Pengamat Ungkap Empat Alasan Mengapa UU Pengelolaan Zakat Rugikan LAZ
Pelaksanaan UU No 23/2011 dinilai menyebabkan terjadinya kriminalisasi terhadap LAZ.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Zakat dari Universitas Indonesia (UI), Yusuf Wibisono mengatakan pelaksanaan Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat (UUPZ) selama ini telah merugikan banyak lembaga amil zakat (LAZ) yang didirikan masyarakat.
Karena itu, dia mendukung usulan pembenahan tata kelola zakat Indonesia yang disampaikan oleh beberapa LAZ pada sidang pengujian UU Nomor 23 Tahun 2011 di Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (5/11/2024).
"Pelaksanaan UU Nomor 23/2011 selama ini, yang secara resmi berlaku sejak 2016, telah merugikan organisasi pengelola zakat (OPZ) bentukan masyarakat sipil, yaitu LAZ, setidaknya dalam empat perkara," ujar Yusuf saat dihubungi Republika, Kamis (7/11/2024).
Pertama, dia menuturkan, pelaksanaan UU No 23/2011 telah menyebabkan terjadinya diskriminasi antar sesama operator zakat nasional, di mana UU memberi keistimewaan yang luar biasa kepada OPZ bentukan pemerintah, yaitu Baznas.
Menurut dia, pendirian Baznas di tingkat pusat, provinsi dan kabupaten/kota menjadi amanat UU tanpa persyaratan apapun (Pasal 5 dan 15). Pada saat yang sama, pendirian LAZ mendapat mendapat restriksi yang sangat ketat (Pasal 18).
"Kedua, pelaksanaan UU Nomor 23/2011 juga telah menyebabkan terjadinya sentralisasi pengelolaan zakat nasional sepenuhnya di tangan pemerintah, yaitu Baznas (Pasal 5), dan mensubordinasikan serta memarginalisasikan LAZ di bawah Baznas yang statusnya sama-sama sebagai operator zakat nasional," ucap Yusuf.
Berdasarkan UU Nomor 23/2011, kata dia, eksistensi LAZ hanya sekadar membantu Baznas (Pasal 17). Sementara itu, pendiriannya mendapat restriksi yang sangat ketat dan bahkan berpotensi mematikan seperti ketentuan harus mendapat rekomendasi BAZNAS [Pasal 18 ayat (2) huruf c].
Pelaksanaan UU Nomor 23/2011 melalui peraturan pelaksanaannya, yaitu PP Nomor 14/2014, menurut Yusuf, juga telah menyebabkan terjadinya marginalisasi dan perlakuan diskriminatif terhadap LAZ yang mengakibatkan adanya pembatasan dan hambatan bagi perkembangan LAZ, antara lain hak membentuk UPZ yang hanya diberikan kepada Baznas, ketentuan pembatasan pembukaan perwakilan LAZ di tingkat provinsi dan kabupaten/kota, serta mekanisme pelaporan LAZ yang sangat berlebihan dan memberatkan.
Ketiga, lanjut dia, pelaksanaan UU Nomor 23/2011 telah menyebabkan terjadinya marginalisasi dan penyempitan akses bagi para mustahik dan penerima manfaat dana zakat untuk memperoleh manfaat dari dana zakat, akibat adanya pembatasan terhadap LAZ dan amil zakat yang boleh beroperasi.
"Pelaksanaan UU Nomor 23/2011 juga telah menyebabkan terjadinya pembatasan terhadap preferensi dan pilihan para muzaki dalam menyalurkan dana zakatnya, akibat dibatasinya LAZ dan amil zakat yang boleh beroperasi dengan persyaratan izin operasional yang tidak adil," kata Yusuf.
Keempat, lanjut dia, pelaksanaan UU No 23/2011 telah menyebabkan terjadinya kriminalisasi terhadap LAZ yang tidak berhasil mendapatkan legalitas dan amil zakat tradisional yang tidak mempunyai izin dari pejabat yang berwenang. Padahal, dia menjelaskan, selama ini lembaga-lembaga amil tersebut telah dipercaya oleh para muzaki Indonesia karena telah mengelola dana zakat dengan amanah, profesional dan akuntabel.
"Mereka selalu terancam dipidana berdasarkan Pasal 38 juncto Pasal 41 UU Nomor 23 tahun 2011," jelas dia.
Yusuf mengatakan fenomena yang paling meresahkan di rezim UU Nomor 23/2011 adalah sulitnya LAZ mendapatkan perizinan, dan karenanya menjadi ilegal secara hukum. Di era UU Nomor 23/2011, pendirian dan perizinan LAZ sangat restriktif, bertolak belakang dengan pendirian Baznas yang sama sekali tidak memiliki persyaratan dan perizinan, bahkan pendiriannya diwajibkan oleh UU Nomor 23/2011, yaitu Baznas harus berdiri di tingkat pusat, provinsi dan kabupaten-kota.
Di era UU Nomor 23/2011, menurut Yusuf, syarat perizinan LAZ menjadi tidak proporsional dan sangat membatasi kebebasan masyarakat dalam menjalankan ibadah, yaitu menunaikan zakat kepada lembaga yang mereka percayai. Syarat utama perizinan LAZ di era UU No. 23/2011 adalah terdaftar sebagai ormas Islam, mendapat rekomendasi Baznas, dan memiliki program pendayagunaan zakat.
Menurut Yusuf, syarat paling restriktif dan bahkan mematikan bagi LAZ adalah syarat sebagai ormas Islam karena sebagian besar LAZ adalah bukan ormas Islam. Setelah perjuangan panjang, syarat ini kemudian dianulir oleh MK dalam Putusan MK No. 86/PUU-X/2012.
"Namun syarat mendapatkan rekomendasi Baznas masih berlaku. Keharusan mendapatkan rekomendasi Baznas inilah yang kini menjadi penyebab utama mengapa banyak LAZ tidak berizin setelah lebih dari satu dekade UU No. 23/2011," kata Yusuf.
Dia menjelaskan, syarat mendapatkan rekomendasi Baznas dalam perizinan LAZ menjadi syarat yang tidak lazim dan sangat mematikan bagi LAZ. Hal ini karena Baznas juga menyandang status sebagai operator zakat sebagaimana LAZ, yaitu menjalankan fungsi penghimpunan dan penyaluran dana zakat.
"Dengan conflict of interest yang sangat jelas ini, Baznas memiliki motif, insentif dan kewenangan untuk menjegal pendirian LAZ baru yang berpotensi menjadi pesaingnya," ujar Yusuf.
Menurut dia, sebagian besar LAZ tidak berizin sebenarnya adalah lembaga zakat kredibel. Mereka dinilai memenuhi seluruh persyaratan sebagai lembaga zakat yang baik dan tepercaya. Hanya satu saja syarat yang mereka tidak miliki, yaitu tidak mendapatkan rekomendasi dari Baznas.
Jadi, saat ini sebenarnya ada begitu banyak LAZ yang gagal mendapatkan perizinan dan menjadi ilegal di bawah rezim UU No. 23/2011 bukan karena tidak memenuhi persyaratan, namun semata karena tidak mendapatkan rekomendasi dari Baznas yang juga adalah operator zakat nasional.
Menurut dia, banyaknya LAZ sekarang ini yang tidak memiliki izin dan menjadi ilegal bukan karena tidak mau mengurus perizinan. Mereka dinilai sangat ingin mendapatkan izin operasional resmi dari pemerintah, namun mereka tidak pernah diberikan izin tersebut.
"Secara singkat, mereka bukan 'lembaga zakat tidak berizin', namun 'lembaga zakat yang tidak diberi izin'," ucap Yusuf.
Dengan demikian, dia pun sangat mendukung perubahan atas UU No 23/2011 ini agar tidak ada lagi diskriminasi terhadap masyarakat sipil dalam pengelolaan zakat nasional.
"Selayaknya fungsi ganda Baznas dihapuskan, fungsi regulator zakat nasional dikembalikan kepada pemerintah, dan Baznas sepenuhnya hanya menjadi operator zakat, dengan hak dan kewajiban yang sama seperti LAZ," kata Yusuf.
Pada Selasa (5/11/2024), MK menggelar sidang perkara Nomor 97/PUU-XXII/2024 mengenai pengujian materi sejumlah Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta Pusat.
Para pemohon perkara ini ialah Yayasan Dompet Dhuafa Republika, Perkumpulan Forum Zakat Jakarta, serta perseorangan Arif Rahmadi Haryono. Mereka menunjuk Bambang Widjojanto dan Denny Indrayana menjadi bagian dari jajaran tim kuasa hukum. Para Pemohon, baik sebagai lembaga maupun pribadi perorangan, dalam kegiatannya berhubungan erat dengan praktik pengelolaan zakat.
Para Pemohon yang merupakan muzaki mengaku mengalami hambatan dan kerugian dalam kegiatannya dikarenakan dengan adanya pengaturan tentang pengelolaan zakat dalam pasal dan/atau ayat dalam UU 23/2011. Lembaga-lembaga bentukan masyarakat yang telah lebih dahulu berdiri tersebut telah dan masih melakukan edukasi, kampanye, sosialisasi tentang Zakat Infak Sedekah (ZIS) secara bertahap sampai saat ini.
LAZ yang telah ada terlebih dahulu, berharap adanya kesetaraan peran dan tugas antara Baznas dan LAZ, sebagai pembagian jenis bank pemerintah (plat merah) dan bank milik swasta (plat hitam) yang memiliki kesetaraan tetapi dibedakan dengan Bank Indonesia. Bank Indonesia bertanggung jawab atas kebijakan moneter, mengatur dan mengawasi sistem keuangan, serta menjaga stabilitas nilai mata uang rupiah.
Para Pemohon melihat adanya Pasal 5 ayat (1) memperlihatkan secara tersirat dan tersurat tujuan utama pembentukan Baznas adalah mengambil alih pengumpulan zakat yang selama ini sudah dilakukan masyarakat untuk kemudian dikelola negara dan menegasikan sejarah pengelolaan masyarakat terhadap zakat.
Padahal pernah terjadi, di saat Baznas baru dibentuk, untuk memberikan pembelajaran dan pengalaman kepada Baznas, dilakukan kerja sama pengelolaan zakat antara Baznas dan Yayasan Dompet Dhuafa Republika. Saat itu, dikenal sebagai Baznas Dompet Dhuafa. Kerja sama tersebut dilaksanakan karena Baznas belum memiliki pengalaman dalam bidang pengelolaan zakat.
Menurut para Pemohon, ketentuan tersebut melupakan historis misalnya tidak melibatkan lembaga pengelola zakat yang sudah ada sebelum berdirinya Baznas dalam merancang peraturan tentang pengelolaan zakat ini. Undang-undang ini juga tidak memfasilitas lembaga-lembaga pengelola zakat dari masyarakat.
Dalam petitumnya, para Pemohon memohon kepada Mahkamah untuk menyatakan Pasal 38 dan Pasal 43 ayat (4) bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Sementara, para Pemohon memohon kepada Mahkamah untuk memaknai kembali Pasal 5 ayat (1), Pasal 6 ayat (1), Pasal 7 ayat (1), Pasal 16 ayat (1), Pasal 17, Pasal 18 ayat (2), Pasal 19, Pasal 20, Pasal 41, dan Pasal 43 ayat (3) sesuai dengan yang diinginkan Pemohon.