditandatangani untuk sembilan perusahaan swasta, seharusnya untuk pemenuhan stok dan stabilitas harga yang diimpor adalah GKP secara langsung,” kata Qohar. Selain itu, persetujuan impor yang diterbitkan oleh Tom itu, pun dilakukan tanpa ada rekomendasi dari Kementerian Perindustrian (Kemenperin).

Dari penyidikan juga diketahui, bahwa delapan perusahaan yang melakukan impor GKM untuk dikelola menjadi GKP itu adalah para swasta yang hanya memiliki izin sebagai produsen gula kristal rafinasi (GKR).

Komoditas rafinasi tersebut hanya diperuntukan untuk kebutuhan industri makanan, minuman, dan farmasi. Setelah swasta-swasta itu mengimpor GKM dan mengelolanya menjadi GKP, PT PPI melakukan aksi korporasi yang dikatakan seolah-olah membeli gula tersebut. “Padahal diketahui gula tersebut, dijual oleh perusahaan-perusahaan tersebut ke masyarakat melalui distributor dengan harga yang juga tidak sesuai ketentuan,” kata Qohar.

Bahwa harga GKP untuk konsumsi itu, dilepas ke pasar dengan harga Rp 16 ribu per Kg. Padahal harga eceran tertinggi (HET) GKP untuk konsumsi itu adalah senilai Rp 13 ribu per Kg. “Dan dari pengadaan dan penjualan GKM yang diolah menjadi GKP itu, PT PPI mendapatkan fee dari delapan perusahaan yang mengimpor dan mengolah GKM menjadi GKP tersebut, sebesar Rp 105 per Kg,” kata Qohar.

Dari hasil penghitungan sementara, kata Qohar, rangkaian kegiatan tersebut merugikan keuangan negara Rp 400 miliar.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler